Senin, 11 November 2013

Kenapa selalu menghujat Jakarta?

Bermula dari seorang teman di Facebook yang post gambar ini :


Banyak teman yang meng-Like post tersebut. Banyak komen isinya 'Wow'.

Lalu saya tergugah dengan tulisan tersebut dan memutuskan untuk komentar.
Saya katakan bahwa sepertinya saya tidak akan menyesal tua nanti karena telah hidup di Jakarta. Memang Jakarta dan segala kesemrawutannya, tapi toh ternyata banyak hal yang juga saya rindukan di Jakarta. Hal-hal yang tidak saya temui di daerah lain.

Dan kemudian sepanjang malam saya jadi kepikiran. 'Iya ya, kenapa sih orang-orang suka dan selalu menghujat Jakarta?'

Saya bisa mengerti seandainya orang dari daerah lain lagi liburan dateng ke Jakarta dan stress karena macetnya. Sementara saya, saat keluarga saya di Jogja sudah ngomel-ngomel di dalam mobil karena jalanan Jogja yang macet, saya cuma ketawa-ketawa sama adik saya sambil bilang, 'Tante, kalau di Jakarta sih, ini namanya ramai lancar!'

Tapi kalau orang itu sudah hidup bertahun-tahun, bahkan juga lahir di Jakarta. Bekerja di Jakarta. Mendapatkan rejeki di Jakarta. Punya keluarga di Jakarta. Melakukan hobby-nya di Jakarta. Dan masih membenci Jakarta?

Oh boy....menurut saya itu seperti orang yang selalu mengeluh dan membicarakan yg jelek-jelek tentang boss dan tempat kerjanya. Please deh ya, buruan resign gih, cari kerjaan baru di luar sana yang bikin semua keluhan itu berhenti.

Jadi kalau kamu hidup di Jakarta, berhentilah mengeluh.
Kalau tidak suka dan terbebani, ya sana keluar Jakarta pindah ke kota lain yang sesuai dengan takaran ideal-mu.

Apa? Kamu tidak punya pilihan?

Tidak mungkin.

Semua orang punya pilihan.

Saya suka pekerjaan saya, tapi saya tidak suka management di kantor saya dulu. Maka saya memutuskan resign dan mencari 'yang lebih baik'. Dulu saya bisa berhemat banyak saat menumpang di rumah Bude di kompleks perumahan mewah di Pondok Kelapa, tapi saya tidak cocok dengan prinsip hidup Bude dan tidak suka dengan drama-drama keluarga yang terpaksa saya jalani. Maka saya pun memutuskan keluar rumah dan ngekos deket kantor.

Saya dan My-Mas yang sedang mencari-cari rumah, sering berdiskusi mengenai lokasi rumah dan jarak ke kantor. Satu hal yang MyMas bilang, 'Pekerjaan yang menyesuaikan rumah, bukan rumah yang menyesuaikan kantor.' Yang setelah saya pikir-pikir lagi memang benar.
Bukan hanya dari segi materi, maksudnya klo rumah di daerah Kuningan mana kebeli lagi? Apartemen???
Tapi kalau rumah di ujung Bekasi yang terjangkau jarak ke Jakarta juga jauh. Pasti stress tiap hari bolak balik kantor. Kata MyMas ya cari aja kerjaan di sekitaran Bekasi atau Cikarang. Beres.

Saya beruntung karena MyMas pun tipe orang yang berpikiran praktis dan positif. You don't like it? Change it. You dont have the opportunity? Make it.
Jadi pun begitulah cara kami memandang Jakarta.
Megapolitan dengan segala kesemrawutan dan kemewahannya.

Bukannya saya sudah jadi warga Jakarta modern yang gaoel abis. Nggak kok. Saya tetep aja udik, nggak pernah dugem ke klab, mentok-mentok ya cuma nge-mall. Ke mall pun paling cuma buat nonton atau makan. Belanja baju nggak pernah di Zara, kalau belanja ya di ITC. Itu udah hukum saklak. Mentok-mentoknya ya di Matahari atau Centro. Bukannya nggak ada duit untuk itu, emang nggak perlu aja. Kemana-mana saya tetep naik angkutan umum. Saya penggemar berat Commuter Line dan Trans Jakarta. Kalau nggak mau stress ya tinggal cari taksi. Nggak susah kok. Jalanan emang macet, jadi ya pinter-pinter atur waktu aja. Dulu saya tinggal di Pondok Kelapa yang termasyur dengan Kalimalang yang macet, saya pun jaraaaaaaang sekali terlambat datang ke kantor. Malah, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang datang cepat di kantor barengan OB. Janjian sama temen pun saya tidak pernah terlambat, malah biasanya mereka yang ngaret (bikin kesel banget). Capek memang, apalagi kalau di jalan lagi hujan. Rasanya pengen nangis, mikir ngapain sih aku kayak gini di Jakarta, kangen rumah di Batam, pengen makan masakan Ibu.

Tapi mau sampai kapan ngumpat terus. Toh nggak merubah keadaan.
Jadi saya pun merubah sudut pandang saya. Menguatkan pegangan saya pada hal-hal positif yang saya dapatkan di Jakarta ketimbang selalu mengedepankan hal-hal negatif yang ada di Jakarta.

Pekerjaan yang saya cintai ada di Jakarta. Suasana bisnis yang menyenangkan, kesempatan untuk bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang kebangsaan, agama, dan kebudayaan. Saya punya MyMas di sini, saya pun tidak benar-benar sendiri di sini, ada keluarga besar saya, ada adik saya, ada sahabat-sahabat saya.

Siapa bilang di Jakarta cuma punya mall? Situ aja yang nggak gaul.
Ada kok open house istana negara setiap Sabtu dan Minggu, saya pernah ikut soalnya. Kalau ada temen dateng dari luar Jakarta, saya ajak dia jalan-jalan ke kota, ada banyak museum di sana. Jalan-jalan ke monas. Ke katedral. Ke Ancol- bukan hanya ada Dufan dan Seaworld di sana, ada juga permainan outbound yang seru banget, lebih menegangkan ketimbang wahana Dufan. Ke Ragunan.Wisata kuliner di Jakarta pun lengkap. Kalau bosen tinggal melipir dikit udah sampai Bogor atau jauhan dikit ke Bandung. Akses ke berbagai kota pun gampang. Ada pesawat, kapal laut, bis kota, kereta. Lengkap banget nggak sih?

For me, Jakarta is my home.
Memang banyak kesulitannya, tapi itu menempaku jadi kuat. Lama kelamaan, melewati batas tertentu, saya akhirnya mampu berhenti mengeluh soal Jakarta, dan menerimanya menjadi bagian penting dalam hidup. Dan ternyata, Jakarta justru lebih menarik setelah saya bisa menerima kekurangan dan kelebihannya.

Kesel nggak sih rasanya liat orang yg terus menerus ngeluh soal kerjaannya tapi kok ya nggak resign-resign?Iya, sama kayak gitu rasa keselnya liat orang ngumpat mulu soal Jakarta tapi teteeeepp aja di Jakarta.
Saya respect banget sama orang yang pindah ke luar Jakarta karena dia tidak suka Jakarta.
Dia mencari jalan keluar. Dia berhenti mengeluh dan mencari kebahagiaan dan ketenangannya di tempat lain.
Tapi saya sungguh tidak respect sama mereka-mereka yang gampang banget ngumpat Jakarta dan cuma bisa ngiri serta muji-muji kota lain tanpa merubah nasibnya sendiri. Katanya tidak ada kesempatan. Menurut saya dia hanya pemalas, tidak mau melakukan sesuatu dengan lebih banyak usaha untuk merubah hidupnya. Manja dan bodoh. Kombinasi yang mematikan. Paling gampang jadinya ya emang mengeluh saja terus menerus.
Tapi akibatnya, dia malah jadi menebar emosi negatif ke sekitar.

Tolong berhentilah menghujat Jakarta.
Dia tidak salah.
Tidak ada yang salah dengan kota Megapolitan. Bahkan kalau di USA sana, New York pun sering jadi kambing hitam. Lalu juga Tokyo. Seoul. Nasib kota-kota besar. Tapi siapa bilang tinggal di 'kota-kota kecil' tidak ada kesulitannya sama sekali? Setiap tempat, setiap hal dalam hidup kita, selalu ada kesulitan dan kesenangannya masing-masing, kan?

Padahal yang salah bukan mereka. Kita manusianya. Kita yang tinggal di dalamnya. Kita yang bertanggung jawab membuatnya layak menjadi rumah yang layak huni atau tidak.
Salah pemerintah?
Wong kita juga yang milih pemerintah dalam pemilu.
Banyak yang curang?
Pergi, jadilah pemerintah -pembuat keputusan-, rubahlah Jakarta dan Indonesia jadi lebih baik.
Jadilah warga negara yang baik dan tularkan semangat itu.

Intinya, berhentilah mengeluh. Lihat deh banyak kok hal indah di Jakarta. Masih banyak kok orang-orang baik di Jakarta. Kalau terus menerus mengeluh ya selamanya kita akan melihat Jakarta dengan kacamata gelap. Padahal Jakarta ini bersinar banget.

Ya, semoga Jakarta tidak pernah disalahkan lagi ya.

I love you, Jakarta.

Kamis, 07 November 2013

(Bukan) Jalan-Jalan ke Serang

Sekitar 2 minggu yang lalu (hari Kamis, tanggal 24 Oktober 2013) saya ada janji mengunjungi sebuah pabrik customer di daerah Cikande, Serang. Sebuah pabrik tekstil yang sedang saya prospek jadi customer.

Malangnya, hari itu tidak ada yang bisa mengantar, pun Bu Boss lagi dalam kondisi tidak punya supir. Heran deh, susah banget nyari supir. Udah sampe 3 kali gonta-ganti supir dalam satu minggu waktu itu. Alhasil beliau pulang pergi kantor pun naik kereta atau boncengan motor sama OB kantor.

Berhubung sudah bikin jadwal dan semangat membara, jadilah saya dengan mudahnya memutuskan untuk pergi sendiri ke Serang. Yaelah, Serang doang kan, paling kayak ke Depok doang. Yaaa, sejauh-jauhnya kayak ke Bogor lah.

Jadilah malam sebelumnya saya browsing dan bertanya ke teman2 tentang cara pergi ke Serang naik kendaraan umum.

Janji saya setelah jam makan siang. Dan saya tidak mau naik bis karena males macetnya itu, dan lagi kalau bis antar kota gitu kan biasanya ada jam-jamnya di terminal, dan saya nggak tahu soal jadwal bis begitu, jadi males klo musti ngeteng2 naik bis berkali-kali. Dan lagi takutnya naik bis, setelah saya browsing, jurusan Serang itu masuk tol Merak, nggak tahu keluarnya di mana. Nah loh, ntar saya malah keterusan ikut sampai Merak, kan?

Akhirnya saya putuskan naik kereta saja.

Browsing punya browsing, saya bisa naik Commuter Line arah Tangerang (Serpong). Setelah membandingkan jarak terdekat di Google Maps, jarak terdekat yang diperoleh adalah kalau saya turun di stasiun terakhir, Stasiun Maja. Dari situ, menurut Google Maps, jaraknya tinggal sekitar 7 kiloan saja.
Sebenarnya sih, karena Stasiun Maja tidak ada di Google Maps, saya cari arah dari SDN Maja, ya pikir saya kan deket2 lah ya dari situ. Klo udah tinggal 7 kiloan saya tinggal naik taksi atau ojek saja.

Besok paginya pun saya berangkat dengan percaya diri.

Berangkat

1. Naik becak ke stasiun Kranji, Bekasi. Gampangggg.
2. Beli tiket yang langsung ke Stasiun Maja (bayarnya Rp 10.000 klo gak salah, udah termasuk jaminan kartu THB Rp 5.000)
3. Naik kereta Bekasi - Kota, turun Manggarai.
4. Naik kereta jurusan apa ya, lupa, turun di Tanah Abang.
5. Jeng jeng..... sampai Tanah Abang kok ya rame banget. Sama ibu2 yang pada bawa belanjaan banyak. Padahal baru jam 10-an pagi. Kereta pun lamaaaa banget datengnya, sekalinya dateng, diumumin itu kereta terakhir sampai Parung Panjang, nggak sampai Maja. Jadi saya santai tetep duduk di bangku dong, cuma terus mikir mending saya naik sampai Parung Panjang aja meskipun rame keretanya, ntar baru nyambung ke Maja dari sama. Yasud lah, saya pun terpaksa naik. Yang bikin stress, jarak antar stasiunnya itu jauh-jauh, jadi kerasa lamaaaa banget perjalanannya. Berdiri pula. Nggak pake hak tinggi sih, tapi tetep aja pegel.
6. Sampai Parung Panjang, saya tanya2 petugas, jam berapa kereta yang sampai Maja dateng. Terus katanya 'Wah, klo yang ke Maja musti naik yang ekonomi' petugasnya liat saya udah bawa kartu putih, disuruh tuker tiket di loket. Baiklah, saya nurut aja. Di loket, uang saya dibalikin. Nggak sempet ngitung berapa yang dibalikin, tapi kayanya cuma Rp 5000 aja sebagai refund kartu, dan setelah itu saya dikasih kertas tiket baru seharga Rp 1500, jurusan Parung Panjang-Rangkas Bitung.
7. Kembali tanya ke petugas, ditunjukin kalau keretanya sudah dateng. Saya segera naik ke kereta yang ditunjuk, gerbong paling depan. Feeling nggak enak saya langsung terbukti. Keretanya masih jadul sekali sodara-sodara.....Kereta ekonomi yg nggak ada AC-nya gitu. Ada sih sebenernya, tapi lebih banyak bocornya ketimbang dinginnya. Terus bangkunya plastik, duduk berdua hada-hadapan. Lantainya becek karena AC bocor dan banyak yang jualan mondar-mandir berserta pengemis2 mondar-mandir di dalam kereta. Huuuu, di sinilah saya sudah mulai pengen nangis.
8. Kereta lalu mulai berjalan, sepanjang perjalanan saya makin blank. Pasrah. Pemandangan di luar jendela berupa hamparan sawah. Saya pun bisa melihat kerbau-kerbau yang lagi main-main di lumpur. Seandainya saja tujuan saya adalah liburan, bukannya sebuah business meeting, saya pasti senang melihat pemandangan indah seperti itu, tapi sayangnya, dengan kondisir pakai atasan batik ucansee yang ditutupi cardigan pendek hijau terang, sepatu bludru yang menampakkan kuku-kuku kaki saya yang berkuteks merah, celana kain berpotongan resmi dan full make up di wajah, saya tidak terlalu antusias melihat pemadangan itu. Apalagi dengan kondisir kereta yang menyedihkan. Sejauh ingatan saya, semenjak lulus kuliah, saya sudah tidak pernah naik kereta yang jelek seperti ini. Nangis2 dalam hati dah. Panas banget. Ketek saya sudah mulai basah. Huh.
9. Sampai stasiun Maja, jelas lah nggak ada taksi. Jadi saya jual murah, langsung menghampiri saja tukang ojek pertama yang nawarin diri ke saya. Saya bilang mau ke Jalan Raya Serang, KM 69. SI Bapak Ojek berpikir sebentar dan menyebutkan Rp 50.000. Saya pun tanpa perlawanan mengiyakan saja. Yasudah lah yang penting sampai!
10. Sesungguhnya benar adanya bahwa jalanan di propinsi Banten itu jeleknya bukan main, Sodara-sodara. Perjalanan jauh rupanya sekitar 20KM, rute yang diambil si Bapak Ojek memang jauh sih, katanya ada jalan yang memotong dan lebih singkat, tapi pas ditunjukin jalannya Oh No, jelek sekaliiii. Kalau jalan yang saya lalui waktu itu sudah jelek, yang ini lebih jelek lagi.
11. Bapak Ojek nggak nganterin sampai pabrik. Kampret banget dah. Dia anterin saya sampai perempatan apalah namanya. Perempatan Cikande kayanya sih namanya, soalnya itu pertemuan jalan Cikande dan Jalan Serang. Di situ saya dianterin sampai angkot dan dia nitipin saya ke supirnya. Hih, Bapak Ojek-nya jahat. Tapi yaudah lah saya pun tanpa perlawanan kasih aja duit 50ribu sesuai kesepakatan di awal dan tanpa basa-basi langsung naik ke mobil angkot yang supirnya mengklaim tahu tempatnya.
12. Angkot berjalan, rupanya si supir pun tidak yakin sama tempatnya. Saya sih gampang, tinggal bilang Jl. Raya Serang KM 69. Terus terjadilah dialog nggak penting yang berulang2 seperti ini :

Supir : itu pabriknya di dalam kawasan Modern nggak?
Saya : Nggak kayaknya, Pak. Soalnya di alamatnya nggak dibilangin begitu. Cuma KM 69. Jadi harusnya di pinggir jalan.
Supir : Lah, di sini sih orang nggak pernah pakai KM-KM-nya, Neng. Tanya aja supir angkot lain atau ojek, mereka nggak tahu kalau KM-KM-an. Itu gimana sih yang ngasih alamat nggak jelas banget. (Ngomel2)
Saya : (udah bete tambah bete) Terus gimana dong Pak?
Supir : Di sini sih pake nama pabriknya, baru orang hapal.
Saya : (Nyebutin nama pabriknya)
Supir : Itu pabrik apa, Neng?
Saya : (Kesel) Lah katanya kalau nama pabriknya hapal.
Supir : Itu di kawasan Modern nggak ya pabriknya?
Saya : Grrrrrrrr.
Dan rupanya emang KM-KM di Jalan raya Serang itu nggak beraturan. Alamat di plang sebuah pabrik KM 44, tahu2 KM 72, lalu KM 68. Nggak jelas banget. Dan supir angkotnya beneran bikin kesel. Katanya nggak pake KM, pakenya nama pabrik. Disebutin nama pabrik, nggak tahu juga. Ada juga Mbak-Mbak dan Mas-Mas di dalam angkot, dibilangin nama pabriknya mereka nggak tahu. Padahal saya yakin kok ini pabrik gede. Boss saya yg udah pernah kesana juga bilang begitu soalnya. Pabrik gede, keliatan juga di pinggir jalan.

Akhirnya saya telepon lah ke pabrik, itu posisi saya sudah lewat kawasan Modern. Rupanyaaaa, dari persimpangan tadi, saya seharusnya belok ke kanan, bukan ke kiri. Dan katanya dari simpang belok kanan itu nggak jauh kok.

Hih, kesel hati, saya turun dari angkot. Langsung panggil ojek. Saya bilang saya mau ke KM 69. Eh, dianya malah mau masuk kawasan Modern. Saya omelin, saya nggak mau masuk ke dalam, yaudah Bapak nurut aja sama saya tunjukin jalannya.

Akhirnya, saya yang ngarahin Bapak Ojeknya sampai ke depan pabrik. Dan demi Tuhan saya sungguhlah bingung...kenapa orang2 yang saya temui pada tidak tahu pabrik itu. Saya saja yang baru pertama kali kesana dengan mudahnya melihat drum air segede bag*ng di pinggir jalan lengkap dengan nama pabrik tersebut. Dari situlah saya bisa langsung mengenali pabrik itu dari kejauhan.
Saya sungguh masih heran sampai saat ini. Padahal kan itu pabrik dilewatin angkot dan bis tiap saat. Dan pabrik gede loh, pinggir jalan pula! Hiiiihhh, keselnya sampai ke ubun-ubun.

13. Sampai di pabrik, lewatin pos satpam, lewatin resepsionis, diminta menunggu bentar lagi dipanggilin orang Purchasing-nya, saya ke Toilet bentar (yang mana toilet campur dan lagi ada bapak2 ngobrol di wastafel). Emang nggak niat mau pipis, cuma mau cuci tangan dan dandan, tapi karena ada bapak2 diluar, terpaksalah masuk ke dalam bilik toilet buat touch up. dan akhirnya keluar dari WC, menunggu sebentar lagi, bertemulah saya dengan si orang Purchasing.

Total lama perjalanan berangkat : 4 jam (sudah termasuk menunggu kereta dan drama2 dengan tukang ojek dan angkot)

Pulang
1. Karena tidak mau naik kereta lagi (booooo, plis yaaa) saya pun memutuskan naik bis saja. Saya memang sudah dikasih tahu ada bis dari Kalideres yang lewat di jalan itu. Dan karena perjalanan pulang saya santai, maka saya putuskan naik bis itu saja. Terutama karena memang sepanjang perjalanan naik ojek dan angkot tadi, saya berkali-kali melihat bis jurusan Kalideres-Rangkasbitung itu. Jadilah saya kembali ke persimpangan Cikande itu. Belum makan siang, tapi bingung makan apa di pinggir jalan itu. Nggak napsu dan takut kemaleman juga klo makan dulu. Jadi cuma beli minum dan beli pulsa di Alfamart yang bonus biskuit Oreo isi 3 biji. Lumayan buat ganjel perut. Keluar Alfa langsung ketemu bis-nya. Yaa, bukan bis sebenernya, tapi kayak Kopaja level 2, gede dikit dari Kopaja dan kagak ada AC.
2. Saya duduk di belakang supir, bersebelahan sama Bapak-bapak yang beberapa kali mencoba mengajak saya mengobrol. Nanya2 'mau kemana, Neng' saya jawab jutek 'ke kalideres' (yaialahaaayyyy bisnya kan emang jur kalideres, hehehe) terus ditanya lagi 'habis kerja, Neng?' yang saya jawab lagi setengah kumur2 'nggak habis ketemu orang' lalu saya pun minum teh botol dan makan oreo dengan nikmatnya lalu bobo sore di dalam bis sampai masuk Jakarta. Ahhhh, tidak pernah saya sesenang itu kembali ke Jakarta. Hahahaha.
3. Di Kalideres, niat hati mau naik busway aja, karena sekali lagi ya itu, saya kan nggak familiar sama bis kota. Tapi yaoloh, antriannya di halte busway enggak banget. dan ada pengumumun di loket busway yg bilang 'maaf busway lama karena ada perbaikan jalan'. yaudah saya langsung mengedarkan mata, mencari2 kemudian menemukan Bis Patas AC jurusan Kalideres-Bekasi Barat. Ihiiiiyyy, saya pun langsung melipir kesana.
4. Untung saya masih dapet duduk, di depan. AC-nya adem. Saya tidur pulas, sementara bis bertambah penuh dengan penumpang yang semakin bertambah. Perjalanan macet karena memang pas jam pulang kantor. Saya pun kasihan dengan yang berdiri,teringat dulu saya pernah ada di posisi sulit seperti itu. Pulang pergi kantor dengan penuh perjuangan. *lalu tertidur lagi
5. Perjalanan total dari Serang sampai Kalideres sampai keluar tol bekasi barat tidak lebih kompetitif ketimbang naik kereta.4 jam-an juga saya sampai di gerbang tol. Sudah lapar perut saya, lemes banget rasanya. Sebelum melanjutkan naik angkot pulang ke rumah, saya memutuskan mampir ke McDonalds dulu di BCP (Bekasi Cyber Park) biar pulang rumah bisa langsung mandi terus bobo. Tapi pernah nggak sih, saking laper dan capeknya, sampai nggak napsu makan rasanya. Hebat loooh, saya nggak habis makannya. Jarang-jarang banget tuh. hiks.
Pas sampai di rumah, setelah mandi (belum keramasan karena udah malam) saya merasakan nikmat yang amat sangat saat si punggung bertemu dengan kasur. Huaaaaa.....benar2 nikmat yang tak terdustakan.


Moral of the story
1. Ke Serang itu nggak segampang ke Bogor
2. Nggak lagi2 deh ke Serang naik kendaraan umum kalau nggak untuk liburan
3. Moral terpenting, adalah tidak ada yang mudah di dunia ini. Punya bisnis sendiri enak? Makan tuh enak? Waktu kereta berhenti di St. Maja yang adalah stasiun kecil di desa gitu, peronnya kecil, gerbong saya nggak kebaikan peron. Jadilah saya loncat dari kereta. Panas-panasan. Saya berasa salah kostum di stasiun itu. Dalam hati saya bilang, "makan tuh gengsi". Beneran deh, udah nggak ada gengsi-gengsi-nya lagi saya. Saya yakin, semua kesulitan dan kerja keras ini akan terbayar suatu saat nanti. Di suatu saat di masa depan nanti. eh tapi setelah semua capek hilang, saya keinget pemandangan indah yang saya lihat di kereta ekonomi jurusan Rangkas Bitung waktu itu, saya jadi senyum2 sendiri, baru sadar gitu kalau pemandangan kemarin tuh emang indah banget. Jadi kepikiran suatu weekend nanti jalan-jalan naik kereta begitu. Hehe.