Senin, 29 Juli 2013

Feel the pain on your skin

Pacar saya - My Mas - seorang apoteker yang kerja di sebuah perusahaan farmasi. Kalau pacar-pacar orang lain datang membawakan coklat atau bunga atau martabak telor, My Mas bawain berbagai macam produk dari perusahaan tempat dia bekerja. Obat batuk, multivitamin, jus buah, obat diare, obat masuk angin, obat untuk nyeri haid. Nggak tanggung-tanggung, dia membawakan satu kotak, atau satu botol besar. Jadinya, kotak obat saya selalu penuh dengan stok obat. Dulu dia pernah membawakan 2 kotak minuman multivitamin. Minuman ini sebenarnya bisa diminum baik cewek atau cowok, tapi karena ada kandungan ginseng di dalamnya dan branding yang dibuat dari awal, jadinya minuman ini identik dengan pria.

Jadi, karena 2 kotak terlalu banyak untuk saya habiskan sendiri, saya pun membawa 1 kotak ke kantor untuk saya bagi-bagikan ke bapak-bapak di kantor. Dari situlah, saya dapat julukan Mbak SPG. Keliling kantor untuk bagi-bagi minuman. Udah cocok pakai rok ketat. Tinggal dandan lebih menor aja sambil merayu-rayu. Apalagi yang dibagikan minuman kesehatan begitu, jadilah saya digoda habis-habisan hari itu.

Sebenarnya ada alasan kenapa pacar saya suka membawakan obat-obatan untuk saya. Yaitu karena saya ini emang hobby sakit dan terluka. Sakit yang dimaksud di sini bukan sakit yang aneh-aneh. Penyakit langganan saya cukup merakyat kok, yaitu diare. Diare sudah jadi hobby saya semenjak saya kuliah di Jakarta dan hidup jauh dari rumah. Terbiasa hidup bersih di rumah dan pola hidup yang sehat, perut saya jadi sensitif banget. Makan kotor sedikit, langsung diare. Buah nggak dicuci, langsung diare. Sebenarnya, diare ini tidak terlalu mengganggu. Paling hanya setengah hari perut saya nggak karuan, maksimal seharian. Besoknya pasti sudah pulih. Tapi setelah kerja, diarenya suka agak parah. Berhari-hari dan sampai demam tinggi.

Selain diare, saya juga suka melukai diri sendiri. Kadang, waktu lagi pakai body lotion ke seluruh tubuh, saya suka merasa perih dan baru menemukan ada luka di sini atau di situ. Entah darimana asalnya. Tapi saya nggak heran lagi, soalnya saya memang suka lecet-lecet. Entah karena buru-buru waktu buka tutup pintu jadi tergores, paper cut, kesusup kayu dari meja, tergores klip. Saya juga sering kepentok dan jadinya badan memar-memar. 

Saat ini, terhitung ada 3 luka di badan saya. Satu, memar di paha gara-gara kepentok meja. Memarnya biru dengan diameter 4 cm, dan mencolok kalau pakai celana pendek. (padahal mau liburan jalan-jalan ke pantai gimana ini mau pakai hot pants?) Dua, luka di jempol kanan gara-gata tersilet pencukur bulu. Ini salah satu luka yang paling dibenci. Waktu luka ini terjadi, awalnya dikira kesilet biasa, jadi saya pun refleks mengemut luka di jempol itu sambil saya mencari betadine. Beberapa saat saya baru sadar, kalau darah yang saya emut banyak sekali. Rasanya seperti minum darah. Dan ternyata darah yang keluar banyaaakkk sekali. Darahnya menetes-netes dari jempol saya. Entah berapa banyak tissu habis untuk mengelap darahnya. Dan perihnyaaaaa....luar biasa. Saya bisa melihat lukanya cukup dalam. Baru di sore harinya, beberapa jam setelahnya, saya akhirnya berani meneteskan betadine ke lukanya. Sambil loncat-loncat kesakitan dan meringis. Beruntung sekarang lukanya sudah sembuh, lukanya sudah menutup dan saya sudah bisa menggunakan jempol kanan dalam aktivitas sehari-hari. Kemarin, selama lukanya masih membuka, rasanya sakit luar biasa. Selain itu, lukanya juga masih basah, jadi agak-agak jorok kalau menempel kemana-mana.

Luka terakhir baru saja saya dapat hari Jumat kemarin. Saya kena setrikaan panas, sodara-sodara. Uggghhh. Rasanya panas sekali. (Ya iyalah ya) Setelah saya teriak merasakan panas akibat nggak sengaja nyentuh setrikaan, saya refleks mengemut bagian yang terkena itu. (Hobinya ngemut luka, ih) Setelah itu saya perhatikan, kulit saya hanya memerah sedikiiiittt saja, tapi saya heran, kenapa rasanya sakiiiit sekali. Lalu saya letakkan tangan saya di bawah air kran yang mengalir. Enak sekali rasanya, sakit itu hilang. Setelah beberapa saat, saya matikan kran. Dan sakit itu datang lagi. Beberapa kali saya ulangi, sakitnya tidak mau hilang, hanya sesaat hilang saat dikucurin air. Padahal saya lagi banyak kerjaan, tidak mau saya menghabiskan seharian di bawah air. Jadi saya cuekin saja rasa sakitnya, apalagi karena kulit saya hanya memerah sedikit dan tidak ada luka.

Ternyataaa....beberapa jam kemudian, di siang harinya, kemerahan itu berubah menjadi kehitaman. Kampret dahhh. Kok malah jadi begini kulit saya. Cenat cenutnya sudah berkurang, tapi hati saya malah cenat cenut melihat bekas hitam yang jelek di tangan saya.

Tentu saja dong, saya ngadu ke pacar saya, sang apoteker tercinta. Malam harinya kita makan bareng, saya tunjukkan bekas setrika itu. Dia hanya geleng-geleng kepala sambil bergumam, 'Kok bisa begini, sih' 
Saya hanya tertawa-tawa bego. Emang dasar bego banget ya saya kok bisa ceroboh begini. Dia menganjurkan untuk diberi beberapa obat. Saya bilang besok saja kan saya balik ke kosan, di kosan ada stok obat dari dia. Jadi deh baru hari Sabtu-nya, saya bisa mengoleskan salep ke luka ini.

Saya pikir penderitaan saya berakhir di situ. Ternyata tidak, sodara-sodara. Hari Minggunya, saat lagi misa di St. Theresia, saya dan adik sempat bercanda sambil menunggu misa mulai. Tidak sengaja kulit saya yang kena setrikaan tergesek di meja dan......kulitnya mengelupas. Dan...perihhhhhhnyaaa. Huuu.... Kulit yang mengelupas itu jadi mengekspos kulit bagian dalam yang basah. Damn. Kulit yang terkelupas itu awalnya hanya sedikit. Saat pulang gereja naik taksi, saya tidak sengaja menggosekkan kulit itu lagi di jok taksi, jadinya sukses deh terbuka lagi kulitnya.

Kemarin, itu kulit udah kebuka semua. Saya jelas-jelas tidak bisa beraktifitas bebas dengan luka seperti itu. Saya oleskan salep terus ke luka tersebut supaya cepat kering dan nanti tidak ada bekas. Semoga saja. Soalnya jelek banget ini lukanya.

Betenya kalau ada luka seperti ini. Iya sih, karena sudah sering lecet-lecet dan berhari-hari merasakan sakit nyut-nyutan, saya sudah terbiasa dengan rasa sakit ini. Tapi satu hal yang jelas, tetap saja hal itu menganggu. Bikin kita jadi nggak produktif karena kita harus menjaga supaya luka ini nggak terbentur atau tergesek atau malah tambah parah.

Saya ingat cerita Ibu saya dulu, katanya waktu kecil ini saya tidak pernah ngeluh. Kalau jatuh, luka, saya diam saja. Sepatu baru, lecet, saya diam saja diajak jalan-jalan. Baru ketawan luka waktu sepatunya dibuka. Saat saya lagi sakit demam atau batuk pilek waktu kecil, saya juga tidak merepotkan. Makan dan tidur saja tanpa perlu merengek-rengek karena badannya tidak enak. Dan saya masih seperti itu sampai sekarang.

Dengan analogi luka seperti ini, seorang teman pernah 'menyindir' saya. 'Kamu itu terlalu kebal sama rasa sakit'

Saya hanya tersenyum kecut waktu dia mengatakan hal itu. Bayangkan saya yang berada dalam relationship yang tidak sehat selama hampir setahun dan saya masih kuat menjalaninya. Sahabat saya itu sampai tidak habis pikir. Kadang, terlalu sering merasakan sakit membuat kita membenarkan rasa sakit itu.

Kita menganggap memaafkannya akan memperbaiki keadaan dan menyembuhkan luka. Kemudian hari saya belajar. Memaafkan seharusnya tidak diperlakukan demikian. Memaafkan orang lain berarti move on. Memaafkan orang lain berarti juga memaafkan diri sendiri. Untuk kebodohan yang kita lakukan bersama orang itu. Tetapi kemudian memberi kesempatan yang lebih baik kepada diri sendiri, bukannya memaklumi kebodohan itu dan menjalaninya lagi terus menerus. Menimbulkan luka yang lebih banyak dan lebih dalam lagi. Lalu dimanakah penghargaan kita terhadap diri sendiri?

Bertemu My Mas termasuk yang menyadarkan saya. Bahwa rasa sakit itu tidak boleh dimaklumi. Sebagai seorang apoteker yang peduli dengan kesehatan, sering kalau saya mengeluh tentang tubuh saya, dia akan memberi masukan-masukan yang baik untuk kesehatan saya. Apalagi ceweknya ini darah rendah, anemia, dan selalu ditolak kalau mau donor darah. 

Secara tidak langsung, saya pun belajar, untuk menyembuhkan luka-luka batin saya. Mencari si sumber penyakit dan mengobatinya dengan obat yang tepat. Dan belajar untuk tidak melukai diri sendiri lagi.

Sama seperti saya yang suka ceroboh dan membuat luka di sana dan sini di seluruh tubuh saya, tapi setidaknya saya sudah berhenti membuat luka di hati saya.

Tidak perlu takut merasa sakit. Kadang kita harus merasakan panasnya papan setrikaan, atau tertusuk duri saat bermain di taman bunga. Tapi kemudian, proses mengobati itu akan menyadarkan kita bahwa kita itu begitu berharga. Seperti kita yang merawat tubuh kita sebaik-baiknya supaya tidak sakit, hati kita pun harus kita rawat.

Kadang bekas lukapun tidak sepenuhnya hilang. Tidak apa-apa, tidak usah takut Karena bekas luka itu akan jadi cerita untuk masa depan. Entah kisah sedih, konyol, atau gembira. Yang jelas ia akan jadi pengingat rasa sakit itu. Untuk kita tidak melakukannya lagi kepada diri sendiri dan juga pada orang lain.



dapet salam dari tangan yang kena setrikaan. jangan kapok nyetrika, katanya ;)

Rabu, 24 Juli 2013

Kenapa Aku Tidak Sabar Untuk Segera Menikah Denganmu

Bukan karena alasan umur yang sudah cukup untuk menikah demi status sosial.

Bukan karena aku ingin hidup enak ada suami yang menafkahi.

Bukan karena aku tidak sabar untuk membuat punya anak.

Tetapi karena...
Aku benci dengan perasaan rindu ini setiap kali kita mengucapkan 'Dadah...' setiap kali habis berkencan.

Ketika kita berpisah di angkot.

Ketika aku turun dari motormu.

Ketika aku membuka pintu pagar dan masuk ke rumah.

Ketika aku melepasmu pergi di depan kosan dan melihat motormu menjauh.

Aku tidak sabar untuk segera menikah denganmu karena aku ingin kita berdua pulang ke 'rumah' yang sama. Tempat kita berdua tinggal bersama. Beserta anak-anak kita kelak bila Tuhan mengijinkan.

Tempat di mana mataku bisa dengan mudahnya menemukanmu setiap kali aku merasa rindu.

Tempat di mana aku bisa dengan mudahnya memelukmu setiap kali membutuhkan kehangatan.

Tempat di mana aku bisa merasakan kehadiranmu selalu dari wangi sampo yang kau gunakan, pakaianmu yang tergantung bersanding dengan pakaianku di lemari yang sama, buku-bukumu yang berserakan, dan sosokmu yang masih tampak sibuk di meja kerja hingga larut malam.

Jadi itulah alasanku kenapa aku tidak sabar untuk segera menikah denganmu.
Karena rindu.



Senin, 22 Juli 2013

Menjadi Dewasa (Part 2) : Obrolan bersama sahabat

Suatu siang saya BBM-an dengan seorang sahabat dari SMP. Dulu kita bersahabat baik waktu SMP, berlanjut sampai SMA meskipun kita beda sekolah. Waktu kuliah, dia lanjut di Korea, karena ayahnya yang orang Korea asli ingin semua anak2nya kuliah di negerinya. Setelah lulus kuliah dan frustrasi mencari kerjaan, sahabat saya ini kemudian mengambil kursus bisnis 1 tahun di Kanada. Beruntung sekali dia masih bisa memperpanjang masa main-main sekolah haha hihi satu tahun lagi. Di luar negeri lagi. Hehe.

Satu tahun kemudian setelah usai masa main2nya, mau tak mau dia pulang kembali ke Indonesia. Ke kampung halaman tempat kami tumbuh dan menghabiskan masa remaja kami. Batam. Setahu saya, dia awalnya bekerja untuk bisnis ayahnya. Sambil menjalankan online shop untuk tambahan uang jajan. Sekarang dia kerja di sebuah perusahaan pelayaran di Batam.

Terakhir kali kami mengobrol dalam rangka menyusun rencana libur akhir tahun. Dia mengajak untuk bertemu di Jogja bersama sahabat satu lagi dan jalan-jalan di tahun baru.Sayang, saya sudah ada rencana membawa pacar main ke rumah di Batam dan berkenalan dengan keluarga. Sepertinya, setelah mengetahui saya akan ke Batam di akhir tahun, dia memutuskan untuk liburan di Batam saja. Apalagi kalau dia sudah punya rumah sendiri, berarti kami bisa bebas main-main nginep-nginepan di rumahnya. Ya..mungkin saya minta satu kamar khusus buat saya sama pacar sih. Lumayan kan itung-itung hemat daripada check in di hotel. Kalau di rumah orang tua kan nggak bisa tidur sekamar. Pacar pasti dikelonin Ayah supaya aman. Hahahahaha.

Ada yang lucu dari obrolan BBM kami kemarin. Sahabat saya bilang, " Aku pikir dulu waktu masih remaja, kalau sudah dewasa itu enak. Sudah kerja, sudah punya uang sendiri. Bisa beli ini itu. Jalan-jalan. Bebas. Hidupnya enak."

Tentu saja kami sama-sama tertawa dan membenarkan pernyataannya. Menjadi dewasa ternyata tidak semudah yang dipikirkan dulu. Ada rencana masa depan yang harus disusun. Menabung. Investasi. Cicilan rumah. Isi bensin. Belanja bulanan. Kiriman ke orang tua. Anggaran pacaran dan liburan akhir tahun. Pekerjaan yang gajinya kok nggak pernah cukup. Bisnis yang harus dikembangkan. Dan sama seperti saya, dia lagi giat2nya menabung untuk menikah nanti.

Wow. *lap keringet di dahi*

See, menjadi dewasa itu nggak mudah kan.

Ah...sudah lebih dari 3 tahun aku belum bertemu sahabatku itu lagi. Terakhir kali bertemu masih kuliah. Masih saja dia memanggilku 'lautan kebijaksanaan'.  Si lebay satu itu. Kangen sekali pengen nginep2an ngobrol semalaman dan dimasakin masakan Korea yang enak.

Tidak sabar menunggu liburan akhir tahun.



Jumat, 12 Juli 2013

Menjadi Dewasa


Waktu kecil dulu, aku tidak pernah terlalu buru-buru untuk menjadi
orang dewasa. Tidak ada sesuatu yang spesial saat melihat orang-orang
dewasa dari sudut pandangku saat masih kecil dulu. Ya, mungkin pernah
beberapa kali dulu aku berkhayal menjadi orang dewasa. Tapi saat itu
aku sedang naksir sama seorang cowok dan aku berandai-andai kami sudah
dewasa. Bukannya supaya kami bisa melakukan 'hal-hal dewasa'. Bukan.
Pikirannku belum sampai kesana waktu itu. Masih polos. Tapi sepertinya
aku menganggap menjadi dewasa berarti menjadi lebih hebat. Karena itu
aku suka membayangkan diriku sudah dewasa dan lebih hebat daripada
diriku yang masih kelas 5 SD waktu itu. Dan aku berharap gebetanku
waktu itu terpesona dengan diriku yang lebih hebat.

Tapi sedangkal itu saja khayalanku tentang kedewasaan di masa kecil.
Beranjak remaja aku malah semakin kuatir ketika menyadari umur yang
terus bertambah. Mungkin karena di antara teman-teman seangkatan aku
sering menjadi yang tertua, aku sering dijadikan bahan bercandaan.
Tentu saja aku tahu itu hanya bercanda, tapi tetap saja....ada
perasaan insecure di dalam diriku.

Aku tidak ingin buru-buru menjadi dewasa.

Tapi waktu merupakan satu hal yang mutlak tidak dapat kita hentikan.
Ia terus datang meski kita tidak menginginkannya.

Dan di sinilah aku sekarang. 25 tahun (sebentar lagi 26 tahun!). Sudah dewasa.

Awalnya seperti tidak ada yang berbeda antara diriku 15 tahun yang
dulu dan diriku 25 tahun sekarang. Aku masih tetap merasa aku. Aku
masih mengenali diriku dengan utuh. Tapi ada saatnya ketika
kesadaranku datang, dan aku menyadari kedewasaanku sekarang, aku bisa
mengenali perbedaan2 dalam diriku sekarang.

Satu hal yang kusadari penuh dalam kedewasaanku sekarang adalah dalam
membuat keputusan. Terkadang, dalam kondisi aku dihadapkan pada
beberapa pilihan dan aku harus membuat keputusan, aku meronta2 dalam
hati, merengek2 minta kembali ke masa kecil. Saat dimana orang2 yang
lebih tua yang membuatkan keputusan untuk diriku. Aku tinggal menerima
hasilnya.

Tidak ada yg pernah bilang padaku kalau hal paling sulit dalam menjadi
dewasa adalah membuat keputusan!

Rasa bimbang, kuatir, takut, bersemangat, gembira...emosi2 yang
bermain2 disaat kita berusaha mengedepankan pikiran logis kita saat
hendak mengambil keputusan.
Dulu saat masih remaja, kupikir hidup ya mengalir saja. Ternyata
tidak. Hidup kita adalah rangkaian keputusan2 yang telah kita buat
sepanjang hidup.

Sejak kecil, Ayah dan Ibu tidak pernah memanjakanku. Aku bahkan masih
ingat dengan jelas, hari pertamaku TK, Ayah hanya mengantarkanku naik
motor, menunjukkan kelasnya padaku kemudian pergi ke kantor,
meninggalkanku sendirian. Waktu itu aku begitu polos, baru setelah aku
cukup besar beberapa tahun kemudian, aku menyadari betapa teganya Ayah
dan Ibu membiarkanku sendirian di TK hari pertama sekolah. Teman2ku
malah masih ditemani Ibu, Oma atau pembantunya selama berbulan-bulan
kedepan.
Kalau masuk TK saja sudah dibiarkan sendiri, tentu saja aku pun
sendirian saat masuk SD. Dan ketika kelas 3 SD, adikku masuk kelas 1
SD yang sama denganku, akulah yang mencarikan kelas untuknya. Ayah dan
Ibu meninggalkan kami berdua saja di sekolah. Padahal adikku waktu itu
kakinya masih di gips karena patah. Dia masih belum bisa berjalan
normal tanpa kruk. Dan aku ingat jelas, hari itu hujan deras. Aku
berdesak2an di antara para orang tua melihat papan pengumuman mencari
nama adikku.

Beruntung sekali, cara2 yang dilakukan orang tuaku dalam mendidik kami
membuat mental kami siap menghadapi kedewasaan. Aku tidak pernah
menjadi manja, baik secara fisik maupun mental. Aku kuat. Aku segera
bisa menyembuhkan patah hatiku dan move on. Aku selalu bisa berpikiran
positif di masa-masa sulit. Aku pekerja keras. Inilah warisan yang
tidak ternilai dari kedua orang tuaku.

Mungkin sejak kecil aku sudah diajarkan membuat keputusan sendiri.
Apalagi sejak kelas 4 SD, uang jajan sudah diberikan bulanan.
Bayangkan anak sekecil sudah harus mengatur sendiri uang bulanannya!

Tapi mungkin, keputusan yang kubuat saat lulus SMA adalah keputusan
yang menandakan titik kedewasaanku.

Saat SMA, aku begitu jatuh cinta pada sains, dan terutama Kimia. Aku
hanya ingin kuliah dengan embel2 kimia di nama jurusannya. Tidak ingin
yang lain. Betapa patah hatinya aku saat Ayah dan Ibu ingiin aku
kuliah akuntansi saja. Supaya aman. Gampang nggak aneh2. Apa itu
kimia? Mereka tidak familiar.

Sederetan debat dan argumen berjalan sekitar seminggu. Aku menyatakan
perang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak ingin orang
tuaku membuatkan keputusan untukku. Aku ingin membuat keputusanku
sendiri dan aku meyakininya.

Setelah proses yang mellow dan mirip drama keluarga di televisi,
akhirnya Ayah dan Ibu memberi restu. Akupun bisa pergi ke Jakarta dan
kuliah di jurusan yang aku inginkan.

Itulah saat dimana aku menyadari, dalam hidup kita harus membuat
keputusan2. Keputusan2 itu akan menentukan diri kita di masa depan.
Diriku yang lebih dewasa lagi.

Kadang aku suka bertanya2 apa jadinya kalau aku tidak membuat
keputusan seperti itu? Seperti apa jadinya aku sekarang?

Aku juga beberapa kali berpikir seandainya beberapa keputusan tidak
aku buat. Penyesalan.

Tapi waktu memang kejam, dia terus berjalan menggilasku. Masa lalu
menjadi pelajaran.

Jadi, kalau aku ditanya bagaimana rasanya menjadi dewasa aku akan
menjawab sulit. Dan salutku untuk mereka yang berhasil menjalaninya
dan menikmati keputusan2 yang mereka buat dengan sepenuh hati.