Kamis, 24 Januari 2013

Awal Mula Lima

Ini mimpi yang menjadi nyata terlalu cepat.
Doa yang dijawab terlalu cepat.

Saya tidak pernah menyangka kalau 'LIMA' akan jadi salah satu angka paling penting dalam hidup saya.
Memiliki pekerjaan yang  nyaman sebagai Marketing di sebuah perusahaan trading, saya jatuh cinta pada kerja keras, disiplin, dedikasi, loyalitas, dan keinginan untuk maju. Dua tahun lebih dua bulan. Angka DUA adalah salah satu angka favorit saya. Saya anak kedua. Setelah dua tahun ini, saya mantap : saya ingin memulai hidup baru. Mimpi saya sederhana, mirip seperti karyawan di Ibu Kota umumnya, pindah ke perusahaan yang lebih besar dengan gaji dan fasilitas yang lebih baik. 

Saya bukan orang yang mempunyai masalah dengan komitmen. Memang, dulu waktu masih remaja, rekor pacaran saya 4 bulan lamanya. Tapi hampir tiga tahun yang lalu, saya jatuh cinta dengan sahabat sendiri dan tidak pernah bisa berhenti mencintainya.
Tetapi, meskipun mencari dan memilih pekerjaan itu seperti memilih pacar, ini merupakan dua hal yang berbeda. Saya tipe orang yang berkomitmen dengan prinsip dan pilihan hidup saya. Pekerjaan pertama saya dengan mudah mengambil hati saya. Bermula dari seorang Management Trainee yang buta mengenai bisnis global trading, saya berhasil menjalaninya dengan cukup baik. Kini saya nyaman di posisi Deputy Manager (Marketing). 

Yep, saya pun tenggelam dalam dinamika kehidupan Jakarta ala karyawan-karyawan muda yang bekerja di gedung-gedung bertingkat. Dandan rapi yang cantik tiap pagi. Naik angkot macet-macetan - dan akhirnya memilih ngekos di bilangan Kuningan untuk menghindari macet. Pulang kantor nongkrong, belanja, atau sekedar jalan-jalan di mall-mall terdekat. Menikmati weekend dengan tidak wajar, dan mengumpat datangnya hari Senin.

Kantor tempat saya bekerja ini bukanlah perusahaan raksasa dengan jaringan mendunia. Sahamnya tidak tercatat di bursa efek. Perusahaan ini adalah baru saja merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh awal tahun 2012 kemarin. Sebuah perusahaan PMA dengan kantor pusat di Singapore, dan marketing office di India, China, serta Jakarta. Perusahaan ini sedang berkembang dan akan segera buka kantor baru di Dubai. Target selanjutnya adalah Vietnam. Tetapi harus diakui, perusahaan ini punya masa depan yang cerah. Bila beberapa hal di dalam perusahaan diperbaiki dengan serius dan dilakukan dengan cepat, maka saya optimis bila masa depan yang cerah itu akan segera tiba tidak lama lagi.

Tapi hati dan otak saya sudah memutuskan, saya tidak ingin menunggu lagi. Sudah saatnya saya berhenti 'belajar' dan benar-benar menjadi profesional. Pikir saya, dengan masuk ke perusahaan yang sudah benar-benar besar dan manajemen yang lebih baik, saya bisa menjalani kehidupan kerja dan karir yang sesungguhnya.

Beberapa test dan undangan interview sudah dilakukan. Saya masih ingat, dulu, waktu masih fresh graduate, saya sibuk mengirim lamaran kesana kemari. Saat ini mencari pekerjaan baru terasa lebih mudah. Saya hanya mengaktifkan kembali profil saya di sebuah situs pencarian kerja, kemudian beberapa panggilan datang dari perusahaan-perusahaan yang memang mencari profesional dan karyawan yang berpengalaman.

Beberapa perusahaan sudah saya datangi. Tapi yang terakhir saya datangi benar-benar merebut hati saya. Suasana interview yang menyenangkan. Orang-orang yang menyenangkan. Lokasi kantor yang dekat kantor pacar saya. Saya sudah mantap dengan yang satu ini.

Esok harinya, saya kembali masuk kerja. Setelah sebelumnya bolos dengan alasan 'sakit', saya dipanggil sama Ibu Direktur. Beliau dengan usilnya menggoda saya : ' Kemarin kenapa?' Saya hanya senyum-senyum dan menceritakan dengan jujur tentang rencana saya resign. Memang, saya dengan beliau. Tidak ada alasan untuk menutup-nutupi alasan resign saya karena beliau pun mendukung rencana saya untuk menemukan pekerjaan yang lebih baik lagi. Lagipula, beliau pun juga akan resign dalam waktu dekat. Pensiun. Dan saya sudah pernah mengatakan padanya, 'kalau Ibu keluar, saya juga keluar'.

Kemudian beliau memasang tampang serius. " Sudah tahu belum, selain kamu siapa lagi yang mau resign?"
Saya hanya mengangkat bahu karena saya memang tidak terlalu tahu. Yang saya tahu memang beberapa teman level staff berkeinginan untuk resign. Mengejutkan bagi saya saat beliau menyebutkan nama-nama orang penting di kantor yang akan keluar.

Saya merasa keputusan saya untuk resign sesegera mungkin adalah keputusan yang tepat. Tetapi, beliau kemudian menambahkan. " Kita kemarin ngobrol-ngobrol, daripada keluar jadi mencar-mencar, kenapa nggak gabung aja kerja bareng?"

Selanjutnya seperti memasuki alam mimpi.

Saya tidak ingat persis kata-kata beliau. Karena sepertinya saat itu saya melihat kabut di mata saya. Saya merasa sesuatu memaksa masuk ke dalam dada saya secara mendadak saat beliau menjelaskan bahwa, M, manajer marketing saya, ingin membuat perusahaan dan mengajak orang-orang yang akan keluar ini untuk menjadi pionir di perusahaan baru nanti.

Mereka pun serta merta menyetujuinya. Mereka ada empat orang. Mereka berempat. Dan mereka mengharapkan saya masuk, supaya menjadi berlima.

Saya sangat mendukung rencana tersebut. Saya tahu, suatu saat nanti, orang-orang yang saya kagumi itu ; Ibu Direktur dan Manajer Marketing itu pasti akan berkarya atas nama sendiri. Punya usahanya sendiri. Mereka orang-orang pintar dengan etos kerja yang saya teladani. Saya kerap bercanda dengan mereka ' Nanti, kalau punya perusahaan sendiri, saya diajak-ajak ya."

Saya tidak menyangka kalau saat itu akan datang secepat ini.

Malamnya, M mengajak saya dinner. Tentu saja tujuan utamanya adalah membicarakan rencana LIMA ini. Saya tidak konsen makan ramen yang sudah saya pesan sambil mendengarkan rencana, impian, dan kekuatiran yang diutarakan oleh M. Beliau bilang mengerti dengan kekuatiran saya, karena diapun begitu. Beliau memahami bila saya ingin mencari sesuatu yang lebih pasti dan aman. Saat saya menceritakan tentang tawaran menarik dari sebuah perusahaan farmasi yang besar, beliau pun mengerti dengan dilema saya. Antara rasa aman dan tantangan. Antara realitas dan mimpi. Antara apa yang seharusnya dijalani menurut pandangan dunia dan keinginan dari lubuk hati saya.

Saya pun meminta waktu untuk memikirkan tawaran mereka. Mempertimbangkan matang-matang dan berdiskusi dengan orang-orang terdekat saya. Sebenarnya, di dalam hati saya langsung mengiyakan tawaran itu. Tapi saya tidak ingin tergesa-gesa. Saya butuh untuk mendengar pendapat, masukan, dan dukungan dari orang lain. Satu hal yang beliau tegaskan pada saya : " Aku nggak akan berani membuat usaha sendiri, membuat perusahaan sendiri, bila tidak ada kalian. Orang-orang yang aku yakin akan kemampuannya serta kenyamanan selama kita bekerja bersama. Kita berlima. Aku merasa kita berlima sudah sangat cocok dan memiliki rasa percaya satu sama lain. Dan aku secara pribadi benar-benar berharap kamu mau bergabung dengan kita, karena aku sudah percaya dan nyaman untuk bekerja dan berteman sama kamu."

Akhirnya, saya pun bercerita pada keluarga saya mengenai hal ini. Juga pacar saya, yang saya diskusikan langsung saat dalam perjalanan menuju kondangan seorang kakak tingkat. Jelas saja dia menyetujui. Bergabung dengan tim yang saya sukai, memulai usaha baru, merintis sesuatu, merupakan investasi terbaik untuk masa depan, menurut dia. Hal yang digaris bawahi olehnya, tentu saja, tim-nya itu sendiri. Dia sudah sering mendengar cerita saya tentang orang-orang di kantor. Ibu Direktur pun secara kebetulan ada tetangga di kompleks. Dia optimis, dengan orang-orang yang saya sukai, dan saling menyukai satu sama lain, rencana ini pasti bisa sukses. Senang saat semua orang menyetujui. Satu hal yang tak lupa dia ingatkan adalah bahwa saya pun harus merubah gaya hidup saya. Harus menjadi lebih bekerja keras. Tidak boleh cengeng lagi. Kalau selama ini saya bisa pilih-pilih dan perhitungan kerjaan, nanti kalau sudah di 'perusahaan sendiri' nggak bisa begitu lagi. Benar-benar banting tulang. Tentu saja saya menyanggupi. Dengan adanya dia di sisi saya, saya optimis saya bisa melewati masa-masa sulit dengan baik.

Akhirnya, saya pun bisa mengatakan 'YA' kepada mereka berempat. Tim ini pun lengkap. Kita berlima. Kami berlima. Dan LIMA, kemudian pun menjadi salah satu angka paling penting bagi saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar