Jumat, 12 Juli 2013

Menjadi Dewasa


Waktu kecil dulu, aku tidak pernah terlalu buru-buru untuk menjadi
orang dewasa. Tidak ada sesuatu yang spesial saat melihat orang-orang
dewasa dari sudut pandangku saat masih kecil dulu. Ya, mungkin pernah
beberapa kali dulu aku berkhayal menjadi orang dewasa. Tapi saat itu
aku sedang naksir sama seorang cowok dan aku berandai-andai kami sudah
dewasa. Bukannya supaya kami bisa melakukan 'hal-hal dewasa'. Bukan.
Pikirannku belum sampai kesana waktu itu. Masih polos. Tapi sepertinya
aku menganggap menjadi dewasa berarti menjadi lebih hebat. Karena itu
aku suka membayangkan diriku sudah dewasa dan lebih hebat daripada
diriku yang masih kelas 5 SD waktu itu. Dan aku berharap gebetanku
waktu itu terpesona dengan diriku yang lebih hebat.

Tapi sedangkal itu saja khayalanku tentang kedewasaan di masa kecil.
Beranjak remaja aku malah semakin kuatir ketika menyadari umur yang
terus bertambah. Mungkin karena di antara teman-teman seangkatan aku
sering menjadi yang tertua, aku sering dijadikan bahan bercandaan.
Tentu saja aku tahu itu hanya bercanda, tapi tetap saja....ada
perasaan insecure di dalam diriku.

Aku tidak ingin buru-buru menjadi dewasa.

Tapi waktu merupakan satu hal yang mutlak tidak dapat kita hentikan.
Ia terus datang meski kita tidak menginginkannya.

Dan di sinilah aku sekarang. 25 tahun (sebentar lagi 26 tahun!). Sudah dewasa.

Awalnya seperti tidak ada yang berbeda antara diriku 15 tahun yang
dulu dan diriku 25 tahun sekarang. Aku masih tetap merasa aku. Aku
masih mengenali diriku dengan utuh. Tapi ada saatnya ketika
kesadaranku datang, dan aku menyadari kedewasaanku sekarang, aku bisa
mengenali perbedaan2 dalam diriku sekarang.

Satu hal yang kusadari penuh dalam kedewasaanku sekarang adalah dalam
membuat keputusan. Terkadang, dalam kondisi aku dihadapkan pada
beberapa pilihan dan aku harus membuat keputusan, aku meronta2 dalam
hati, merengek2 minta kembali ke masa kecil. Saat dimana orang2 yang
lebih tua yang membuatkan keputusan untuk diriku. Aku tinggal menerima
hasilnya.

Tidak ada yg pernah bilang padaku kalau hal paling sulit dalam menjadi
dewasa adalah membuat keputusan!

Rasa bimbang, kuatir, takut, bersemangat, gembira...emosi2 yang
bermain2 disaat kita berusaha mengedepankan pikiran logis kita saat
hendak mengambil keputusan.
Dulu saat masih remaja, kupikir hidup ya mengalir saja. Ternyata
tidak. Hidup kita adalah rangkaian keputusan2 yang telah kita buat
sepanjang hidup.

Sejak kecil, Ayah dan Ibu tidak pernah memanjakanku. Aku bahkan masih
ingat dengan jelas, hari pertamaku TK, Ayah hanya mengantarkanku naik
motor, menunjukkan kelasnya padaku kemudian pergi ke kantor,
meninggalkanku sendirian. Waktu itu aku begitu polos, baru setelah aku
cukup besar beberapa tahun kemudian, aku menyadari betapa teganya Ayah
dan Ibu membiarkanku sendirian di TK hari pertama sekolah. Teman2ku
malah masih ditemani Ibu, Oma atau pembantunya selama berbulan-bulan
kedepan.
Kalau masuk TK saja sudah dibiarkan sendiri, tentu saja aku pun
sendirian saat masuk SD. Dan ketika kelas 3 SD, adikku masuk kelas 1
SD yang sama denganku, akulah yang mencarikan kelas untuknya. Ayah dan
Ibu meninggalkan kami berdua saja di sekolah. Padahal adikku waktu itu
kakinya masih di gips karena patah. Dia masih belum bisa berjalan
normal tanpa kruk. Dan aku ingat jelas, hari itu hujan deras. Aku
berdesak2an di antara para orang tua melihat papan pengumuman mencari
nama adikku.

Beruntung sekali, cara2 yang dilakukan orang tuaku dalam mendidik kami
membuat mental kami siap menghadapi kedewasaan. Aku tidak pernah
menjadi manja, baik secara fisik maupun mental. Aku kuat. Aku segera
bisa menyembuhkan patah hatiku dan move on. Aku selalu bisa berpikiran
positif di masa-masa sulit. Aku pekerja keras. Inilah warisan yang
tidak ternilai dari kedua orang tuaku.

Mungkin sejak kecil aku sudah diajarkan membuat keputusan sendiri.
Apalagi sejak kelas 4 SD, uang jajan sudah diberikan bulanan.
Bayangkan anak sekecil sudah harus mengatur sendiri uang bulanannya!

Tapi mungkin, keputusan yang kubuat saat lulus SMA adalah keputusan
yang menandakan titik kedewasaanku.

Saat SMA, aku begitu jatuh cinta pada sains, dan terutama Kimia. Aku
hanya ingin kuliah dengan embel2 kimia di nama jurusannya. Tidak ingin
yang lain. Betapa patah hatinya aku saat Ayah dan Ibu ingiin aku
kuliah akuntansi saja. Supaya aman. Gampang nggak aneh2. Apa itu
kimia? Mereka tidak familiar.

Sederetan debat dan argumen berjalan sekitar seminggu. Aku menyatakan
perang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak ingin orang
tuaku membuatkan keputusan untukku. Aku ingin membuat keputusanku
sendiri dan aku meyakininya.

Setelah proses yang mellow dan mirip drama keluarga di televisi,
akhirnya Ayah dan Ibu memberi restu. Akupun bisa pergi ke Jakarta dan
kuliah di jurusan yang aku inginkan.

Itulah saat dimana aku menyadari, dalam hidup kita harus membuat
keputusan2. Keputusan2 itu akan menentukan diri kita di masa depan.
Diriku yang lebih dewasa lagi.

Kadang aku suka bertanya2 apa jadinya kalau aku tidak membuat
keputusan seperti itu? Seperti apa jadinya aku sekarang?

Aku juga beberapa kali berpikir seandainya beberapa keputusan tidak
aku buat. Penyesalan.

Tapi waktu memang kejam, dia terus berjalan menggilasku. Masa lalu
menjadi pelajaran.

Jadi, kalau aku ditanya bagaimana rasanya menjadi dewasa aku akan
menjawab sulit. Dan salutku untuk mereka yang berhasil menjalaninya
dan menikmati keputusan2 yang mereka buat dengan sepenuh hati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar