Rabu, 18 Desember 2013

Be Brave

Sejak akhir November kemarin, umat kristiani seluruh dunia sudah memasuki masa Advent ; masa persiapan Natal. Jadi sudah boleh dong ya kita muterin lagu-lagu natal. Dan saya pun mulai memasang lagu-lagu natal di playlist laptop untuk nemenin saya bekerja.

Seperti biasa, lagu-lagu natal selalu memberi sensasi manis dan membuka memori-memori yang bikin saya banyak melakukan napak tilas perjalanan kehidupan saya selama ini.

Entah bagaimana, memori mengantarkan saya pada suatu kenangan, bertahun2 yg lalu, saat saya masih kelas 2 SD.

Saya lupa dalam rangka apa, tapi ceritanya saat itu akan diadakan Fashion Show di sekolah. Setiap kelas wajib mengirimkan 3 orang perwakilan untuk bergaya di panggung yang sudah disiapkan.

3 orang sudah dipilih oleh wali kelas saya saat itu. Saya tidak termasuk di dalamnya. Padahal saya ingin berpartisipasi dalam fashion show itu.

Lalu, apa yang kemudian a 7-year-old me lakukan waktu itu?

Saya mendatangi wali kelas saya yg sudah kembali dalam kegiatan mengajarnya setelah mengumumkan 3 orang terpilih itu. Beliau sedang membagikan buku2 PR yang selesai dikoreksi. Saya mendatangi beliau yg sedang berdiri di antara bangku teman2 saya, dan saya katakan, 'Ibu, saya mau ikut fashion show itu.'

Saya ingat jelas, beliau lalu membuka mulutnya dan mengatakan 'Oh'. Kemudian beliau berkata 'Ok, nanti kamu ikut juga.'

Dan begitulah, beliau kemudian mengatakan kepada teman2 sekelas bahwa akan ada satu orang lagi yang akan mewakili kelas kami. Dan orang itu saya. Dan beliau bertanya sekiranya ada lagi yang mau ikutan fashion show. Tidak ada yang angkat tangan. Jadi sudah fix kami berempat yang mewakili kelas untuk fashion show.

Selanjutnya yg saya ingat adalah saya memakai salah satu baju terbaik saya, bangun pagi, didandani oleh ibu saya, dan saya ikut fashion show itu dengan hati bahagia.

Ahh, saya tersenyum mengingat peristiwa itu. Apa yg membuat saya tersenyum bukanlah karena saya bisa menjadi 'model' terus beken di sekolah terus banyak yang naksir (plis deh masih SD, hehe). Tapi saya tersenyum karena keberanian saya.

Saya tersenyum karena bangga dengan keberanian saya saat itu.

Coba bandingkan bila peristiwa itu terjadi pada diri saya saat ini, pasti akan banyak pertimbangan di kepala saya yang membuat saya tidak jadi (tidak berani) bilang ke bu guru.

'Yaelah, yauda sih, lo nggak dipilih jd perwakilan krn emang elo nggak pantes aja ikut fashion show. Yg dipilih kan yang cantik2, putih2, rambutnya bagus. Elo itu udah item, pendek, kurus, rambutnya ngembang.'

Tapi sebagai seorang anak kecil yg masih polos, saya nggak mikirin hal itu.

Padahal, klo sekarang, saya pasti mikir juga 'yaelah, lo mau diketawain temen2? Udah tau gak dipilih msh ngotot juga.'

Bener kan?

Hahahaha.

Karena dari itulah, saya sungguh kagum melihat diri kecil saya saat itu. Dan saya pun berpikir, 'boo, waktu masih kecil tuh kita beneran nggak punya rasa takut ya?'

Apa yang saya mau, tanpa ada pertimbangan apapun, saya melakukannya. Apa yg saya mau, harus saya wujudkan.

Sesederhana itu.
Bandingkan sekarang, mau ini mikir panjang dulu. Mau itu, galau dulu.
Rempong ya jadi dewasa. Banyak pertimbangan.
Nggak kayak waktu kecil, main seruduk aja. Hehe.

Kemudian saya pun jadi merenung. Betapa saya rindu menjadi seperti itu. Melakukan apa yang saya mau tanpa rasa takut dan kuatir.

Ahh, melalui kenangan fashion show itu, saya jadi diingatkan kembali, untuk menjadi berani.

Melalui proses intropeksi diri ini, saya belajar dan menemukan perbedaan saya waktu kecil dan dewasa.

Dulu, saya belum mengerti arti resiko. Karena itu saya melakukan apapun dengan berani tanpa memikirkan faktor akibat.

Sekarang, saya sudah mengerti arti resiko, dan secara otomatis mampu melihat dan memperkirakan resiko yg harus saya hadapi untuk setiap keputusan hidup yang saya buat. Belum lagi ditambah dengan variabel2 lain yang berfungsi sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Dan definisi berani menurut saya saat ini adalah meskipun saya sudah tahu akan resiko dan kesulitannya, saya tetap memilih untuk menjalaninya. Saya percaya saya bisa melaluinya, mengatasi segala kesulitan. Tidak takut. Karena saya yakin saya benar.

Saya sudah tahu mimpi saya adalah jadi pengusaha, setahun yg lalu, sayapun masih minta pertimbangan dan pendapat dr orang2 lain ketika ditawari kesempatan itu. Toh meskipun sudah mengetahui dan menjalani beberapa kesulitannya, saya tetap memutuskan untuk menjalani mimpi saya itu.

Waktu saya tetap berpegang teguh pada pendirian untuk masuk kuliah jurusan kimia, sementara ortu saya waktu itu memaksa masuk akuntansi. Dengan segala cara saya tetap tidak bergeming dari keinginan saya meskipun orang tua saya sudah banyak menjabarkan keuntungan masuk akuntansi ketimbang kimia.

Waktu saya tahu saya jatuh cinta sama My-Mas, dan saya memutuskan untuk mengajak dia berbicara dan mengungkapkan perasaan saya. Mempertaruhkan pertemanan kami selama ini demi perasaan yg saya sebut cinta waktu itu. Sungguh saya tidak takut sama sekali waktu itu, saya sangat siap patah hati, ditolak, dan hubungan pertemanan kami rusak. Apapun resikonya.

Beberapa hal penting dalam hidup kita layak dilalui meskipun penuh tantangan. Penuh resiko. Dan saya bersyukur, saya masih dianugerahi keberanian oleh Tuhan. Keberanian yang kadang saya sendiripun tidak habis pikir kalau saya bisa melakukannya.

Dan benar sekali pepatah yang bilang kalau 'we have to keep the child spirit alive in our heart'. 
Karena memang dibutuhkan keberanian seperti anak kecil lah supaya kita tetap bisa bertahan hidup di usia dewasa yang begitu penuh ketakutan ini.



Be brave. Take risks. Nothing can substitute experience. - Paulo Coelho-


You can plan to be brave - it's even better if you just try to be brave. -Clive Barker-


Saya kecil yang mulutnya monyong2. Emang centil waktu kecil, suka diomelin Ibu karna suka gaya yg aneh2 klo foto. 


Senin, 11 November 2013

Kenapa selalu menghujat Jakarta?

Bermula dari seorang teman di Facebook yang post gambar ini :


Banyak teman yang meng-Like post tersebut. Banyak komen isinya 'Wow'.

Lalu saya tergugah dengan tulisan tersebut dan memutuskan untuk komentar.
Saya katakan bahwa sepertinya saya tidak akan menyesal tua nanti karena telah hidup di Jakarta. Memang Jakarta dan segala kesemrawutannya, tapi toh ternyata banyak hal yang juga saya rindukan di Jakarta. Hal-hal yang tidak saya temui di daerah lain.

Dan kemudian sepanjang malam saya jadi kepikiran. 'Iya ya, kenapa sih orang-orang suka dan selalu menghujat Jakarta?'

Saya bisa mengerti seandainya orang dari daerah lain lagi liburan dateng ke Jakarta dan stress karena macetnya. Sementara saya, saat keluarga saya di Jogja sudah ngomel-ngomel di dalam mobil karena jalanan Jogja yang macet, saya cuma ketawa-ketawa sama adik saya sambil bilang, 'Tante, kalau di Jakarta sih, ini namanya ramai lancar!'

Tapi kalau orang itu sudah hidup bertahun-tahun, bahkan juga lahir di Jakarta. Bekerja di Jakarta. Mendapatkan rejeki di Jakarta. Punya keluarga di Jakarta. Melakukan hobby-nya di Jakarta. Dan masih membenci Jakarta?

Oh boy....menurut saya itu seperti orang yang selalu mengeluh dan membicarakan yg jelek-jelek tentang boss dan tempat kerjanya. Please deh ya, buruan resign gih, cari kerjaan baru di luar sana yang bikin semua keluhan itu berhenti.

Jadi kalau kamu hidup di Jakarta, berhentilah mengeluh.
Kalau tidak suka dan terbebani, ya sana keluar Jakarta pindah ke kota lain yang sesuai dengan takaran ideal-mu.

Apa? Kamu tidak punya pilihan?

Tidak mungkin.

Semua orang punya pilihan.

Saya suka pekerjaan saya, tapi saya tidak suka management di kantor saya dulu. Maka saya memutuskan resign dan mencari 'yang lebih baik'. Dulu saya bisa berhemat banyak saat menumpang di rumah Bude di kompleks perumahan mewah di Pondok Kelapa, tapi saya tidak cocok dengan prinsip hidup Bude dan tidak suka dengan drama-drama keluarga yang terpaksa saya jalani. Maka saya pun memutuskan keluar rumah dan ngekos deket kantor.

Saya dan My-Mas yang sedang mencari-cari rumah, sering berdiskusi mengenai lokasi rumah dan jarak ke kantor. Satu hal yang MyMas bilang, 'Pekerjaan yang menyesuaikan rumah, bukan rumah yang menyesuaikan kantor.' Yang setelah saya pikir-pikir lagi memang benar.
Bukan hanya dari segi materi, maksudnya klo rumah di daerah Kuningan mana kebeli lagi? Apartemen???
Tapi kalau rumah di ujung Bekasi yang terjangkau jarak ke Jakarta juga jauh. Pasti stress tiap hari bolak balik kantor. Kata MyMas ya cari aja kerjaan di sekitaran Bekasi atau Cikarang. Beres.

Saya beruntung karena MyMas pun tipe orang yang berpikiran praktis dan positif. You don't like it? Change it. You dont have the opportunity? Make it.
Jadi pun begitulah cara kami memandang Jakarta.
Megapolitan dengan segala kesemrawutan dan kemewahannya.

Bukannya saya sudah jadi warga Jakarta modern yang gaoel abis. Nggak kok. Saya tetep aja udik, nggak pernah dugem ke klab, mentok-mentok ya cuma nge-mall. Ke mall pun paling cuma buat nonton atau makan. Belanja baju nggak pernah di Zara, kalau belanja ya di ITC. Itu udah hukum saklak. Mentok-mentoknya ya di Matahari atau Centro. Bukannya nggak ada duit untuk itu, emang nggak perlu aja. Kemana-mana saya tetep naik angkutan umum. Saya penggemar berat Commuter Line dan Trans Jakarta. Kalau nggak mau stress ya tinggal cari taksi. Nggak susah kok. Jalanan emang macet, jadi ya pinter-pinter atur waktu aja. Dulu saya tinggal di Pondok Kelapa yang termasyur dengan Kalimalang yang macet, saya pun jaraaaaaaang sekali terlambat datang ke kantor. Malah, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang datang cepat di kantor barengan OB. Janjian sama temen pun saya tidak pernah terlambat, malah biasanya mereka yang ngaret (bikin kesel banget). Capek memang, apalagi kalau di jalan lagi hujan. Rasanya pengen nangis, mikir ngapain sih aku kayak gini di Jakarta, kangen rumah di Batam, pengen makan masakan Ibu.

Tapi mau sampai kapan ngumpat terus. Toh nggak merubah keadaan.
Jadi saya pun merubah sudut pandang saya. Menguatkan pegangan saya pada hal-hal positif yang saya dapatkan di Jakarta ketimbang selalu mengedepankan hal-hal negatif yang ada di Jakarta.

Pekerjaan yang saya cintai ada di Jakarta. Suasana bisnis yang menyenangkan, kesempatan untuk bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang kebangsaan, agama, dan kebudayaan. Saya punya MyMas di sini, saya pun tidak benar-benar sendiri di sini, ada keluarga besar saya, ada adik saya, ada sahabat-sahabat saya.

Siapa bilang di Jakarta cuma punya mall? Situ aja yang nggak gaul.
Ada kok open house istana negara setiap Sabtu dan Minggu, saya pernah ikut soalnya. Kalau ada temen dateng dari luar Jakarta, saya ajak dia jalan-jalan ke kota, ada banyak museum di sana. Jalan-jalan ke monas. Ke katedral. Ke Ancol- bukan hanya ada Dufan dan Seaworld di sana, ada juga permainan outbound yang seru banget, lebih menegangkan ketimbang wahana Dufan. Ke Ragunan.Wisata kuliner di Jakarta pun lengkap. Kalau bosen tinggal melipir dikit udah sampai Bogor atau jauhan dikit ke Bandung. Akses ke berbagai kota pun gampang. Ada pesawat, kapal laut, bis kota, kereta. Lengkap banget nggak sih?

For me, Jakarta is my home.
Memang banyak kesulitannya, tapi itu menempaku jadi kuat. Lama kelamaan, melewati batas tertentu, saya akhirnya mampu berhenti mengeluh soal Jakarta, dan menerimanya menjadi bagian penting dalam hidup. Dan ternyata, Jakarta justru lebih menarik setelah saya bisa menerima kekurangan dan kelebihannya.

Kesel nggak sih rasanya liat orang yg terus menerus ngeluh soal kerjaannya tapi kok ya nggak resign-resign?Iya, sama kayak gitu rasa keselnya liat orang ngumpat mulu soal Jakarta tapi teteeeepp aja di Jakarta.
Saya respect banget sama orang yang pindah ke luar Jakarta karena dia tidak suka Jakarta.
Dia mencari jalan keluar. Dia berhenti mengeluh dan mencari kebahagiaan dan ketenangannya di tempat lain.
Tapi saya sungguh tidak respect sama mereka-mereka yang gampang banget ngumpat Jakarta dan cuma bisa ngiri serta muji-muji kota lain tanpa merubah nasibnya sendiri. Katanya tidak ada kesempatan. Menurut saya dia hanya pemalas, tidak mau melakukan sesuatu dengan lebih banyak usaha untuk merubah hidupnya. Manja dan bodoh. Kombinasi yang mematikan. Paling gampang jadinya ya emang mengeluh saja terus menerus.
Tapi akibatnya, dia malah jadi menebar emosi negatif ke sekitar.

Tolong berhentilah menghujat Jakarta.
Dia tidak salah.
Tidak ada yang salah dengan kota Megapolitan. Bahkan kalau di USA sana, New York pun sering jadi kambing hitam. Lalu juga Tokyo. Seoul. Nasib kota-kota besar. Tapi siapa bilang tinggal di 'kota-kota kecil' tidak ada kesulitannya sama sekali? Setiap tempat, setiap hal dalam hidup kita, selalu ada kesulitan dan kesenangannya masing-masing, kan?

Padahal yang salah bukan mereka. Kita manusianya. Kita yang tinggal di dalamnya. Kita yang bertanggung jawab membuatnya layak menjadi rumah yang layak huni atau tidak.
Salah pemerintah?
Wong kita juga yang milih pemerintah dalam pemilu.
Banyak yang curang?
Pergi, jadilah pemerintah -pembuat keputusan-, rubahlah Jakarta dan Indonesia jadi lebih baik.
Jadilah warga negara yang baik dan tularkan semangat itu.

Intinya, berhentilah mengeluh. Lihat deh banyak kok hal indah di Jakarta. Masih banyak kok orang-orang baik di Jakarta. Kalau terus menerus mengeluh ya selamanya kita akan melihat Jakarta dengan kacamata gelap. Padahal Jakarta ini bersinar banget.

Ya, semoga Jakarta tidak pernah disalahkan lagi ya.

I love you, Jakarta.

Kamis, 07 November 2013

(Bukan) Jalan-Jalan ke Serang

Sekitar 2 minggu yang lalu (hari Kamis, tanggal 24 Oktober 2013) saya ada janji mengunjungi sebuah pabrik customer di daerah Cikande, Serang. Sebuah pabrik tekstil yang sedang saya prospek jadi customer.

Malangnya, hari itu tidak ada yang bisa mengantar, pun Bu Boss lagi dalam kondisi tidak punya supir. Heran deh, susah banget nyari supir. Udah sampe 3 kali gonta-ganti supir dalam satu minggu waktu itu. Alhasil beliau pulang pergi kantor pun naik kereta atau boncengan motor sama OB kantor.

Berhubung sudah bikin jadwal dan semangat membara, jadilah saya dengan mudahnya memutuskan untuk pergi sendiri ke Serang. Yaelah, Serang doang kan, paling kayak ke Depok doang. Yaaa, sejauh-jauhnya kayak ke Bogor lah.

Jadilah malam sebelumnya saya browsing dan bertanya ke teman2 tentang cara pergi ke Serang naik kendaraan umum.

Janji saya setelah jam makan siang. Dan saya tidak mau naik bis karena males macetnya itu, dan lagi kalau bis antar kota gitu kan biasanya ada jam-jamnya di terminal, dan saya nggak tahu soal jadwal bis begitu, jadi males klo musti ngeteng2 naik bis berkali-kali. Dan lagi takutnya naik bis, setelah saya browsing, jurusan Serang itu masuk tol Merak, nggak tahu keluarnya di mana. Nah loh, ntar saya malah keterusan ikut sampai Merak, kan?

Akhirnya saya putuskan naik kereta saja.

Browsing punya browsing, saya bisa naik Commuter Line arah Tangerang (Serpong). Setelah membandingkan jarak terdekat di Google Maps, jarak terdekat yang diperoleh adalah kalau saya turun di stasiun terakhir, Stasiun Maja. Dari situ, menurut Google Maps, jaraknya tinggal sekitar 7 kiloan saja.
Sebenarnya sih, karena Stasiun Maja tidak ada di Google Maps, saya cari arah dari SDN Maja, ya pikir saya kan deket2 lah ya dari situ. Klo udah tinggal 7 kiloan saya tinggal naik taksi atau ojek saja.

Besok paginya pun saya berangkat dengan percaya diri.

Berangkat

1. Naik becak ke stasiun Kranji, Bekasi. Gampangggg.
2. Beli tiket yang langsung ke Stasiun Maja (bayarnya Rp 10.000 klo gak salah, udah termasuk jaminan kartu THB Rp 5.000)
3. Naik kereta Bekasi - Kota, turun Manggarai.
4. Naik kereta jurusan apa ya, lupa, turun di Tanah Abang.
5. Jeng jeng..... sampai Tanah Abang kok ya rame banget. Sama ibu2 yang pada bawa belanjaan banyak. Padahal baru jam 10-an pagi. Kereta pun lamaaaa banget datengnya, sekalinya dateng, diumumin itu kereta terakhir sampai Parung Panjang, nggak sampai Maja. Jadi saya santai tetep duduk di bangku dong, cuma terus mikir mending saya naik sampai Parung Panjang aja meskipun rame keretanya, ntar baru nyambung ke Maja dari sama. Yasud lah, saya pun terpaksa naik. Yang bikin stress, jarak antar stasiunnya itu jauh-jauh, jadi kerasa lamaaaa banget perjalanannya. Berdiri pula. Nggak pake hak tinggi sih, tapi tetep aja pegel.
6. Sampai Parung Panjang, saya tanya2 petugas, jam berapa kereta yang sampai Maja dateng. Terus katanya 'Wah, klo yang ke Maja musti naik yang ekonomi' petugasnya liat saya udah bawa kartu putih, disuruh tuker tiket di loket. Baiklah, saya nurut aja. Di loket, uang saya dibalikin. Nggak sempet ngitung berapa yang dibalikin, tapi kayanya cuma Rp 5000 aja sebagai refund kartu, dan setelah itu saya dikasih kertas tiket baru seharga Rp 1500, jurusan Parung Panjang-Rangkas Bitung.
7. Kembali tanya ke petugas, ditunjukin kalau keretanya sudah dateng. Saya segera naik ke kereta yang ditunjuk, gerbong paling depan. Feeling nggak enak saya langsung terbukti. Keretanya masih jadul sekali sodara-sodara.....Kereta ekonomi yg nggak ada AC-nya gitu. Ada sih sebenernya, tapi lebih banyak bocornya ketimbang dinginnya. Terus bangkunya plastik, duduk berdua hada-hadapan. Lantainya becek karena AC bocor dan banyak yang jualan mondar-mandir berserta pengemis2 mondar-mandir di dalam kereta. Huuuu, di sinilah saya sudah mulai pengen nangis.
8. Kereta lalu mulai berjalan, sepanjang perjalanan saya makin blank. Pasrah. Pemandangan di luar jendela berupa hamparan sawah. Saya pun bisa melihat kerbau-kerbau yang lagi main-main di lumpur. Seandainya saja tujuan saya adalah liburan, bukannya sebuah business meeting, saya pasti senang melihat pemandangan indah seperti itu, tapi sayangnya, dengan kondisir pakai atasan batik ucansee yang ditutupi cardigan pendek hijau terang, sepatu bludru yang menampakkan kuku-kuku kaki saya yang berkuteks merah, celana kain berpotongan resmi dan full make up di wajah, saya tidak terlalu antusias melihat pemadangan itu. Apalagi dengan kondisir kereta yang menyedihkan. Sejauh ingatan saya, semenjak lulus kuliah, saya sudah tidak pernah naik kereta yang jelek seperti ini. Nangis2 dalam hati dah. Panas banget. Ketek saya sudah mulai basah. Huh.
9. Sampai stasiun Maja, jelas lah nggak ada taksi. Jadi saya jual murah, langsung menghampiri saja tukang ojek pertama yang nawarin diri ke saya. Saya bilang mau ke Jalan Raya Serang, KM 69. SI Bapak Ojek berpikir sebentar dan menyebutkan Rp 50.000. Saya pun tanpa perlawanan mengiyakan saja. Yasudah lah yang penting sampai!
10. Sesungguhnya benar adanya bahwa jalanan di propinsi Banten itu jeleknya bukan main, Sodara-sodara. Perjalanan jauh rupanya sekitar 20KM, rute yang diambil si Bapak Ojek memang jauh sih, katanya ada jalan yang memotong dan lebih singkat, tapi pas ditunjukin jalannya Oh No, jelek sekaliiii. Kalau jalan yang saya lalui waktu itu sudah jelek, yang ini lebih jelek lagi.
11. Bapak Ojek nggak nganterin sampai pabrik. Kampret banget dah. Dia anterin saya sampai perempatan apalah namanya. Perempatan Cikande kayanya sih namanya, soalnya itu pertemuan jalan Cikande dan Jalan Serang. Di situ saya dianterin sampai angkot dan dia nitipin saya ke supirnya. Hih, Bapak Ojek-nya jahat. Tapi yaudah lah saya pun tanpa perlawanan kasih aja duit 50ribu sesuai kesepakatan di awal dan tanpa basa-basi langsung naik ke mobil angkot yang supirnya mengklaim tahu tempatnya.
12. Angkot berjalan, rupanya si supir pun tidak yakin sama tempatnya. Saya sih gampang, tinggal bilang Jl. Raya Serang KM 69. Terus terjadilah dialog nggak penting yang berulang2 seperti ini :

Supir : itu pabriknya di dalam kawasan Modern nggak?
Saya : Nggak kayaknya, Pak. Soalnya di alamatnya nggak dibilangin begitu. Cuma KM 69. Jadi harusnya di pinggir jalan.
Supir : Lah, di sini sih orang nggak pernah pakai KM-KM-nya, Neng. Tanya aja supir angkot lain atau ojek, mereka nggak tahu kalau KM-KM-an. Itu gimana sih yang ngasih alamat nggak jelas banget. (Ngomel2)
Saya : (udah bete tambah bete) Terus gimana dong Pak?
Supir : Di sini sih pake nama pabriknya, baru orang hapal.
Saya : (Nyebutin nama pabriknya)
Supir : Itu pabrik apa, Neng?
Saya : (Kesel) Lah katanya kalau nama pabriknya hapal.
Supir : Itu di kawasan Modern nggak ya pabriknya?
Saya : Grrrrrrrr.
Dan rupanya emang KM-KM di Jalan raya Serang itu nggak beraturan. Alamat di plang sebuah pabrik KM 44, tahu2 KM 72, lalu KM 68. Nggak jelas banget. Dan supir angkotnya beneran bikin kesel. Katanya nggak pake KM, pakenya nama pabrik. Disebutin nama pabrik, nggak tahu juga. Ada juga Mbak-Mbak dan Mas-Mas di dalam angkot, dibilangin nama pabriknya mereka nggak tahu. Padahal saya yakin kok ini pabrik gede. Boss saya yg udah pernah kesana juga bilang begitu soalnya. Pabrik gede, keliatan juga di pinggir jalan.

Akhirnya saya telepon lah ke pabrik, itu posisi saya sudah lewat kawasan Modern. Rupanyaaaa, dari persimpangan tadi, saya seharusnya belok ke kanan, bukan ke kiri. Dan katanya dari simpang belok kanan itu nggak jauh kok.

Hih, kesel hati, saya turun dari angkot. Langsung panggil ojek. Saya bilang saya mau ke KM 69. Eh, dianya malah mau masuk kawasan Modern. Saya omelin, saya nggak mau masuk ke dalam, yaudah Bapak nurut aja sama saya tunjukin jalannya.

Akhirnya, saya yang ngarahin Bapak Ojeknya sampai ke depan pabrik. Dan demi Tuhan saya sungguhlah bingung...kenapa orang2 yang saya temui pada tidak tahu pabrik itu. Saya saja yang baru pertama kali kesana dengan mudahnya melihat drum air segede bag*ng di pinggir jalan lengkap dengan nama pabrik tersebut. Dari situlah saya bisa langsung mengenali pabrik itu dari kejauhan.
Saya sungguh masih heran sampai saat ini. Padahal kan itu pabrik dilewatin angkot dan bis tiap saat. Dan pabrik gede loh, pinggir jalan pula! Hiiiihhh, keselnya sampai ke ubun-ubun.

13. Sampai di pabrik, lewatin pos satpam, lewatin resepsionis, diminta menunggu bentar lagi dipanggilin orang Purchasing-nya, saya ke Toilet bentar (yang mana toilet campur dan lagi ada bapak2 ngobrol di wastafel). Emang nggak niat mau pipis, cuma mau cuci tangan dan dandan, tapi karena ada bapak2 diluar, terpaksalah masuk ke dalam bilik toilet buat touch up. dan akhirnya keluar dari WC, menunggu sebentar lagi, bertemulah saya dengan si orang Purchasing.

Total lama perjalanan berangkat : 4 jam (sudah termasuk menunggu kereta dan drama2 dengan tukang ojek dan angkot)

Pulang
1. Karena tidak mau naik kereta lagi (booooo, plis yaaa) saya pun memutuskan naik bis saja. Saya memang sudah dikasih tahu ada bis dari Kalideres yang lewat di jalan itu. Dan karena perjalanan pulang saya santai, maka saya putuskan naik bis itu saja. Terutama karena memang sepanjang perjalanan naik ojek dan angkot tadi, saya berkali-kali melihat bis jurusan Kalideres-Rangkasbitung itu. Jadilah saya kembali ke persimpangan Cikande itu. Belum makan siang, tapi bingung makan apa di pinggir jalan itu. Nggak napsu dan takut kemaleman juga klo makan dulu. Jadi cuma beli minum dan beli pulsa di Alfamart yang bonus biskuit Oreo isi 3 biji. Lumayan buat ganjel perut. Keluar Alfa langsung ketemu bis-nya. Yaa, bukan bis sebenernya, tapi kayak Kopaja level 2, gede dikit dari Kopaja dan kagak ada AC.
2. Saya duduk di belakang supir, bersebelahan sama Bapak-bapak yang beberapa kali mencoba mengajak saya mengobrol. Nanya2 'mau kemana, Neng' saya jawab jutek 'ke kalideres' (yaialahaaayyyy bisnya kan emang jur kalideres, hehehe) terus ditanya lagi 'habis kerja, Neng?' yang saya jawab lagi setengah kumur2 'nggak habis ketemu orang' lalu saya pun minum teh botol dan makan oreo dengan nikmatnya lalu bobo sore di dalam bis sampai masuk Jakarta. Ahhhh, tidak pernah saya sesenang itu kembali ke Jakarta. Hahahaha.
3. Di Kalideres, niat hati mau naik busway aja, karena sekali lagi ya itu, saya kan nggak familiar sama bis kota. Tapi yaoloh, antriannya di halte busway enggak banget. dan ada pengumumun di loket busway yg bilang 'maaf busway lama karena ada perbaikan jalan'. yaudah saya langsung mengedarkan mata, mencari2 kemudian menemukan Bis Patas AC jurusan Kalideres-Bekasi Barat. Ihiiiiyyy, saya pun langsung melipir kesana.
4. Untung saya masih dapet duduk, di depan. AC-nya adem. Saya tidur pulas, sementara bis bertambah penuh dengan penumpang yang semakin bertambah. Perjalanan macet karena memang pas jam pulang kantor. Saya pun kasihan dengan yang berdiri,teringat dulu saya pernah ada di posisi sulit seperti itu. Pulang pergi kantor dengan penuh perjuangan. *lalu tertidur lagi
5. Perjalanan total dari Serang sampai Kalideres sampai keluar tol bekasi barat tidak lebih kompetitif ketimbang naik kereta.4 jam-an juga saya sampai di gerbang tol. Sudah lapar perut saya, lemes banget rasanya. Sebelum melanjutkan naik angkot pulang ke rumah, saya memutuskan mampir ke McDonalds dulu di BCP (Bekasi Cyber Park) biar pulang rumah bisa langsung mandi terus bobo. Tapi pernah nggak sih, saking laper dan capeknya, sampai nggak napsu makan rasanya. Hebat loooh, saya nggak habis makannya. Jarang-jarang banget tuh. hiks.
Pas sampai di rumah, setelah mandi (belum keramasan karena udah malam) saya merasakan nikmat yang amat sangat saat si punggung bertemu dengan kasur. Huaaaaa.....benar2 nikmat yang tak terdustakan.


Moral of the story
1. Ke Serang itu nggak segampang ke Bogor
2. Nggak lagi2 deh ke Serang naik kendaraan umum kalau nggak untuk liburan
3. Moral terpenting, adalah tidak ada yang mudah di dunia ini. Punya bisnis sendiri enak? Makan tuh enak? Waktu kereta berhenti di St. Maja yang adalah stasiun kecil di desa gitu, peronnya kecil, gerbong saya nggak kebaikan peron. Jadilah saya loncat dari kereta. Panas-panasan. Saya berasa salah kostum di stasiun itu. Dalam hati saya bilang, "makan tuh gengsi". Beneran deh, udah nggak ada gengsi-gengsi-nya lagi saya. Saya yakin, semua kesulitan dan kerja keras ini akan terbayar suatu saat nanti. Di suatu saat di masa depan nanti. eh tapi setelah semua capek hilang, saya keinget pemandangan indah yang saya lihat di kereta ekonomi jurusan Rangkas Bitung waktu itu, saya jadi senyum2 sendiri, baru sadar gitu kalau pemandangan kemarin tuh emang indah banget. Jadi kepikiran suatu weekend nanti jalan-jalan naik kereta begitu. Hehe.



Minggu, 20 Oktober 2013

A Weird Dream about Doomsday

Saya tahu kalau saya ini punya bakat mimpi aneh. Umur sudah mau 26 tahun tapi mimpinya masih 'ajaib' banget. Tentang pasukan alien (berupa semut-semut hitam) yang menyerang bumi, tentang jadi juri World's Top Models, atau yang semi2 horror tentang seorang anak kecil laki-laki yang membunuh keluarganya (si anak cowok ini bunuh ayah ibu-nya kecuali adek perempuannya yang kelewat karena dipikir udah mati waktu digantung). Sumpah horror banget. Padahal saya bukan penikmat film2 seperti itu. Sampai saking seringnya saya mimpi aneh begini, adik saya sering bilang 'bikin film aja, mak. ceritanya bagus tuh dijual.' hahaha.

Ok, jadi post kali ini mau cerita tentang mimpi saya tadi malam. Tentang hari kiamat. Entah kenapa, tiba-tiba mimpi begini. Scene-nya juga nggak jelas, tahu-tahu saya udah ada di tengah kericuhan aja semua orang lari sana sini. 

Saya bersama sekelompok orang, kami ada berempat. 'Pemimpin' kami bertampang seperti Tom Cruise. Lalu ada satu cowok negro. Satunya lagi saya tidak ingat mukanya, tapi dia cowok bertampang oriental. Saya sendiri nggak tahu bagaimana wajah saya di dalam mimpi itu. 

Kami pun seperti warga dunia lainnya, sibuk cari keselamatan. (saya nggak tahu deh nasib keluarga saya di mimpi itu, karena saya pun nggak mikirin mereka, padahal klo kenyataan terjadi ya nggak mungkin lah ya saya nggak mikirin keselamatan mereka. namanya juga mimpi sih, diseriusin, hehe)

Target kita adalah sebuah lapangan udara, di mana di situ ada sebuah pesawat yang bisa bawa kita pergi ke luar angkasa untuk kabur dari bumi yang sebentar lagi mati. Tapi adaaaa aja halangannya. Yang kejebak macet (kayak di jakarta aja), serangan tentara pengkhianat, sampai si pemimpin yang berwajah Tom Cruise itu terluka, jadi waktu kita semakin mepet. 

Di tengah jalan, kita juga ketambahan satu orang lagi masuk di grup kita. Seorang professor gitu. Dia nggak jahat sih sebenernya, tapi temperamen. Jadi nyebelin, dan si negro hampir aja nendang dia keluar waktu roket kita lagi terbang. Saking keselnya. 

Singkat cerita (mimpinya agak amburadul), kita berhasil keluar dari atmosfir bumi, dan kita menyaksikan kiamat terjadi. Awalnya, kita masih sama-sama nggak tahu kiamat-nya seperti apa. Ada yang bilang meteor nabrak bumi, atau inti bumi meletus, tapi itu semua hanya asumsi, yang pasti kita sudah tahu, hari itu kiamat. Titik. Mbuh piye carane.

Jadi seperti inilah kiamat dalam mimpi saya.

Kutub selatan bumi kita menghilang.

Karena Kutub Selatan menghilang, air laut semakin meningkat tingginya, tapi itu tidak berdampak besar sebenarnya. Baru selama beberapa hari ke depan, kiamat mulai terjadi.

Karena Kutub Selatan hilang, medan magnet bumi kita jadi nggak seimbang. Bumi kita kacau balau. Bumi kita jadi nggak bisa menahan unsur-unsur penting yang diperlukan untuk makhluk hidup di dalamnya. Udara kita jadi nggak berguna. Atmosfir bumi berantakan. Manusia nggak bisa bernapas. Peristiwanya seperti orang yang kekunci di dalam mobil. Gerah, ngantuk, ketiduran, tahu-tahu 'lewat' gitu aja. 

Dan disinilah meweknya. Saya awalnya membayangkan kiamat yang heboh. Ledakan, kebakaran, tsunami di sana sini. Tapi yang ada, justru kiamat yang perlahan-lahan. Para manusia tidak mati serentak. Orang-orang yang lebih kuat bisa bertahan hidup lebih lama. Mereka masih sempat menemani dan me'nina bobo'-kan orang-orang yang sudah lebih dulu 'tertidur'. Suasana yang sebelumnya ricuh sebemul kiamat, berubah menjadi tenang setelah semua orang sadar seperti inilah kiatam mereka.

Kiamat yang hening.

Tanpa alien, meteor, asteroid.

Kiamat yang romantis, karena kita diberikan waktu yang cukup untuk mengucapkan salam perpisahan kepada orang-orang yang kita sayang.

Mewek banget lihat kondisi seperti ini. Saat-saat yang sangat menguras emosi. Sampai akhirnya seluruh manusia di bumi 'tertidur'.

Dan saya baru menyadari, kita ada di luar angkasa, selamat dari kepunahan. Tapi lalu tujuannya apa?
Entahlah. 
Saya keburu bangun.
Nanti kalau ada sekuelnya saya ceritakan.

Yang pasti, gara2 mimpi malam tadi, saya jadi kepikiran. Mungkin kiamat itu memang sebenarnya terjadi setiap hari. Dia datang dalam hening. Bukankah peristiwa hidup dan mati selalu terjadi? Bedanya dengan mimpi saya, kita tidak tahu kapan kiamat kita datang. Tapi sungguh, kita sebenarnya selalu diberi waktu oleh Tuhan untuk melakukan banyak hal sebelum kiamat itu datang. 

Hmm, sekali lagi entahlah. Mungkin saja mimpi tentang kiamat ini hanya sekedar mimpi random seperti yang sering terjadi. 

bukan, kiamatnya nggak heboh kayak gini di mimpi saya. (picture taken from http://channel.nationalgeographic.com/channel/episodes/doomsday/)

Rabu, 16 Oktober 2013

Happy Birthday, MyMas!

16 Oktober 2016

Ulang tahun MyMas yang ke-26.
Umur yang sudah cukup untuk dikatakan dewasa dan matang.

Tidak ada pesta kejutan yang berlebihan. Tidak ada selebrasi khusus berhubung ulang tahun jatuh di hari kerja.

MyMas bekerja seperti biasa. Berangkat pagi pulang sore sampai rumah sekitar pukul 6. Saya ke rumahnya sekitar pukul 18.30 membawakan kado dan cake Tiramisu Breadtalk yang sudah saya siapkan.

Saat saya datang, MyMas sedang mandi. Rupanya dia sudah makan bersama Bude dan Om-nya. Bude tidak masak khusus, malah MyMas disuruhnya beli sesuatu untuk dimakan di rumah. Niatnya mau beli mi goreng tapi karena masih pada tutup liburan Idul Adha, jadi MyMas beli sate di depan kompleks.

Setelah selesai mandi, MyMas menemani saya makan sate berdua di meja makan. Sambil mengobrol soal kerjaan. Akhir-akhir ini dia memang mengeluhkan soal suasana kerjanya yang semakin tidak enak. Saya mendengarkan dengan perhatian tentunya sambil menikmati sate yang emang enak itu. Pantes saja warung sate-nya ramai terus. MyMas nggak pernah mau saya ajak makan sate di situ karena males nunggu. Untung ada momen spesial ultahnya jadi dia rela nungguin sate. Hehe.

Ohya, selama makan sate itu juga saya putar lagu2 ulang tahun yang sudah saya simpan di HP. Saya memang punya satu folder lagu2 ultah di laptop. Dari lagu medley anak yang jadul, lagunya Benyamin S, lagunya Kahitna, lagu Jamrud yang wajib diputer saat ultah, sampai favorit saya : lagu ultah versi Korea yang dinyanyiin anak kecil lucuuuu sekali. Makan sate sambil ngobrol sambil dengerin lagu2 ultah. Dan saya rasa, kita sering pandang2an malu2 gitu kayak baru pertama kali jalan bareng. Hehe.

Habis makan sate, kita tiup lilin. Terus potong kue. Nggak ada prosesi khusus, hanya kita berdua di meja makan duduk berhadapan. MyMas tiup lilin dan potong kue. Saya memotret seadanya dengan BB. Tidak ada suap potongan pertama. Hanya make a wish lalu makan kue bareng di teras rumah bersama Bude dan Om-nya.

Cake Tiramisu BreadTalk menurut saya rasanya kemanisan, jadi makan satu potong cukup banget. Padahal awalnya saya pikir saya akan nambah kuenya untuk hilangin rasa gurih sate di mulut, rupanya sepotong saja sudah cukup kemanisan di mulut.

Setelah makan kue dan ngobrol dengan Bude dan Om-nya, saya dan MyMas masuk ke rumah dan duduk2 di depan TV. Berdua nonton TV sambil ngobrol. Duh, kalau sudah begini, rasanya saya pengen cepet2 nikah biar bisa goler2an manja sama MyMas di rumah kayak gini. Santai. Tanpa mikirin nggak boleh pulang kemaleman. Rasanya ngeliatin MyMas tuh senengggg banget, pengen loncat meluk dan cium dia, tapi berhubung di rumah Bude-nya tentu saja harus menahan diri dan hasrat menggebu untuk uwel2 MyMas. Hehe. Nasib nasib...

MyMas nggak mau kasih tahu apa Birthday Wish-nya dia. Tiap ditanya cuma bilang: ' Biar Pooh cepet gede." hahahah.Pooh adalah boneka pemberian saya ke dia dulu waktu ulang tahun MyMas di tahun 2010.

Ohya, apa hadiah saya ke dia di tahun ini? Sebuah kemeja lengan pendek seharga 90ribu beli di ITC Kuningan. Sebenernya, MyMas itu lagi ribut nyari baju yang 'nggak perlu disetrika'. Alasannya karena jadwal kerja dia yang nggak manusiawi jadi dia capek bgt nyuci setrika. Tapi....nyari baju begitu kan susyeeee. Ada sih sebenernya nemu di Matahari, tapi bahan yg begitu harganya 400ribu. Maap ya Mas, diriku tak sanggup. Hehe. Mending duitnya ditabung, jadi kita bisa cepet nikah, dan saya bisa servis cuci setrika masak nyapu ngepel gratis buat Mas. Hihihihi.

Ahhh....Happy Birthday Once Again, MyMas. Semoga segera menikah sama saya! Hahahaha.




Senin, 23 September 2013

I love him more

Sabtu kemarin, My-Mas ngajak aku menjenguk salah satu budenya yang sedang diopname di rumah sakit. Kebetulan aku sudah pernah bertemu dengan budenya belum lama ini. Setelah muter-muter cari anteran untuk dibawa ke rumah sakit dan berakhir dengan membeli roti-rotian di Hollan Bakery, akhirnya kita sampai di Rumah Sakit Bella di daerah Bekasi.

Ada satu hal yang bikin aku senyum-senyum terus sampai sekarang. Sore itu, aku melihat bagaimana perhatiannya si My-Mas kepada budenya. My-Mas memegang tangan dan kening budenya untuk memeriksa suhu tubuhnya. Membetulkan selimut dan posisi tidur budenya. Mengajak mengobrol dan bertanya-tanya tentang kondisinya, obat yang diberikan dokter, dan memberi dukungan supaya budenya mau makan.

Melihat perhatian yang diberikan kepada My-Mas membuatku teringat suatu peristiwa beberapa tahun yang lalu, sewaktu kita masih berteman, belum pacaran. Aku ingat sore itu, aku dan beberapa teman sedang duduk-duduk di depan ruang kelas dan mengobrol, bercanda. Lalu My-Mas dan beberapa teman yang lain datang dan bergabung dengan kami. Lalu My-Mas datang menghampiri seorang teman, perempuan, sebut saja namanya Tita. 

"Tita udah sembuh? Lagi sakit, kan?" tanya My-Mas kepada Tita yang duduk di atas tangga.

"Udah kok, enakan. Ini makanya udah bisa ke kampus," jawab Tita.

Lalu kulihat My-Mas mengulurkan tangannya ke kening Tita untuk memeriksa suhu badannya. 

Ada yang beda dari cara My-Mas saat memegang kening Tita. Ada perhatian. Ada kelembutan. Entah lah. Yang pasti beda.

Saat itu, di tengah keramaian teman-teman lain yang sibuk mengobrol dan bercanda, hal yang dilakukan My-Mas tidak menarik perhatian. Lagipula, kita sesama anak KMK memang dekat dan sudah biasa toyor-toyoran. Kontak fisik sudah biasa di antara kami. Maksudku, kami memang perhatian di antara kelompok KMK kami dan apa yang dilakukan oleh My-Mas ke Tita sebenarnya biasa saja. Hanya perhatian kepada teman. Aku pun tahu hal itu. 

Tapi ada yang beda dengan yang dilakukan My-Mas saat itu.

Membuatku cemburu.

Entah kenapa, saat itu aku ingat sekali, aku kepengen menjadi Tita, yang diberi perhatian sama My-Mas.

Padahal kan waktu itu kita 'hanya berteman'. Aku tidak tahu soal perasaan My-Mas saat itu. Aku pun tidak pernah punya intensi suka kepada dia. Tapi entah kenapa, aku melihat My-Mas saat itu manisssss sekali. Dan sepertinya untuk beberapa detik, aku sempat jatuh cinta padanya. Hahaha.

Hanya sebentar saja, dan dunia kemudian berjalan seperti biasa. 

Aku baru teringat peristiwa sore itu  lagi saat kita sudah pacaran dan saling mengulik perasaan satu sama lain. Kukatakan padanya aku belum punya perasaan suka apapun kepadanya, tapi entah kenapa perhatiannya yang diberikan pada Tita sore itu membuatku cemburu. Mungkin itu pertanda.

Kemudian hari Sabtu kemarin, melihat My-Mas memberi perhatian kepada budenya, membuatku teringat peristiwa itu lagi. Bukan cemburu yang kurasakan. Tapi terharu. Ada sesuatu yang beda. My-Mas yang cenderung cuek orangnya dan suka dikomplain keluarganya karena kecuekannya itu, ternyata sebenarnya sangat perhatian. My-Mas bisa menunjukkan gesture dan kontak fisik yang pas untuk membuat seseorang merasa nyaman. My-Mas itu manis sekali. Aku suka.

Aku jatuh cinta lagi padanya sore itu. Aku makin jatuh cinta pada si My-Mas.

Aku membayangkan nanti saat kita sudah menikah, aku sakit dan terbaring lemah, ada si My-Mas yang dengan manis dan penuh perhatian merawatku. Ah, tidak perlu sakit juga sih, aku hanya ingin diberi perhatian melulu oleh My-Mas. Hehe. 

Intinya sih, My-Mas itu bikin aku meleleh. Tatapan matanya. Ahhhhhh....

I love him more and more and more and more.......

Senin, 29 Juli 2013

Feel the pain on your skin

Pacar saya - My Mas - seorang apoteker yang kerja di sebuah perusahaan farmasi. Kalau pacar-pacar orang lain datang membawakan coklat atau bunga atau martabak telor, My Mas bawain berbagai macam produk dari perusahaan tempat dia bekerja. Obat batuk, multivitamin, jus buah, obat diare, obat masuk angin, obat untuk nyeri haid. Nggak tanggung-tanggung, dia membawakan satu kotak, atau satu botol besar. Jadinya, kotak obat saya selalu penuh dengan stok obat. Dulu dia pernah membawakan 2 kotak minuman multivitamin. Minuman ini sebenarnya bisa diminum baik cewek atau cowok, tapi karena ada kandungan ginseng di dalamnya dan branding yang dibuat dari awal, jadinya minuman ini identik dengan pria.

Jadi, karena 2 kotak terlalu banyak untuk saya habiskan sendiri, saya pun membawa 1 kotak ke kantor untuk saya bagi-bagikan ke bapak-bapak di kantor. Dari situlah, saya dapat julukan Mbak SPG. Keliling kantor untuk bagi-bagi minuman. Udah cocok pakai rok ketat. Tinggal dandan lebih menor aja sambil merayu-rayu. Apalagi yang dibagikan minuman kesehatan begitu, jadilah saya digoda habis-habisan hari itu.

Sebenarnya ada alasan kenapa pacar saya suka membawakan obat-obatan untuk saya. Yaitu karena saya ini emang hobby sakit dan terluka. Sakit yang dimaksud di sini bukan sakit yang aneh-aneh. Penyakit langganan saya cukup merakyat kok, yaitu diare. Diare sudah jadi hobby saya semenjak saya kuliah di Jakarta dan hidup jauh dari rumah. Terbiasa hidup bersih di rumah dan pola hidup yang sehat, perut saya jadi sensitif banget. Makan kotor sedikit, langsung diare. Buah nggak dicuci, langsung diare. Sebenarnya, diare ini tidak terlalu mengganggu. Paling hanya setengah hari perut saya nggak karuan, maksimal seharian. Besoknya pasti sudah pulih. Tapi setelah kerja, diarenya suka agak parah. Berhari-hari dan sampai demam tinggi.

Selain diare, saya juga suka melukai diri sendiri. Kadang, waktu lagi pakai body lotion ke seluruh tubuh, saya suka merasa perih dan baru menemukan ada luka di sini atau di situ. Entah darimana asalnya. Tapi saya nggak heran lagi, soalnya saya memang suka lecet-lecet. Entah karena buru-buru waktu buka tutup pintu jadi tergores, paper cut, kesusup kayu dari meja, tergores klip. Saya juga sering kepentok dan jadinya badan memar-memar. 

Saat ini, terhitung ada 3 luka di badan saya. Satu, memar di paha gara-gara kepentok meja. Memarnya biru dengan diameter 4 cm, dan mencolok kalau pakai celana pendek. (padahal mau liburan jalan-jalan ke pantai gimana ini mau pakai hot pants?) Dua, luka di jempol kanan gara-gata tersilet pencukur bulu. Ini salah satu luka yang paling dibenci. Waktu luka ini terjadi, awalnya dikira kesilet biasa, jadi saya pun refleks mengemut luka di jempol itu sambil saya mencari betadine. Beberapa saat saya baru sadar, kalau darah yang saya emut banyak sekali. Rasanya seperti minum darah. Dan ternyata darah yang keluar banyaaakkk sekali. Darahnya menetes-netes dari jempol saya. Entah berapa banyak tissu habis untuk mengelap darahnya. Dan perihnyaaaaa....luar biasa. Saya bisa melihat lukanya cukup dalam. Baru di sore harinya, beberapa jam setelahnya, saya akhirnya berani meneteskan betadine ke lukanya. Sambil loncat-loncat kesakitan dan meringis. Beruntung sekarang lukanya sudah sembuh, lukanya sudah menutup dan saya sudah bisa menggunakan jempol kanan dalam aktivitas sehari-hari. Kemarin, selama lukanya masih membuka, rasanya sakit luar biasa. Selain itu, lukanya juga masih basah, jadi agak-agak jorok kalau menempel kemana-mana.

Luka terakhir baru saja saya dapat hari Jumat kemarin. Saya kena setrikaan panas, sodara-sodara. Uggghhh. Rasanya panas sekali. (Ya iyalah ya) Setelah saya teriak merasakan panas akibat nggak sengaja nyentuh setrikaan, saya refleks mengemut bagian yang terkena itu. (Hobinya ngemut luka, ih) Setelah itu saya perhatikan, kulit saya hanya memerah sedikiiiittt saja, tapi saya heran, kenapa rasanya sakiiiit sekali. Lalu saya letakkan tangan saya di bawah air kran yang mengalir. Enak sekali rasanya, sakit itu hilang. Setelah beberapa saat, saya matikan kran. Dan sakit itu datang lagi. Beberapa kali saya ulangi, sakitnya tidak mau hilang, hanya sesaat hilang saat dikucurin air. Padahal saya lagi banyak kerjaan, tidak mau saya menghabiskan seharian di bawah air. Jadi saya cuekin saja rasa sakitnya, apalagi karena kulit saya hanya memerah sedikit dan tidak ada luka.

Ternyataaa....beberapa jam kemudian, di siang harinya, kemerahan itu berubah menjadi kehitaman. Kampret dahhh. Kok malah jadi begini kulit saya. Cenat cenutnya sudah berkurang, tapi hati saya malah cenat cenut melihat bekas hitam yang jelek di tangan saya.

Tentu saja dong, saya ngadu ke pacar saya, sang apoteker tercinta. Malam harinya kita makan bareng, saya tunjukkan bekas setrika itu. Dia hanya geleng-geleng kepala sambil bergumam, 'Kok bisa begini, sih' 
Saya hanya tertawa-tawa bego. Emang dasar bego banget ya saya kok bisa ceroboh begini. Dia menganjurkan untuk diberi beberapa obat. Saya bilang besok saja kan saya balik ke kosan, di kosan ada stok obat dari dia. Jadi deh baru hari Sabtu-nya, saya bisa mengoleskan salep ke luka ini.

Saya pikir penderitaan saya berakhir di situ. Ternyata tidak, sodara-sodara. Hari Minggunya, saat lagi misa di St. Theresia, saya dan adik sempat bercanda sambil menunggu misa mulai. Tidak sengaja kulit saya yang kena setrikaan tergesek di meja dan......kulitnya mengelupas. Dan...perihhhhhhnyaaa. Huuu.... Kulit yang mengelupas itu jadi mengekspos kulit bagian dalam yang basah. Damn. Kulit yang terkelupas itu awalnya hanya sedikit. Saat pulang gereja naik taksi, saya tidak sengaja menggosekkan kulit itu lagi di jok taksi, jadinya sukses deh terbuka lagi kulitnya.

Kemarin, itu kulit udah kebuka semua. Saya jelas-jelas tidak bisa beraktifitas bebas dengan luka seperti itu. Saya oleskan salep terus ke luka tersebut supaya cepat kering dan nanti tidak ada bekas. Semoga saja. Soalnya jelek banget ini lukanya.

Betenya kalau ada luka seperti ini. Iya sih, karena sudah sering lecet-lecet dan berhari-hari merasakan sakit nyut-nyutan, saya sudah terbiasa dengan rasa sakit ini. Tapi satu hal yang jelas, tetap saja hal itu menganggu. Bikin kita jadi nggak produktif karena kita harus menjaga supaya luka ini nggak terbentur atau tergesek atau malah tambah parah.

Saya ingat cerita Ibu saya dulu, katanya waktu kecil ini saya tidak pernah ngeluh. Kalau jatuh, luka, saya diam saja. Sepatu baru, lecet, saya diam saja diajak jalan-jalan. Baru ketawan luka waktu sepatunya dibuka. Saat saya lagi sakit demam atau batuk pilek waktu kecil, saya juga tidak merepotkan. Makan dan tidur saja tanpa perlu merengek-rengek karena badannya tidak enak. Dan saya masih seperti itu sampai sekarang.

Dengan analogi luka seperti ini, seorang teman pernah 'menyindir' saya. 'Kamu itu terlalu kebal sama rasa sakit'

Saya hanya tersenyum kecut waktu dia mengatakan hal itu. Bayangkan saya yang berada dalam relationship yang tidak sehat selama hampir setahun dan saya masih kuat menjalaninya. Sahabat saya itu sampai tidak habis pikir. Kadang, terlalu sering merasakan sakit membuat kita membenarkan rasa sakit itu.

Kita menganggap memaafkannya akan memperbaiki keadaan dan menyembuhkan luka. Kemudian hari saya belajar. Memaafkan seharusnya tidak diperlakukan demikian. Memaafkan orang lain berarti move on. Memaafkan orang lain berarti juga memaafkan diri sendiri. Untuk kebodohan yang kita lakukan bersama orang itu. Tetapi kemudian memberi kesempatan yang lebih baik kepada diri sendiri, bukannya memaklumi kebodohan itu dan menjalaninya lagi terus menerus. Menimbulkan luka yang lebih banyak dan lebih dalam lagi. Lalu dimanakah penghargaan kita terhadap diri sendiri?

Bertemu My Mas termasuk yang menyadarkan saya. Bahwa rasa sakit itu tidak boleh dimaklumi. Sebagai seorang apoteker yang peduli dengan kesehatan, sering kalau saya mengeluh tentang tubuh saya, dia akan memberi masukan-masukan yang baik untuk kesehatan saya. Apalagi ceweknya ini darah rendah, anemia, dan selalu ditolak kalau mau donor darah. 

Secara tidak langsung, saya pun belajar, untuk menyembuhkan luka-luka batin saya. Mencari si sumber penyakit dan mengobatinya dengan obat yang tepat. Dan belajar untuk tidak melukai diri sendiri lagi.

Sama seperti saya yang suka ceroboh dan membuat luka di sana dan sini di seluruh tubuh saya, tapi setidaknya saya sudah berhenti membuat luka di hati saya.

Tidak perlu takut merasa sakit. Kadang kita harus merasakan panasnya papan setrikaan, atau tertusuk duri saat bermain di taman bunga. Tapi kemudian, proses mengobati itu akan menyadarkan kita bahwa kita itu begitu berharga. Seperti kita yang merawat tubuh kita sebaik-baiknya supaya tidak sakit, hati kita pun harus kita rawat.

Kadang bekas lukapun tidak sepenuhnya hilang. Tidak apa-apa, tidak usah takut Karena bekas luka itu akan jadi cerita untuk masa depan. Entah kisah sedih, konyol, atau gembira. Yang jelas ia akan jadi pengingat rasa sakit itu. Untuk kita tidak melakukannya lagi kepada diri sendiri dan juga pada orang lain.



dapet salam dari tangan yang kena setrikaan. jangan kapok nyetrika, katanya ;)

Rabu, 24 Juli 2013

Kenapa Aku Tidak Sabar Untuk Segera Menikah Denganmu

Bukan karena alasan umur yang sudah cukup untuk menikah demi status sosial.

Bukan karena aku ingin hidup enak ada suami yang menafkahi.

Bukan karena aku tidak sabar untuk membuat punya anak.

Tetapi karena...
Aku benci dengan perasaan rindu ini setiap kali kita mengucapkan 'Dadah...' setiap kali habis berkencan.

Ketika kita berpisah di angkot.

Ketika aku turun dari motormu.

Ketika aku membuka pintu pagar dan masuk ke rumah.

Ketika aku melepasmu pergi di depan kosan dan melihat motormu menjauh.

Aku tidak sabar untuk segera menikah denganmu karena aku ingin kita berdua pulang ke 'rumah' yang sama. Tempat kita berdua tinggal bersama. Beserta anak-anak kita kelak bila Tuhan mengijinkan.

Tempat di mana mataku bisa dengan mudahnya menemukanmu setiap kali aku merasa rindu.

Tempat di mana aku bisa dengan mudahnya memelukmu setiap kali membutuhkan kehangatan.

Tempat di mana aku bisa merasakan kehadiranmu selalu dari wangi sampo yang kau gunakan, pakaianmu yang tergantung bersanding dengan pakaianku di lemari yang sama, buku-bukumu yang berserakan, dan sosokmu yang masih tampak sibuk di meja kerja hingga larut malam.

Jadi itulah alasanku kenapa aku tidak sabar untuk segera menikah denganmu.
Karena rindu.



Senin, 22 Juli 2013

Menjadi Dewasa (Part 2) : Obrolan bersama sahabat

Suatu siang saya BBM-an dengan seorang sahabat dari SMP. Dulu kita bersahabat baik waktu SMP, berlanjut sampai SMA meskipun kita beda sekolah. Waktu kuliah, dia lanjut di Korea, karena ayahnya yang orang Korea asli ingin semua anak2nya kuliah di negerinya. Setelah lulus kuliah dan frustrasi mencari kerjaan, sahabat saya ini kemudian mengambil kursus bisnis 1 tahun di Kanada. Beruntung sekali dia masih bisa memperpanjang masa main-main sekolah haha hihi satu tahun lagi. Di luar negeri lagi. Hehe.

Satu tahun kemudian setelah usai masa main2nya, mau tak mau dia pulang kembali ke Indonesia. Ke kampung halaman tempat kami tumbuh dan menghabiskan masa remaja kami. Batam. Setahu saya, dia awalnya bekerja untuk bisnis ayahnya. Sambil menjalankan online shop untuk tambahan uang jajan. Sekarang dia kerja di sebuah perusahaan pelayaran di Batam.

Terakhir kali kami mengobrol dalam rangka menyusun rencana libur akhir tahun. Dia mengajak untuk bertemu di Jogja bersama sahabat satu lagi dan jalan-jalan di tahun baru.Sayang, saya sudah ada rencana membawa pacar main ke rumah di Batam dan berkenalan dengan keluarga. Sepertinya, setelah mengetahui saya akan ke Batam di akhir tahun, dia memutuskan untuk liburan di Batam saja. Apalagi kalau dia sudah punya rumah sendiri, berarti kami bisa bebas main-main nginep-nginepan di rumahnya. Ya..mungkin saya minta satu kamar khusus buat saya sama pacar sih. Lumayan kan itung-itung hemat daripada check in di hotel. Kalau di rumah orang tua kan nggak bisa tidur sekamar. Pacar pasti dikelonin Ayah supaya aman. Hahahahaha.

Ada yang lucu dari obrolan BBM kami kemarin. Sahabat saya bilang, " Aku pikir dulu waktu masih remaja, kalau sudah dewasa itu enak. Sudah kerja, sudah punya uang sendiri. Bisa beli ini itu. Jalan-jalan. Bebas. Hidupnya enak."

Tentu saja kami sama-sama tertawa dan membenarkan pernyataannya. Menjadi dewasa ternyata tidak semudah yang dipikirkan dulu. Ada rencana masa depan yang harus disusun. Menabung. Investasi. Cicilan rumah. Isi bensin. Belanja bulanan. Kiriman ke orang tua. Anggaran pacaran dan liburan akhir tahun. Pekerjaan yang gajinya kok nggak pernah cukup. Bisnis yang harus dikembangkan. Dan sama seperti saya, dia lagi giat2nya menabung untuk menikah nanti.

Wow. *lap keringet di dahi*

See, menjadi dewasa itu nggak mudah kan.

Ah...sudah lebih dari 3 tahun aku belum bertemu sahabatku itu lagi. Terakhir kali bertemu masih kuliah. Masih saja dia memanggilku 'lautan kebijaksanaan'.  Si lebay satu itu. Kangen sekali pengen nginep2an ngobrol semalaman dan dimasakin masakan Korea yang enak.

Tidak sabar menunggu liburan akhir tahun.



Jumat, 12 Juli 2013

Menjadi Dewasa


Waktu kecil dulu, aku tidak pernah terlalu buru-buru untuk menjadi
orang dewasa. Tidak ada sesuatu yang spesial saat melihat orang-orang
dewasa dari sudut pandangku saat masih kecil dulu. Ya, mungkin pernah
beberapa kali dulu aku berkhayal menjadi orang dewasa. Tapi saat itu
aku sedang naksir sama seorang cowok dan aku berandai-andai kami sudah
dewasa. Bukannya supaya kami bisa melakukan 'hal-hal dewasa'. Bukan.
Pikirannku belum sampai kesana waktu itu. Masih polos. Tapi sepertinya
aku menganggap menjadi dewasa berarti menjadi lebih hebat. Karena itu
aku suka membayangkan diriku sudah dewasa dan lebih hebat daripada
diriku yang masih kelas 5 SD waktu itu. Dan aku berharap gebetanku
waktu itu terpesona dengan diriku yang lebih hebat.

Tapi sedangkal itu saja khayalanku tentang kedewasaan di masa kecil.
Beranjak remaja aku malah semakin kuatir ketika menyadari umur yang
terus bertambah. Mungkin karena di antara teman-teman seangkatan aku
sering menjadi yang tertua, aku sering dijadikan bahan bercandaan.
Tentu saja aku tahu itu hanya bercanda, tapi tetap saja....ada
perasaan insecure di dalam diriku.

Aku tidak ingin buru-buru menjadi dewasa.

Tapi waktu merupakan satu hal yang mutlak tidak dapat kita hentikan.
Ia terus datang meski kita tidak menginginkannya.

Dan di sinilah aku sekarang. 25 tahun (sebentar lagi 26 tahun!). Sudah dewasa.

Awalnya seperti tidak ada yang berbeda antara diriku 15 tahun yang
dulu dan diriku 25 tahun sekarang. Aku masih tetap merasa aku. Aku
masih mengenali diriku dengan utuh. Tapi ada saatnya ketika
kesadaranku datang, dan aku menyadari kedewasaanku sekarang, aku bisa
mengenali perbedaan2 dalam diriku sekarang.

Satu hal yang kusadari penuh dalam kedewasaanku sekarang adalah dalam
membuat keputusan. Terkadang, dalam kondisi aku dihadapkan pada
beberapa pilihan dan aku harus membuat keputusan, aku meronta2 dalam
hati, merengek2 minta kembali ke masa kecil. Saat dimana orang2 yang
lebih tua yang membuatkan keputusan untuk diriku. Aku tinggal menerima
hasilnya.

Tidak ada yg pernah bilang padaku kalau hal paling sulit dalam menjadi
dewasa adalah membuat keputusan!

Rasa bimbang, kuatir, takut, bersemangat, gembira...emosi2 yang
bermain2 disaat kita berusaha mengedepankan pikiran logis kita saat
hendak mengambil keputusan.
Dulu saat masih remaja, kupikir hidup ya mengalir saja. Ternyata
tidak. Hidup kita adalah rangkaian keputusan2 yang telah kita buat
sepanjang hidup.

Sejak kecil, Ayah dan Ibu tidak pernah memanjakanku. Aku bahkan masih
ingat dengan jelas, hari pertamaku TK, Ayah hanya mengantarkanku naik
motor, menunjukkan kelasnya padaku kemudian pergi ke kantor,
meninggalkanku sendirian. Waktu itu aku begitu polos, baru setelah aku
cukup besar beberapa tahun kemudian, aku menyadari betapa teganya Ayah
dan Ibu membiarkanku sendirian di TK hari pertama sekolah. Teman2ku
malah masih ditemani Ibu, Oma atau pembantunya selama berbulan-bulan
kedepan.
Kalau masuk TK saja sudah dibiarkan sendiri, tentu saja aku pun
sendirian saat masuk SD. Dan ketika kelas 3 SD, adikku masuk kelas 1
SD yang sama denganku, akulah yang mencarikan kelas untuknya. Ayah dan
Ibu meninggalkan kami berdua saja di sekolah. Padahal adikku waktu itu
kakinya masih di gips karena patah. Dia masih belum bisa berjalan
normal tanpa kruk. Dan aku ingat jelas, hari itu hujan deras. Aku
berdesak2an di antara para orang tua melihat papan pengumuman mencari
nama adikku.

Beruntung sekali, cara2 yang dilakukan orang tuaku dalam mendidik kami
membuat mental kami siap menghadapi kedewasaan. Aku tidak pernah
menjadi manja, baik secara fisik maupun mental. Aku kuat. Aku segera
bisa menyembuhkan patah hatiku dan move on. Aku selalu bisa berpikiran
positif di masa-masa sulit. Aku pekerja keras. Inilah warisan yang
tidak ternilai dari kedua orang tuaku.

Mungkin sejak kecil aku sudah diajarkan membuat keputusan sendiri.
Apalagi sejak kelas 4 SD, uang jajan sudah diberikan bulanan.
Bayangkan anak sekecil sudah harus mengatur sendiri uang bulanannya!

Tapi mungkin, keputusan yang kubuat saat lulus SMA adalah keputusan
yang menandakan titik kedewasaanku.

Saat SMA, aku begitu jatuh cinta pada sains, dan terutama Kimia. Aku
hanya ingin kuliah dengan embel2 kimia di nama jurusannya. Tidak ingin
yang lain. Betapa patah hatinya aku saat Ayah dan Ibu ingiin aku
kuliah akuntansi saja. Supaya aman. Gampang nggak aneh2. Apa itu
kimia? Mereka tidak familiar.

Sederetan debat dan argumen berjalan sekitar seminggu. Aku menyatakan
perang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak ingin orang
tuaku membuatkan keputusan untukku. Aku ingin membuat keputusanku
sendiri dan aku meyakininya.

Setelah proses yang mellow dan mirip drama keluarga di televisi,
akhirnya Ayah dan Ibu memberi restu. Akupun bisa pergi ke Jakarta dan
kuliah di jurusan yang aku inginkan.

Itulah saat dimana aku menyadari, dalam hidup kita harus membuat
keputusan2. Keputusan2 itu akan menentukan diri kita di masa depan.
Diriku yang lebih dewasa lagi.

Kadang aku suka bertanya2 apa jadinya kalau aku tidak membuat
keputusan seperti itu? Seperti apa jadinya aku sekarang?

Aku juga beberapa kali berpikir seandainya beberapa keputusan tidak
aku buat. Penyesalan.

Tapi waktu memang kejam, dia terus berjalan menggilasku. Masa lalu
menjadi pelajaran.

Jadi, kalau aku ditanya bagaimana rasanya menjadi dewasa aku akan
menjawab sulit. Dan salutku untuk mereka yang berhasil menjalaninya
dan menikmati keputusan2 yang mereka buat dengan sepenuh hati.



Senin, 17 Juni 2013

This Girl is on Fire

Akirnya saya resmi resign.

Hari Jumat kemarin, tanggal 14-Juni-2013, adalah hari terakhir saya bekerja di kantor itu.

Pertengahan bulan Mei lalu, saya tiba-tiba mendapat kekuatan yang sangat besar untuk mengeluarkan diri dari kantor itu. Saya prihatin dengan usaha baru yang sudah dibentuk oleh kita berlima ini. Selamanya dia akan jadi anak bawang, usaha sampingan, bila kami tidak segera memberi perhatian penuh untuk membesarkannya. Namun, fokus pada usaha ini sangat sulit mengingat pekerjaan saya (dan kami) di kantor itu sangat menguras energi, emosi, dan pikiran.

Maka, setelah pergumulan, saya pun memutuskan untuk resign. Suatu hari saya meminta kita berlima berkumpul saat makan siang bersama. Dan saya mengungkapkan keinginan saya untuk resign yang disetujui oleh mereka berlima. Perusahaan kami ini baru lahir. Belum bisa apa-apa. Belum punya apa-apa untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi saya tidak takut, dan dengan dukungan dari yang lainnya, saya yakin saya bisa membuka jalan untuk melancarkan usaha ini sehingga yang lain pun bisa menyusul saya untuk resign dan bekerja dengan sesungguhnya di perusahaan baru yang kami bentuk sendiri. Siang itu, Bakmi GM jadi saksi semangat kami untuk melangkah lebih jauh lagi.

Akhirnya, setelah sebulan yang rasanya lama sekali, akhirnya hari itu tiba juga. Acara perpisahan dilakukan bersama teman-teman dengan karokean sepulang kantor. Seru sekali. Tiba-tiba di akhir jam kedua karokean yang hampir habis, ada teknisinya yang datang dan menyela nyanyian kami. Awalnya saya protes karena kegiatan kami dipotong begitu saja. Tapi rupanya ada kejutan dari teman-teman. Sebuah video diputar di layar. Video yang berisi foto-fotoku dan teman-teman lain selama di kantor. Saya sangat terharu.

Hari sebelumnya, saya juga menerima hadiah dari teman-teman di kantor Singapore. Sebuah appreciaton certificate sebagai Marketing Executive. Ah, senang sekali rasanya kalau mengetahui perkerjaan kita sungguh-sungguh dinilai berkualitas dan sangat membantu tim. Appresiasi dari kolegalah yang justru membuat saya sangat puas.

Jadi setelah hampir tiga tahun bekerja di kantor, saya mulai lagi dari awal. Belum ada kantor, Belum ada apa-apa. Hari ini dimulai dari beres-beres file di kamar kost. Meski dengan sarana yang terbatas, saya sungguh-sungguh bersemangat. Semoga semua usaha dan kerja keras ini segera membuahkan hasil yang indah.

:)


Kamis, 24 Januari 2013

Awal Mula Lima

Ini mimpi yang menjadi nyata terlalu cepat.
Doa yang dijawab terlalu cepat.

Saya tidak pernah menyangka kalau 'LIMA' akan jadi salah satu angka paling penting dalam hidup saya.
Memiliki pekerjaan yang  nyaman sebagai Marketing di sebuah perusahaan trading, saya jatuh cinta pada kerja keras, disiplin, dedikasi, loyalitas, dan keinginan untuk maju. Dua tahun lebih dua bulan. Angka DUA adalah salah satu angka favorit saya. Saya anak kedua. Setelah dua tahun ini, saya mantap : saya ingin memulai hidup baru. Mimpi saya sederhana, mirip seperti karyawan di Ibu Kota umumnya, pindah ke perusahaan yang lebih besar dengan gaji dan fasilitas yang lebih baik. 

Saya bukan orang yang mempunyai masalah dengan komitmen. Memang, dulu waktu masih remaja, rekor pacaran saya 4 bulan lamanya. Tapi hampir tiga tahun yang lalu, saya jatuh cinta dengan sahabat sendiri dan tidak pernah bisa berhenti mencintainya.
Tetapi, meskipun mencari dan memilih pekerjaan itu seperti memilih pacar, ini merupakan dua hal yang berbeda. Saya tipe orang yang berkomitmen dengan prinsip dan pilihan hidup saya. Pekerjaan pertama saya dengan mudah mengambil hati saya. Bermula dari seorang Management Trainee yang buta mengenai bisnis global trading, saya berhasil menjalaninya dengan cukup baik. Kini saya nyaman di posisi Deputy Manager (Marketing). 

Yep, saya pun tenggelam dalam dinamika kehidupan Jakarta ala karyawan-karyawan muda yang bekerja di gedung-gedung bertingkat. Dandan rapi yang cantik tiap pagi. Naik angkot macet-macetan - dan akhirnya memilih ngekos di bilangan Kuningan untuk menghindari macet. Pulang kantor nongkrong, belanja, atau sekedar jalan-jalan di mall-mall terdekat. Menikmati weekend dengan tidak wajar, dan mengumpat datangnya hari Senin.

Kantor tempat saya bekerja ini bukanlah perusahaan raksasa dengan jaringan mendunia. Sahamnya tidak tercatat di bursa efek. Perusahaan ini adalah baru saja merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh awal tahun 2012 kemarin. Sebuah perusahaan PMA dengan kantor pusat di Singapore, dan marketing office di India, China, serta Jakarta. Perusahaan ini sedang berkembang dan akan segera buka kantor baru di Dubai. Target selanjutnya adalah Vietnam. Tetapi harus diakui, perusahaan ini punya masa depan yang cerah. Bila beberapa hal di dalam perusahaan diperbaiki dengan serius dan dilakukan dengan cepat, maka saya optimis bila masa depan yang cerah itu akan segera tiba tidak lama lagi.

Tapi hati dan otak saya sudah memutuskan, saya tidak ingin menunggu lagi. Sudah saatnya saya berhenti 'belajar' dan benar-benar menjadi profesional. Pikir saya, dengan masuk ke perusahaan yang sudah benar-benar besar dan manajemen yang lebih baik, saya bisa menjalani kehidupan kerja dan karir yang sesungguhnya.

Beberapa test dan undangan interview sudah dilakukan. Saya masih ingat, dulu, waktu masih fresh graduate, saya sibuk mengirim lamaran kesana kemari. Saat ini mencari pekerjaan baru terasa lebih mudah. Saya hanya mengaktifkan kembali profil saya di sebuah situs pencarian kerja, kemudian beberapa panggilan datang dari perusahaan-perusahaan yang memang mencari profesional dan karyawan yang berpengalaman.

Beberapa perusahaan sudah saya datangi. Tapi yang terakhir saya datangi benar-benar merebut hati saya. Suasana interview yang menyenangkan. Orang-orang yang menyenangkan. Lokasi kantor yang dekat kantor pacar saya. Saya sudah mantap dengan yang satu ini.

Esok harinya, saya kembali masuk kerja. Setelah sebelumnya bolos dengan alasan 'sakit', saya dipanggil sama Ibu Direktur. Beliau dengan usilnya menggoda saya : ' Kemarin kenapa?' Saya hanya senyum-senyum dan menceritakan dengan jujur tentang rencana saya resign. Memang, saya dengan beliau. Tidak ada alasan untuk menutup-nutupi alasan resign saya karena beliau pun mendukung rencana saya untuk menemukan pekerjaan yang lebih baik lagi. Lagipula, beliau pun juga akan resign dalam waktu dekat. Pensiun. Dan saya sudah pernah mengatakan padanya, 'kalau Ibu keluar, saya juga keluar'.

Kemudian beliau memasang tampang serius. " Sudah tahu belum, selain kamu siapa lagi yang mau resign?"
Saya hanya mengangkat bahu karena saya memang tidak terlalu tahu. Yang saya tahu memang beberapa teman level staff berkeinginan untuk resign. Mengejutkan bagi saya saat beliau menyebutkan nama-nama orang penting di kantor yang akan keluar.

Saya merasa keputusan saya untuk resign sesegera mungkin adalah keputusan yang tepat. Tetapi, beliau kemudian menambahkan. " Kita kemarin ngobrol-ngobrol, daripada keluar jadi mencar-mencar, kenapa nggak gabung aja kerja bareng?"

Selanjutnya seperti memasuki alam mimpi.

Saya tidak ingat persis kata-kata beliau. Karena sepertinya saat itu saya melihat kabut di mata saya. Saya merasa sesuatu memaksa masuk ke dalam dada saya secara mendadak saat beliau menjelaskan bahwa, M, manajer marketing saya, ingin membuat perusahaan dan mengajak orang-orang yang akan keluar ini untuk menjadi pionir di perusahaan baru nanti.

Mereka pun serta merta menyetujuinya. Mereka ada empat orang. Mereka berempat. Dan mereka mengharapkan saya masuk, supaya menjadi berlima.

Saya sangat mendukung rencana tersebut. Saya tahu, suatu saat nanti, orang-orang yang saya kagumi itu ; Ibu Direktur dan Manajer Marketing itu pasti akan berkarya atas nama sendiri. Punya usahanya sendiri. Mereka orang-orang pintar dengan etos kerja yang saya teladani. Saya kerap bercanda dengan mereka ' Nanti, kalau punya perusahaan sendiri, saya diajak-ajak ya."

Saya tidak menyangka kalau saat itu akan datang secepat ini.

Malamnya, M mengajak saya dinner. Tentu saja tujuan utamanya adalah membicarakan rencana LIMA ini. Saya tidak konsen makan ramen yang sudah saya pesan sambil mendengarkan rencana, impian, dan kekuatiran yang diutarakan oleh M. Beliau bilang mengerti dengan kekuatiran saya, karena diapun begitu. Beliau memahami bila saya ingin mencari sesuatu yang lebih pasti dan aman. Saat saya menceritakan tentang tawaran menarik dari sebuah perusahaan farmasi yang besar, beliau pun mengerti dengan dilema saya. Antara rasa aman dan tantangan. Antara realitas dan mimpi. Antara apa yang seharusnya dijalani menurut pandangan dunia dan keinginan dari lubuk hati saya.

Saya pun meminta waktu untuk memikirkan tawaran mereka. Mempertimbangkan matang-matang dan berdiskusi dengan orang-orang terdekat saya. Sebenarnya, di dalam hati saya langsung mengiyakan tawaran itu. Tapi saya tidak ingin tergesa-gesa. Saya butuh untuk mendengar pendapat, masukan, dan dukungan dari orang lain. Satu hal yang beliau tegaskan pada saya : " Aku nggak akan berani membuat usaha sendiri, membuat perusahaan sendiri, bila tidak ada kalian. Orang-orang yang aku yakin akan kemampuannya serta kenyamanan selama kita bekerja bersama. Kita berlima. Aku merasa kita berlima sudah sangat cocok dan memiliki rasa percaya satu sama lain. Dan aku secara pribadi benar-benar berharap kamu mau bergabung dengan kita, karena aku sudah percaya dan nyaman untuk bekerja dan berteman sama kamu."

Akhirnya, saya pun bercerita pada keluarga saya mengenai hal ini. Juga pacar saya, yang saya diskusikan langsung saat dalam perjalanan menuju kondangan seorang kakak tingkat. Jelas saja dia menyetujui. Bergabung dengan tim yang saya sukai, memulai usaha baru, merintis sesuatu, merupakan investasi terbaik untuk masa depan, menurut dia. Hal yang digaris bawahi olehnya, tentu saja, tim-nya itu sendiri. Dia sudah sering mendengar cerita saya tentang orang-orang di kantor. Ibu Direktur pun secara kebetulan ada tetangga di kompleks. Dia optimis, dengan orang-orang yang saya sukai, dan saling menyukai satu sama lain, rencana ini pasti bisa sukses. Senang saat semua orang menyetujui. Satu hal yang tak lupa dia ingatkan adalah bahwa saya pun harus merubah gaya hidup saya. Harus menjadi lebih bekerja keras. Tidak boleh cengeng lagi. Kalau selama ini saya bisa pilih-pilih dan perhitungan kerjaan, nanti kalau sudah di 'perusahaan sendiri' nggak bisa begitu lagi. Benar-benar banting tulang. Tentu saja saya menyanggupi. Dengan adanya dia di sisi saya, saya optimis saya bisa melewati masa-masa sulit dengan baik.

Akhirnya, saya pun bisa mengatakan 'YA' kepada mereka berempat. Tim ini pun lengkap. Kita berlima. Kami berlima. Dan LIMA, kemudian pun menjadi salah satu angka paling penting bagi saya.