Kamis, 27 November 2014

Selamat Hari Guru

Tanggal 25 November lalu adalah peringatan Hari Guru Nasional. Hari Guru Nasional diperingati bersama hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Guru di Indonesia dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. (Sumber : Wikipedia)

Timeline dan newsfeed Facebook saya penuh dengan ucapan-ucapan selamat kepada guru atau cerita-cerita berkesan tentang guru mereka sejaman sekolah dulu. Ironisnya, di saat hari guru ini, saya justru teringat tentang pengalaman yang kurang menyenangkan dari seorang guru. 

Sewaktu mengenal pelajaran Kimia di bangku SMA, saya merasa seperti menemukan cinta sejati saya. Saya cinta Kimia. Prinsip-prinsip dalam ilmu kimia banyak membantu saya menjelaskan banyak hal tentang bumi dan isinya yang sebelumnya tidak terlalu saya mengerti. Saya jadi lebih mudah memahami artikel-artikel di National Geographic. Saya seolah mengetahui banyak rahasia di balik peristiwa alam. Saya tidak pernah tertidur di kelas Kimia, saya selalu bersemangat di setiap kelasnya. Sering mendapat nilai tertinggi di kelas saat ulangan Kimia adalah kesenangan tersendiri buat saya. Saya pun tentu saja mendaftar di tim olimpiade Kimia, meskipun akhirnya saya malah diminta membantu tim olimpiade Biologi.

Saya merasa tidak lagi menjadi ABG galau. Saat itu saya sudah mempunyai visi dan cita-cita yang jelas; saya ingin jadi ahli kimia. Saya ingin jadi ilmuwan. Saya ingin bisa menulis jurnal-jurnal ilmiah yang keren, dan berkontribusi di National Geographic. Saya sangat idealis untuk cita-cita yang satu ini. Saya pun tidak malu mengakui cita-cita saya di depan teman-teman. Mereka sudah tahu, kalau kecintaan saya kepada pelajaran Kimia tidak bisa ditawar lagi.

Jadi saat akan menentukan jurusan untuk kuliah tiba, saya tidak banyak berpikir. Tentu saja Kimia!

Tapi saya lahir di keluarga yang agak konservatif. Ayah dan Ibu saya bilang untuk apa saya ambil Kimia? Mau jadi apa? Dan Ayah saya meminta saya mendaftar Akuntansi untuk jaga-jaga.

Pada akhirnya, saya diterima di dua jurusan. Kimia dan Akuntansi sekaligus. Jurusan kimia di UI, dan jurusan Akuntansi di UGM. Dan disinilah masalah dimulai. Ayah saya tidak mau saya masuk jurusan Kimia. Beliau bersikeras tidak akan membayarkan uang kuliah saya di jurusan Kimia dan hanya akan membayarkan di jurusan Akuntansi.

Saya bertengkar dengan orang tua saya, terutama dengan Ayah. Baru saat itulah rumah terasa tidak nyaman untuk saya. Saya tidak bicara dengan Ayah dan Ibu selama berhari-hari. Bahkan saat Ayah berangkat dinas ke Jakarta saya tidak menyalaminya. Orang tua saya pun keras pada saya saat itu. Tidak berusaha untuk berdamai dan berkompromi dengan saya saat itu.

Suatu hari saya pergi ke sekolah untuk urusan ijazah dan mengurusi buku tahunan bersama teman-teman. Saya bertemu dengan seorang guru saya. Guru Kimia. Guru yang saya cintai dan saya idolakan saat itu karena beliau sangat berjasa membuat saya jatuh cinta dengan Kimia. Saya bercerita masalah saya dengan beliau, bertanya bagaimana pendapatnya tentang masalah ini. Jawaban beliau saat itu membuat saya patah hati.

"Ngapain kamu masuk jurusan Kimia? Paling mentok jadi guru doang. Mending ngambil Akuntansi seperti yang ayahmu bilang. Masa depannya lebih jelas."

Saat itu saya terkejut mendengar jawabannya. Saya tidak percaya akan mendengar jawaban seperti itu dari beliau. Apakah beliau tidak melihat bahwa saya benar-benar memiliki passion kepada Kimia? Beliau lah yang mementori saya selama saya belajar untuk lomba-lomba dan Olimpiade Kimia. Dan beliau adalah guru kimia? Kenapa beliau tidak mendukung cita-cita saya masuk ke jurusan Kimia? Dan ada apa dengan 'paling mentok jadi guru doang'? Lah, toh bila akhirnya saya jadi guru....lalu kenapa? Apakah buruk menjadi guru sampai harus dikatakan 'mentok'?

Diskusi dengan teman-temanpun tidak terlalu menguatkan karena mereka memiliki pemikiran yang tidak jauh beda dengan Ayah saya. Masuk ke jurusan yang kira-kira gampang mencari pekerjaannya. Dan yang membuat saya sedih adalah banyak dari mereka yang berkata, "Seenggaknya masih bisa jadi guru-lah nanti kalau lulus."

Saat itu saya ada dua hal yang sangat menganggu pikiran saya :

"Paling mentok jadi guru" dan "Setidaknya masih bisa jadi guru"
Bukankah jadi guru itu pekerjaan yang mulia? Lalu kenapa seorang guru justru menganjurkan muridnya supaya tidak menjadi guru? Dan kenapa persepsi teman-teman bahwa semua orang bisa menjadi guru? Guru dianggap sebagai pekerjaan yang aman dan siapa saja bisa melakukannya saat mereka tidak punya pilihan karir lain?
Miris banget rasanya melihat masih banyak orang menganggap bahwa guru adalah pilihan karir terakhir, sekaligus pilihan teraman, karena 'dipandang rendah' dan semua orang bisa saja menjadi guru. Teacher should be a career statement. Teaching is a profession, not a last option for those who can't gain entry into any other career path. Sejak kecil di sekolah dan di rumah saya diajarkan bahwa guru adalah profesi yang mulia, tapi kenyataan yg saya temui adalah masih banyak orang yang menganggap guru adalah pekerjaan yang....'yah, seenggaknya lo masih bisa jadi guru lah ntar.' Dan pemikiran yang sama bahkan datang dari para guru itu sendiri. :(

"Mending ngambil Akuntansi seperti yang ayahmu bilang. Masa depannya lebih jelas."
Saya bertanya pendapat guru saya, dan memang benar ini adalah pendapat pribadinya. Tidak ada yang salah dengan mempunyai opini. Tapi yang mengecewakan saya adalah saat seorang guru tidak percaya dengan mimpi, passion, dan cita-cita muridnya sendiri, bagaimana muridnya bisa mempercayai mimpi-mimpinya sendiri? Bukankah seorang guru seharusnya mendorong muridnya bermimpi setinggi dan seluas mungkin, mengejar apa yang mereka cita-citakan, mengerjakan yang mereka cintai, tidak takut dengan rintangan apapun. Jadi kenapa saya malah ditakut-takutin dengan hal-hal soal 'masa depan', pekerjaan, gaji yang lebih layak, dan sebagainya? Iya, saya sangat idealis, buat saya penting mengerjakan apa yang menjadi passion saya. Karena itu saya sangat kecewa. Jawaban guru saya saat itu seolah menggambarkan 'kualitas' guru kebanyakan. Dan akibatnya apa? Murid-muridnya jadi takut bermimpi, karena mimpi mereka justru terbebani dengan pikiran soal karir, gaji, prestige di masyarakat. 

Tidak, saya tidak mau seperti itu.

Beberapa hari kemudian, Ayah saya menelepon dari Jakarta. Beliau bilang dia lagi di Depok, di calon kampus saya. Beliau bilang calon kampus saya ini indah sekali. Beliau bilang saya pasti senang dan nyaman sekali kalau belajar di sini. Diam-diam rupanya beliau berkunjung ke kampus yang saya taksir. Rupanya beliau bukannya mengacuhkan mimpi saya sama sekali. Beliau mempertimbangkannya. Dan akhirnya beliau merestui keinginan saya. 

Saya bersyukur karena berani mempertahankan keinginan saya. Waktu masuk kuliah dan menjadi mahasiswa, mata dan pikiran saya benar-benar terbuka. Rupanya banyak sekali jurusan yang baru saya ketahui ada. Ada Kesehatan Masyarakat, ada Kriminologi, ada Ilmu Budaya, dan banyak sekali jurusan Sastra dari Arab sampai Prancis! Saya sedih waktu itu, apakah karena memang saya bersekolah di daerah, yang akses informasinya tidak sebanyak mereka yang bersekolah di Jakarta. Saya kecewa kenapa saat bersekolah dulu saya tidak dikenalkan dengan jurusan bermacam-macam. Kenapa tidak diajarkan bahwa ada banyak sekali pilihan karir yang bisa dijalani, bukan hanya sekedar kerja jadi accounting atau admin di kantor. Atau yang bergengsi semacam dokter atau insinyur. Bukan saya merendahkan pilihan karir itu, tapi saya menyayangkan betapa ceteknya wawasan pendidikan dan karir saya saat itu.

Jadi di Hari Guru kemarin, saya merefleksikan pengalaman saya bersama guru dan tentang guru. Sampai hari ini, saya masih terus mendorong saudara, teman, adik kelas, dan siapa saja untuk berani mengejar cita-cita mereka, tidak peduli seeksotis apa cita-cita mereka, jangan biarkan mereka gentar dan takut dengan mimpi mereka.

Sekarang saya bukan ilmuwan. Saat akhir kuliah saya menemukan passion saya di bidang bisnis. Dan dengan kecintaan saya kepada Kimia, saya berusaha di bidang Kimia. Kombinasi yang membuat hidup saya menyenangkan saat ini. Cita-cita mungkin bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tidak ada kata terlambat atau terlalu tua untuk cita-cita baru datang. Tidak apa-apa. Tapi saat cita-cita itu datang, akan sangat disayangkan kalau kita melewatkan waktu untuk mengejarnya.

Dan saya berharap guru-guru saat ini sudah cukup berani untuk mengajarkan hal ini kepada para muridnya.

Selamat Hari Guru buat para guru di Indonesia, terutama untuk para guru, dosen, dan pengajar dalam hidup saya. Dengan cara apapun kalian telah berjasa memberi ilmu dan pelajaran berharga tentang hidup kepada saya.






Selasa, 10 Juni 2014

Persahabatan Bagai Kepompong

Minggu lalu, saya dan teman-teman SMA yang ada di Jakarta mengadakan kumpul-kumpul setelah jam kerja. Makan malam bareng sambil ngobrol-ngobrol di Sushi Tei. Obrolan yang menyenangkan setelah lama tidak bertemu. Banyak topik-topik nostalgia tentang kelakuan kita jaman SMA dulu. Nggak terasa kita jadi pengunjung terakhir yang bertahan di Sushi Tei sampai tutup.

Saya pulang diantar oleh seorang teman cowok. Dalam perjalanan ke parkiran, saya memperhatikan ada benang kusut yang keluar dari jahitan di kerah bajunya. Gemas rasanya saya ingin menarik benang itu supaya putus, tetapi tidak saya lakukan. Karena ada istrinya bersama dengan kami.

Hal ini menyadarkan saya kalau akhirnya mulai ada jarak dalam pertemanan saya dengan lawan jenis. 

Padahal dulu waktu masih SMA, saya dan teman cowok itu dekat sekali. Kita sekelas selama dua tahun. Dia suka tiba-tiba nongol di rumah dengan mobilnya untuk menjemput saya jalan-jalan. Semacam spontaneous trip gitu. Dia adalah partner saya kalap makan kalau jajan di kantin sekolah. Pertemanan kita sudah sampai tahap nyaman dengan kontak fisik. We shared stories about our first kiss and other kisses. Kalau lagi jalan bareng, dia suka merangkul pundak. Saya pun suka menarik-narik dan menggandeng tangannya. Atau mengacak-acak rambutnya yang selalu di-gel rapi, hanya untuk sekedar membuatnya uring-uringan kesal. Sampai waktu kami kuliah di Jakarta pun, dia suka main ke asrama saya di Depok. Dia yang menemani saya membeli komputer di Mangga Dua, dia menerobos banjir waktu Jakarta banjir besar tahun 2007 hanya untuk bertemu saya. 

Dia tidak hanya teman yang asyik untuk hura-hura. Satu memory yang saya ingat jelas tentang dia adalah sewaktu acara PenSi SMA dulu dan saya sedang stress menjalankan tugas sebagai seorang Stage Manager, dia membawakan sebotol Pocari Sweat dan menenangkan saya. Dia lah yang mengajarkan saya naik kendaraan umum di Jakarta. Untuk tidak takut dan melawan trauma saya. Waktu itu, dia yang sedang bersama saya saat mengalami pelecehan di kereta yang penuh penumpang. Saya menangis begitu tiba di stasiun UI. Dan dialah yang menguatkan saya.Sewaktu ibu seorang sahabat saya meninggal, saya menangis habis-habisan. Karena saya sudah menyayangi ibu sahabat saya itu seperti ibu saya sendiri. Pertama kalinya dalam hidup saya menangis histeris seperti biasa yg saya lihat di liputan berita tentang keluarga korban kriminal atau kecelakaan. Saya terduduk dan tidak sanggup berdiri. Ibu-lah orang pertama yang saya telepon. Dan setelah itu, dia. Besoknya dia menjemput saya jauh-jauh ke Depok untuk mengantarkan saya melayat. Dia adalah teman seperjuangan masuk universitas. Berdiskusi tentang mimpi dan cita-cita.

Sewaktu sudah bekerja, pacarnya (yg sekarang istrinya) masuk ke kosan yang sama dengan saya. Sayalah yang merekomendasikan kosan ini karena jaraknya yang dekat dengan kantor dan lingkungan yang nyaman. Teman saya ini kerja di bidang perminyakan. Jadi kalau dia lagi off dari tugas lapangannya, dia bisa 'nganggur' sampai 3 minggu. Jadilah dia kerjaannya anter jemput dan ngapelin ceweknya di kosan selama off. Karena itu saya dan dia jadi sering bertemu.

Biasanya, habis anterin ceweknya, dia lalu anterin saya ke kantor naik motornya. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol tentang apa saja. 

Tapi meskipun sudah satu kosan, saya tidak BFF-an dengan pacarnya itu. Karena jam kerja yang berbeda dan kalaupun ngobrol ya obrolan itu-itu aja nggak pernah naik level curhat.

Sewaktu dia menikah di Bogor, saya dan MyMas datang untuk mendoakan dan memberi selamat.

Setelah bertahun-tahun pertemanan yang seru seperti itu, yang rasanya seperti tidak ada jarak di antara kami berdua, saya awalnya tidak percaya bisa merasa begitu risih untuk mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Padahal saya tidak mau ngapa-ngapain, hanya memutuskan benang yang menjuntai di bajunya. Tetapi tidak saya lakukan, karena saya tidak mau memberi kesan yang aneh kepada istrinya. Saya ingin menjaga perasaannya. Jadi lebih jaim. 

Apakah ini berlebihan?

Saya jadi memikirkan hal ini dalam-dalam. Saya tidak pernah membeda-bedakan dalam berteman, jadi selain teman-teman cewek, saya juga memiliki beberapa teman cowok yang dekat dan bisa dikatakan sebagai sahabat. 

Sekarang di usia seperempat abad ini, kalaupun belum punya istri, teman-teman cowok saya itu pasti sudah punya pacar yang serius. Sama seperti saya yang juga sudah serius dengan MyMas. Dan tanpa saya sadari, saya jadi mulai memberi batasan dalam interaksi saya dengan teman-teman cowok. Kadang kalau lagi Whatsapp-an, saya sering mikir 'Ini dia lagi bareng sama ceweknya nggak, ya?' jadinya saya seperti berhati-hati dalam berbicara. Terlebih lagi dengan kontak fisik. Nggak ada lagi main acak-acak rambut. Udah jarang banget toyor-toyoran (dan terutama kalau lagi nggak ada pasangan masing-masing). Nggak ada lagi semena-mena minta dijemput atau jalan-jalan spontan. Kalaupun lagi ketemuan, pasti kita bawa pasangannya masing-masing. Jadinya obrolannya ya itu-itu aja, jarang curhat-curhatan lagi. :( Dan sepertinya bukan hanya saya, karena teman-teman lain pun sepertinya melakukan hal yang sama seperti saya. Jadi lebih jaim. Lebih hati-hati. Jaga sikap.

Saya ingat dulu pernah mau ketemu salah satu teman cowok yang dekat. Kebetulan setelah lulus kuliah, kita jadi jarang bertemu. Waktu saya bilang ke MyMas mau ketemu dia, si MyMas bilang 'Aku ikut, ya?' yang lalu saya jawab, 'Jangan ah, dia kan suka curhat ke aku. Ini mau ketemuan juga karena mau curhat-curhatan. Dia lagi butuh saran. Nanti kalau ada kamu, dianya pasti nggak mau cerita.' Dan demi supaya MyMas nggak ngambek, saya lalu bilang 'Nanti kalau udah selesai sesi curhatnya, aku kasih tahu supaya kamu bisa nyusul, ya.' 

Iya, mungkin MyMas cemburu. Waktu saya tanya, dia hanya senyum-senyum aja. 

Saya sadar, di usia seperempat abad ini, kita udah dewasa. Pasti ada yang berubah dalam pertemanan kami. Jangankan sama yang cowok, sama teman-teman cewek pun kalau mereka lagi sama suami dan anaknya, nggak mungkin kita haha-hihi kayak jaman masih ABG dulu. 

Saya tidak menganggap perubahan ini sebagai sesuatu yang buruk. Perubahan ini nggak terelakkan. Dan meskipun saya tersenyum waktu memikirkan ini (karena saya menganggap ini sebagai suatu perubahan yang manis), jujur saya kuatir, dengan mulai adanya 'jarak' dengan teman-teman, saya berpikir akan sampai suatu saat di mana hubungan pertemanan kita ini jadi hambar dan seperti formalitas doang. Tidak ada koneksi dan intimasi yang sekuat dulu seperti waktu jaman sekolah. Tapi ya mungkin ini juga kali ya salah satu penyebab munculnya teori yang bilang kalau dengan bertambahnya umur, jumlah teman dan sahabat itu semakin sedikit. 

Tapi kalau seperti yang dikutip dari sebuah lagu 'persahabatan bagai kepompong', berarti memang benar kan persahabatn itu dinamis, bermetamorfosis, berubah. Semoga saja akan jadi sesuatu yang lebih indah dan manis. :) Semoga saya dan sahabat-sahabat saya bisa melewati ini semua dengan baik. (Karena jujur saya masih agak bingung dengan masa transisi ini. Takut salah bersikap.)

Ohya, ngomong-ngomong, tepat sehari sebelum reunian sama temen-temen SMA waktu itu, saya pas lagi meriksa kontak di phonebook HP saya. Eh masih nemu dong nama-nama kontak temen cowok yang alay gitu semacam 'cowoLucuku' atan '(insertname)-qu'. Duh, itu tuh mantan gebetan, cem-ceman, atau TTM-an jaman dulu. Geli rasanya mengingat beberapa dari cowok-cowok itu ada yg sudah menikah dan punya anak. *buru-buru edit contact*


Bersama dua cowok segeng jaman kuliah dulu. Liat dong mereka nggak ada bantuin bawain belanjaan. Emansipasi katanya. Coba kalau sama gebetan ato ceweknya, baiknya bukan main. Hahaha.

Minggu, 08 Juni 2014

Novena Santo Yudas Tadeus

Santo Yudas Tadeus adalah salah satu dari 12 rasul Yesus. Nama Santo Yudas Tadeus terkadang disalahartikan dengan Yudas Iskariot, rasul yang mengkhianati Yesus. Yudas artinya ‘pemberi kegembiraan’ dan Tadeus berarti ‘orang yang berbesar hati’. Yudas Tadeus adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Clopas. Istri Tadeus bernama Maria, yang merupakan saudara sepupu Maria, ibu Yesus. (Sumber : http://www.hidupkatolik.com/).

Pertama kali saya mendengarn nama Santo Yudas Tadeus adalah dari kakak saya yang saat itu kuliah di Jogja. Kakak saya itu mempunyai sebuah buku kecil berisi kumpulan doa. Salah satunya adalah Doa kepada Santo Yudas Tadeus untuk 'hal-hal yang tak ada harapan atau sangat mustahil'. 

Dan waktu itu, kakak saya bercanda 'Mau rajin doain doa ini ah, mana tahu akhirnya bisa jodoh sama Nicholas Saputra." -_________-

Beberapa tahun kemudian, saya lulus kuliah dan bekerja. Waktu itu ada masalah pekerjaan yang buat saya stress berat. Soal shipment barang yang bermasalah. Denda sudah menumpuk. Selama beberapa hari saya datang ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan. Menerima omelan dari customer, ngejar-ngejar shipping line buat beresin masalah. Semuanya tampak tidak ada solusi selain membayar denda yang besar. Tentu saja denda ini tidak perlu saya yg bayar, saya bisa buat laporan ke kantor untuk meminta pembayaran denda. Tapi yang jelas saya pasti dapat rapor merah karena masalah ini.

Lalu entah bagaimana, saya teringat tentang doa kepada Santo Yudas Tadeus. Tentu saja, saya selalu berusaha untuk rajin berdoa harian setiap bangun dan sebelum tidur. Dan terutama saat ada masalah, saya berdoa lebih khusuk. Tapi lalu saya teringat dengan Santo Yudas Tadeus yang pernah diceritakan kakak saya. Lalu saya pun browsing doanya di internet dan mendoakannya dengan sungguh-sungguh. 

Lalu tak lama kemudian, saya mendapatkan jawaban doa itu di email saya. 
Semua permohonan saya disetujui (padahal sebelumnya ditolak). Semua denda dihapuskan. Dokumen beres. Customer pun malah memuji karena saya bisa menyelesaikan masalah ini dan kedepannya dia selalu memilih saya untuk menangani pembeliannya.

Secara ajaib, yang awalnya tampak tidak mungkin, menjadi mungkin.

Sering dalam kehidupan sehari-hari, saya menyelipkan nama-nama Santo dan Santa dalam pikiran saya. Misalkan mau pergi ke tempat yang agak jauhan, saya berdoa singkat dalam hati "Santo Christophorus, doakanlah kami." Saat saya lagi ribet cari-cari barang yang nggak ketemu-ketemu, saya mencari sambil bergumam, "Santo Antonius...Santo Antonius."

Dan sejak doa pertama saya kepada Santo Yudas Tadeus, saya selalu mengingatnya di saat-saat sulit. 
Sudah beberapa kali saya merasakan dikeluarkan dari situasi sulit, permasalahan berat yang saya merasa tidak sanggup menjalaninya lebih lama lagi, dengan doa kepada Allah melalui perantaraan Santo Yudas Tadeus.
Pernah terselip dalam obrolan saya dengan MyMas bahwa saya berpikiran akan menamakan nama anak kami kelak dengan nama Yudas Tadeus. Ya, seintim itulah saya merasakan kedekatan dengan Santo Yudas Tadeus yang baik.

Baru-baru saja saya mendapatkan jawaban dari novena saya kepada Bunda Maria dan Santo Yudas Tadeus. Saya berjanji akan mewartakan kabar sukacita ini dengan terjawabnya doa saya. Dan semoga melalui postingan di blog ini bisa menjadi saluran kabar sukacita untuk yang sedang membutuhkan kekuatan dalam menghadapi masa-masa sulitnya.

Melalui Novena Santo Yudas Tadeus, saya belajar bahwa Allah kita bukanlah Allah yang kaku. Allah kita adalah yang penuh kasih dan mendengarkan doa dan permintaan anak-anakNya. Saya ingat pernah menuliskan ini dalam sebuah status Facebook saya suatu hari dulu, "Saya tidak pernah ragu untuk meminta apa yang saya inginkan kepada Tuhan. Karena saat-saat bernegosiasi dengan Tuhan itulah saat-saat saya merasa paling intim dengan Tuhan."

Dan keintiman itu selalu membuat rindu.
Jadi mungkin saya seperti anak kecil yang manja, bergelayutan di kaki ayahnya meminta ini dan itu. Merengek-rengek. Ya, seperti itulah saya dengan Allah. Tapi saya merasa, melalui itu saya merasakan Allah yang membelai saya lembut, mengatakan 'Sebentar, ya sabar dulu waktunya akan datang' atau "Tidak untukmu, kamu akan dapat yang lain' atau juga jawaban seperti yg saya harapkan, 'tentu saja kamu akan mendapatkannya segera'.

Dan Santo Yudas adalah sahabat yang menjadi perantara saya dalam mengungkapkan permohonan-permohonan kepada Allah.

Saat ini saya tidak memiliki panduan khusus dalam berdoa kepada Santo Yudas Tadeus, secara spontan saya ucapkan. Tetapi untuk yang ingin memulai doa kepada Santo Yudas Tadeus, mungkin salah satu contoh doanya bisa dilihat di sini. 

Sumber : www.tanbooks.com

Satu lagi mengenai doa, ada satu nasehat yang pernah diberikan oleh Ibu saya dan selalu saya ingat sampai sekarang. Dulu waktu kuliah di semester 6-7, saya sudah mulai sibuk persiapan skripsi. Di sela antara jam kuliah, Ibu menelepon dan bertanya kabar. Saya katakan kalau saya lagi stress persiapan skripsi dan saya cerita ini itu tentang kendala yang ada. 
"Jangan lupa berdoa, ya," kata Ibu.
"Iya, aku juga lagi novena kok, Bu," jawab saya.
"Jangan lupa juga berdoa juga untuk orang lain," kata Ibu saya lagi. Perkataan yang membuat saya terdiam dan tersadar. Bahwa sering saya egois hanya berdoa untuk diri sendiri dan lupa untuk mendoakan orang lain. Di saat saya stress dengan skripsi, Ibu justru mengingatkan untuk tidak melulu mendoakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Satu alasan lagi yang membuat saya semakin mencintai Ibu.

Selamat berdoa.
Selamat bermanja ria dengan Tuhan.
Jangan lupa mendoakan orang lain juga.


(Btw, seandainya kakak saya terus rajin Novena Santo Yudas Tadeus mana tahu beneran bisa berjodoh sama NicSap, ya? hahahahaha)



Rabu, 02 April 2014

Weekend Getaway : Pulau Pari

Setelah bertaun-taun tinggal di Jakarta, saya belum pernah ke Kepulauan Seribu dong. Sudah beberapa kali bikin rencana sama temen2 tapi selalu batal jalan ke sana. Dari jaman Pulau Pramuka ngehits, terus Pulau Tidung rame, sampe sekarang akhirnya Pulau Pari. Makanya waktu ada temen kantor lama yang ngajakin trip ke Pulau Pari tentu aja saya iya-kan. Langsung nge-book buat 2 orang, buat My-Mas sekalian. 

Rencana pertama mau berangkat waktu Imlek tanggal 31 Januari, tapi berhubung cuaca buruk, jadinya kita sepakat minta diundur ke bulan Maret yg ada long weekend-nya. Jadi kita berangkat tanggal 29 - 30 Maret (Sabtu-Minggu), jadinya libur tanggal 31 Maret (Senin) masih bisa istirahat ngembaliin stamina buat kerja besoknya. Tapi My-Mas nggak jadi bisa ikutan berhubung dia masuk shift 3, jadi hari Sabtu baru keluar kantor jam 6 pagi, nggak kekejar buru-buru nyusul ke Muara Angke. Hiks. Terpaksalah si Adek yang menggantikan tempat My-Mas. Itupun karna Adek udah pernah ke Pari, dia minta dibayarin biar mau ikutan. Cih.

Day 1 (Sabtu, 29 Maret 2014) 

Muara Angke


Grup kita beranggotakan 10 orang. Hari sebelumnya, temen yg kita tunjuk jadi leader kita udah wanti2 forward-in SMS dari orang travel supaya kita udah siap di Muara Angke jam 5 pagi. Wait. Jam 5? Kita tentu aja langsung protes. Lalu habis si leader ngobrol lagi sama travel-nya dibilang jam 5.30 juga nggak papa kok. Karena sebenernya kapal berangkat jam 7.00-7.30, tapi karena long weekend, jadi pasti ramai dan antri mau naik kapalnya. Oke, baiklah kalau begitu, jadi Sabtu pagi sekitar jam 04.45, saya dan Adik, beserta 2 orang teman lain, berangkat naik taksi dari kosan di daerah Setiabudi. 

Jalanan lenggang, lancar jaya, sampai mendekati Muara Angke, jalanan mulai padat. Antrian di lampu merah kebanyakan taksi, jadi bisa disimpulkan memang Muara Angke lebih padat turis kalau long weekend begini.
Akhirnya, karena kita stuck di antrian, kita turun dari taksi dan jalan menuju pelabuhan yang emang udah nggak jauh lagi. Sebenernya, dari kita berempat, belum ada yg pernah ke Muara Angke, tapi kita santai aja ikutin jalan rombongan yang lain. Curi dengar dari mereka kita bisa tahu di mana letak dermaga-nya.

WARNING!!! Muara Angke is the worst part of the holiday. 
Kebayang kan Muara Angke itu pasar ikan. Becek. Becek-nya sampai semata kaki. Bau amis.


Saya sering jalan kaki waktu hujan deras. Becek-nya pun kadang sampai sebetis. Tapi setidaknya, airnya bening, atau coklat. Air lumpur. Cuci kaki saya bisa langsung merasa bersih.


Tapi di Muara Angke, adalah versi terburuk dari air yang pernah saya rasakan. Warnanya hitam. Baunya amis minta ampun. Kita cuma pakai sendal jepit. Saya nggak bisa mengingat lagi bagaimana rasanya harus memasukkan kaki ke dalam genangan air itu. Waktu pertama kali lihat, saya pikir 'Ah, cuma gini doang'. Tapi rasanya nggak semudah itu waktu sudah dijalanin. Hanya sekitar 10-15 meter sebenarnya kami berjalan melewati genangan air itu, tapi rasanya seperti seabad dan hati ini rasanya merengek minta pulang dan menyesalkan mengapa nggak liburan dengan tidur-tiduran aja seharian.

Waktu jalan, saya papasan sama sisa-sisa ikan yang mengambang. Ada cumi. Dan saya nggak berani melihat lagi, takut dengan apa yang saya akan lihat. 

Sampai di pom bensin tempat meeting point, saya langsung mencari toilet untuk cuci kaki. Sial, antrian toilet-nya panjang banget! Yasudah, jadi saya masuk ke minimarket, berebutan beli air mineral botolan. Desak-desakan di minimarket yang sempit, saya berhasil beli 6 botol air mineral dan segepok tisu basah yg saya nggak itung lagi ada berapa biji karna saya ambil begitu aja dan saya lempar ke kasir. Saya yang punya kadar toleransi yg tinggi sama susah-susahan, bener-bener udah nggak betah banget sama kaki saya yang bau amis minta ampun. 

Berhasil keluar dari kasir, saya langsung bagi-bagi air dan tisu basah buat kita bersihin kaki. Agak lega akhirnya kaki ini berhasil ketemu air bersih. 
Sambil bersihin kaki, saya memperhatikan antrian toilet. Saya lihat banyak orang di antrian itu sambil menutup hidungnya dengan tisu. Bisa saya bayangkan bau di toilet pun pasti tidak enak. Duh, perut saya yang mual jadi tambah mual. 

Salah seorang teman mengingatkan kita untuk tidak menghabiskan air karena kita masih harus berjalan lagi menuju dermaga. What? Segala penderitaan ini belum berakhir???
Setelah menunggu si leader yang telat (dia baru dateng jam 7an dari janji jam 5!!!) kita langsung jalan ke dermaga. 

Jangan bayangkan dermaga yang bagus dengan jalan masuk ke kapal yang nyaman. Dermaga di Muara Angke hanyalah pinggiran beton setinggi pinggang yang harus kita panjat. Kita jalan di atas pagar beton itu (lebarnya hanya sekitar 20 cm) dengan hati-hati supaya tidak jatuh ke laut. Ueeeekk, saya tidak takut tenggelam, saya justru takut dengan airnya yang warna hitam kotor. Entahlah apa isi air itu sampai bau amis dan hitam pekat, hanya Tuhan yang tahu.

Kami loncat untuk naik satu kapal, baru saja saya menarik napas setelah melewati jalur yang susah, si leader bilang 'ayo jalan lagi, kapalnya yang itu ada garis-garis merah-putih-nya' sambil menunjuk 3-4 kapal di sebelah kapal yang kami naiki.

Yep, jadi untuk ke kapal yg akan ke Pari, kami harus melompati kapal-kapal lain. Buset dah, di sini saya hanya bisa ketawa-ketawa gila sambil geleng-geleng kepala. Satu yang harus diperhatikan adalah kita harus ekstra hati-hati di sini. Karena kalau jatuh, selain tercebur ke laut yang jorok, kuatir akan terbentur juga kepalanya. Pokoknya, hati-hati deh. Pastikan kaki memakai alas yang nyaman seperti sendal jepit atau sepatu kets. Baju juga harus nyaman, dan bawaan seminim mungkin. Enaknya sih tas ransel jadi kedua tangan kita benar-benar bebas untuk pegangan. Kalau dirasa tidak sanggup meloncat sendiri, minta tolong bantuan teman atau siapa saja yg ada di dekat situ untuk memegangi kita. 


Akhirnya, kita sampai di kapal (namanya kapal Ratu Serinding), kita nggak dapet tempat di dalam karena sudah terlanjur penuh. Akhirnya kita pilih duduk di pinggiran kapal dengan pertimbangan kalau duduk di luar akan terasa anginnya ketimbang duduk di dalam. Rupanya, setelah kapal jalan, angin-nya nggak terasa. Malahan, kita terekspos matahari yang terik selama perjalanan.



Perjalanan selama 2 jam terasa seperti keabadian. Kaki yang cuma pakai celana pendek harus pasrah terbakar matahari. Kepala pusing karena panas, jadi kami tutupi pakai baju bersih yg dikeluarkan dari dalam tas. 


Tips : Pastikan membawa kacamata hitam, karena laut siang hari itu silau, matanya nanti sakit atau pusing. Bahaya. Boleh juga bawa kain pantai/topi buat nutupin kepala atau pakai jaket. Tidak perlu yang tebal, sekedar menutupi kepala atau kulit dari matahari langsung. Pastinya, sunblock juga penting.


Duduk di bagian luar kapal yg penuh. Kayak rombongan imigran gelap.


Pemandangan di perjalanan.


Pulau Pari

Penginapan

Hampir dua jam kemudian, para penumpang udah pada berdiri dan menghadap ke bagian depan kapal. Yes, kita tiba di Pulau Pari. Pantat yang pegal karena posisi duduk yang nggak nyaman akhirnya bisa merasa lega. Di Pulau Pari, kapal merapat ke dermaga yang dibangun seadanya. Kita meloncat dari pinggiran kapal tempat kita duduk langsung ke dermaga. Saat itu, pikiran kita cuma bilang 'Whatever' dan kita meloncat tanpa pikir panjang seolah-olah meloncat dari perahu itu sudah biasa buat kita. Saking setres-nya. Hahaha. Bertemu daratan sungguhlah nikmat rasanya.

Nggak lama kita disamperin sama pemandu kita. Di tengah chaos para penumpang lain yg turun, entah gimana ceritanya orang ini bisa nemuin kita, pokoknya dia tahu aja. Kita lalu dianterin ke penginapan tempat kita akan tinggal selama dua hari satu malam ini.
Rumahnya sederhana, tapi bersih. Bercat putih, dengan kusen biru. Dua kamar dengan AC sharing di tengah-nya. Kasur ukuran queen. Dua bantal. Di ruang tengah yang sekaligus ruang TV ada satu kasur ukuran queen juga dan 2 kasur ukuran single. Untuk kami bersepuluh, jumlah kasurnya cukup banget.

Kamar mandi ada dua, satu ada toilet jongkok, satu hanya untuk mandi. Bersih. 
TV dan AC menyala dengan baik. Kita langsung bar-bar idupin AC buat balas dendam habis kepanggang matahari selama dua jam. Ada dispenser dengan galon Aqua yang air panas dan air dinginnya menyala. Great.

Kita langsung basuh badan membersihkan keringat dan sisa amis dari Muara Angke, tapi belum berganti baju karena setelah ini akan snorkling, jadi ceritanya biar hemat cucian sekalian kotor bajunya. Jadinya, kita pada takut-takut duduk di dalam penginapan karena takut mengotori kasur atau dinding tempat kita duduk. Hehe.

Tak lama Welcome Drink berupa teh poci dingin dan makanan diantarkan. Hitungannya brunch, ya, soalnya udah nanggung juga sekitar jam 10-11 gitu. Kita makan dengan lahap semua menu yang disajikan, nasi putih, ayam (potongannya pas ada 10), sayur asem (yang sayur-nya cuma formalitas dan lebih banyak kuahnya), tahu dan tempe goreng (kelebihan banyak kita bawa ke laut sisanya buat makanan ikan), kerupuk, sambel, dan semangka.Sebenarnya rasa makanannya biasa saja, tapi karena lapar, kita makan dengan lahap.
Setelah makan, kita mengisi waktu dengan jalan-jalan ke pantai sambil menunggu snorkling yang dijadwalkan jam 1 siang nanti. *mandi sunblock*

Snorkling Time!!!

Lupakan Muara Angke. Tinggalkan Jakarta jauh di belakang. It's snorkling time!
Kita dibawa naik perahu kayu kecil sama tour guide kita. Awalnya dia bilang mau dibawa ke APL, sampai ke spot yang dimaksud, di situ sudah ramai sama turis-turis lain yang sedang snorkling juga. Di situ, tour guide kita juga sempet turun, lalu dia naik dan bilang kalau arusnya gede dan nggak terlalu bagus buat foto-foto. Jadinya kita melaju ke spot lain, yaitu Bintang Rama. 

Sampai di tujuan, kita dijelasin sebentar tentang perlengkapan yang dipakai, jaket pelampung, alat bantu pernapasan, dan kaki katak. Tak banyak bicara, tour guide langsung mengajak kita nyebur ke laut. 

Ini pertama kalinya saya snorkling, jadi mohon dimaafkan kalau agak norak. Pertama kali nyebur, saya merasakan sensasi yang aneh dan membuat saya tertawa tanpa henti. Si tour guide dan teman-teman yang lain sampai heran melihat saya tertawa terbahak-bahak. Heran emang, sebenarnya saya panik, tapi entah kenapa ekspresi yang keluarkan malahan ketawa bukannya teriak ketakutan. Hehe. Setelah berhasil menguasai diri dan mengatur napas, saya akhirnya bisa berhenti ketawa. Beberapa saat saya butuh menyesuaikan diri dengan ombak dan hanya berenang-renang di permukaan sampai Adek bilang sama saya untuk nyeburin kepala ke dalam air. Dan saya pun melakukannya. Dan....wow. Saya melihat surga di dalam laut! Cantik banget!

Ada karang, yang meskipun tidak berwarna-warni seperti di iklan RCTI oke, tapi tetap saja...wow! Dan ikan-ikan kecil berwarna-warni....Ahhhhhh, indah sekali!




Saya seneeeeeennggg banget bisa melihat secuil keindahan alam ini. Tuhan benar-benar pelukis yang punya cita rasa tinggi sampai bisa menciptakan alam seindah ini. Agak tidak ikhlas rasanya waktu tour guide memanggil kami naik kembali ke atas kapal. Apalagi hari sudah semakin sore dan mataharinya tidak terik lagi. Duh, sekeping hati saya tertinggal di sini. Saya jatuh cinta pada laut. :)

TIPS : Tidak usah kuatir tidak bisa berenang karena kita memakai pelampung jadi pasti mengambang. Kenakan baju senyaman mungkin untuk kita bergerak. Hati-hati dengan bulu babi yang sering sembunyi di karang-karang. Dan pastikan berenang dengan berhati-hati supaya kita tidak menyenggol karang-karang itu supaya tidak rusak. Beberapa karang juga agak besar dan tinggi, paha saya tergores sampai luka berdarah kena karang. But it's okay, dikasih betadine saja dan kena air laut sembuh sendiri kok. *Nggak kapok*

Pulau Tikus

Pulau Tikus ini adalah pulau kecil tak berpenghuni di dekat area snorkling Bintang Rama ini. Pantainya bersih dan jernih banget airnya, cocok untuk istirahat melepas penat setelah beberapa jam snorkling. Puas main air, foto-foto konyol ala kalender tahun 90-an, kita udah siap berangkat lagi balik ke Pulau Pari.

Pantai Perawan : Sunset & BBQ





Pantai Perawan adalah salah satu pantai di Pulau Pari. Idealnya, untuk bisa ke sini kita bisa naik sepeda karena jaraknya lumayan juga kalau jalan kaki, tapi berhubung long weekend, sepedanya habis dan kita gak kebagian sepeda. Sebagai gantinya kita dapet odong-odong yang muat mengangkut 10 orang sekali jalan. Pas banget buat rombongan kita. Di sini kita jalan-jalan di pantai, main pasir, duduk-duduk, foto-foto sambil loncat di pantai (apalah artinya ke pantai tanpa foto-foto meloncat, kan ya? :p) Sayang langitnya berawan, jadi sunset-nya nggak terlalu keliatan, tapi begitu saja pun sudah indah kan ya?

Setelah sunset yang sebenarnya diisi dengan kegiatan foto-foto, kami kembali ke penginapan naik odong-odong untuk mandi. Saat di penginapan, makan malam sudah tersedia. Berhubung saya sudah lapar berat, saya makan duluan dan mempersilakan yang lain mandi duluan. Hahaha, daripada mandinya nggak kusyu saking laparnya, kan? Sekali lagi, sebenarnya, makanannya biasa saja rasanya, tapi karna lapar, saya pun menghabiskan semuanya tanpa sisa ; nasi putih, ikan bumbu kuning, sayur capcay, kerupuk, sambal, serta pisang.

Selesai makan malam, kami mengisi waktu dengan mengobrol, main kartu, tidur-tiduran sambil nonton TV. Sekitar jam 9, kami dijemput odong-odong untuk BBQ di Pantai Perawan.

Pantai Perawan di malam hari itu kayak Bunderah HI-nya Jakarta. Tempat nongkrong di malam hari. Musik yang diputar oleh kedai-kedai disitu asik-asik. Ditambah lagu-lagu dangdut dari rombongan lain yang sedang mengadakan makrab di pinggir pantai, agak chaos sih sebenernya, hahaha. Tapi sudahlah, mari kita makan ikan dan cumi bakar yang sudah disiapkan dengan sambel kecap cabe rawit dan bawang merah. Sluurrrpp. Awalnya kita gegayaan mau makan ikannya setengah-setengah dengan alasan baru saja makan malam, tapi rupanya nagih dan kita malah berebutan ujung-ujungnya dan minta tambah ikan.

Belum puas dengan ikan, saya beli indomi goreng dan kelapa muda sebagai tambahan malam itu. Ahhhh, enak sekali! Hari saya pun lengkap. BBQ yang nikmat dan ngidam indomi goreng yang terbayarkan. Hari yang sempurna seandainya saja Muara Angke dicoret dari pengalaman hari ini. Hahahaha.

Balik ke penginapan menjelang jam 12 malem, kita naik odong-odong lagi, tapi kali ini supirnya beda. Dan masalahnya adalah si supir ini sepertinya masih trainee, baru belajar bawa odong-odong. Alhasil, jalannya nggak mulus. Apalagi jalanan ke pantai itu belokannya tajem dan bergelombang. Beberapa kali kami menjerit ketakutan karena odong-odong ini serasa mau kebalik. Di belakang kami, rombongan sepeda dengan sabar mengantri karena jalanan yang sempit terhadang odong-odong kami yang tak tentu arah. Kami terus-terusan meneriaki para pesepeda supaya mundur dan menjaga jarak karena odong-odong ini beberapa kali mundur karena tidak kuat jalan maju.

Beberapa meter sebelum warung tempat odong-odong mangkal, si supir menyerah dan tidak bisa memajukan lagi odong-odongnya. Dengan sukarela dan senang hati kami turun. Rasanya, daripada naik perahu kayu kecil terombang ambing di laut, lebih menyeramkan naik odong-odong barusan. Hahaha.

Day 2 (Minggu, 30 Maret 2014)

Tidur nyenyak karena perut kenyang dan hati gembira membuat kami sulit dibangunkan di pagi harinya. Padahal ceritanya mau melihat sunrise. Alhasil hanya lima orang yang bisa bangun dan jalan ke dermaga, sisanya memilih melanjutkan tidur. Itupun yang bisa bangun (termasuk saya) sudah termasuk kesiangan karena baru jalan ke pantai jam 6 kurang, mataharinya sudah tinggi. Hehehe.

Di pantai, kami memperhatikan matahari yang seperti kelereng keluar ke langit. Cantik banget. Saya sadar siang ini kami akan balik ke Jakarta dan ah, rasanya saya masih pengen ada di sini. Snorkling lagi. 
Sambil melihat sunrise, saya belajar melempar batu ke laut dan berhasil membuatnya memantul sebanyak dua kali sebelum tenggelam. The first and only one I ever made. Saya coba lagi nggak pernah berhasil. Hahhaha.


Sunrise rasa sunset
Balik habis main-main lihatin sunrise, kita sarapan dong. Kali ini menunya adalah nasi uduk, balado telor, kering tempe, dan kerupuk. Ah, sekali lagi, makanannya terasa nikmat di perut lapar saya. Eh tapi, dari menu yang kemarin, nasi uduk ini emang favorit saya. Rasanya paling enak!

Lanjut habis sarapan, kita banana boat! Hanya 5 orang yang ikut. Yang lainnya nggak ikutan karena ada yang udah sering jadi bosen, ada yang takut item, ada yg jadi tukang foto jadi nggak ikutan. Hehe.

Ini juga pertama kalinya saya banana boat (maafkan kenorakan saya ya). Saya pun tidak berekspetasi apa-apa sebenernya. Yang saya tahu, kita duduk di atas banana terus nanti dijatuhin. 

Yah, kurang lebih memang demikian, tapi yg saya tidak tahu sebelumnya adalah...OMG it's soooo fun!!!


Apa yang membuat sooo fun menurut saya salah satunya adalah betapa jernih dan birunya air laut.  Warnanya biru kehijauan. Saya bisa melihat kaki saya sendiri bergerak berenang-renang di dalam air, tapi saya tidak bisa melihat dasar lautan, jadi saya berasumsi laut tempat kami bermain cukup dalam. Rasanya seperti di kolam renang tapi sangat dalam. Cantik sekali! Dan matahari pagi pun membuat saat itu sempurna. Ada saatnya banana boat ditarik menuju arah matahari terbit. Rasanya.....wow. saya pengen membekukan saat itu dan menyimpannya baik-baik. :)

Setelah banana boat adalah bagian yang berat dari liburan ke Pari ini. Yaitu berkemas dan siap-siap pulang. Jam sepuluh kurang kita sudah siap di dermaga, mengobrol sembari menunggu kapal datang. Kapal yg sama dengan yang kami naiki kemarin. Jadi kapal yang baru tiba membawa rombongan baru sekaligus menjemput rombongan pulang. Saat kapal akhirnya tiba, merapat, dan para penumpangnya meloncat turun, kami pun mulai meloncat masuk ke dalam kapal dan berebutan mencari tempat. Lebih baik jangan terburu-buru deh. Mending kirim utusan. Satu atau dua cowok yg berani dan gesit buat meloncat duluan dan nyari tempat. Beruntung kami bisa dapat duduk di dalam, pinggir jendela, jadi bisa bersandar. Kapal juga tidak sepenuh kemarin waktu kami berangkat. Mungkin karna long weekend, jadi banyak yg belum pulang hari ini. Kapal sendiri baru berangkat jam 12 siang, jadi selama hampir 2 jam kami menunggu di dalam kapal sambil baca buku, tidur, ngemil, dan mengobrol. Untung posisinya nyaman, jadi kami bisa rebahan di lantai beralaskan tas ransel.

Perjalanan hampir 2 jam ketika akhirnya bau amis Muara Angke tercium lagi. Matahari terik dan hati saya sudah melongos teringat liburan usai. Kali ini kami nggak mau sok aksi lagi. Tepat dari pinggir dermaga, kami langsung naik odong-odong ke depan tempat kami bisa mencari taksi. Bayar 5ribu rupiah yang penting hati tenang dan badan nyaman. Sampai di depan, kami langsung mencegat taksi dan pulang ke kosan.

See you , Pulau Pari. Thanks for the very very joyful holiday! *muah*


Ohya, ini foto bonus. Hasil nunggu kapal pulang pas ada kapal bagus lagi parkir. Mumpung nggak ada yg jaga, mari kita naik dan foto-foto di atasnya. Berasa lagi liburan ke Meldaifs! Hahahahaha



Info Travel Pulau Pari :
Kontak : Fendy
No. HP : 081210458444
Biaya : 350 ribu/orang untuk rombongan 10 orang
Paket termasuk:
Penginapan 2 hari 1 malam
Welcome drink
Makan 3 kali
BBQ
Snorkling (peralatan lengkap + kamera underwater buat foto2 narsis)
Sepeda (atau odong-odong sewaktu sepeda habis seperti kami kemarin)

Paket belum termasuk :
Banana Boat (35ribu /orang) dan permainan air lainnya
Tips guide dan supir kapal/odong-odong (kita patungan 20ribu /orang buat semuanya)
Jajan-jajan selama di pulau


Jumat, 14 Februari 2014

Dear My Family : You Are Here

Tadi malem, saya pulang dari kerja naik mobil seperti biasa sama supir. 

Biasanya saya tidur di dalam mobil, tapi tadi malam tidak. Kepala saya sedang sakit banget. Sakit kepala ini emang akhir-akhir ini makin rajin dateng, saya curiga ini migrain. Kalau lagi sakit kepala gitu, saya susah tidur, karena untuk memejamkan mata pun rasanya butuh usaha yang berat. Dan berada di dalam mobil yang bergerak nggak stabil (macet booo, majunya pelan-pelan banget dan dikit-dikit direm) saya pun jadi tambah mual. Jadinya, sepanjang perjalanan yang macet, mata saya melotot ke depan, kepala cenat-cenut, narik napas dalem-dalem, neguk air botolan berkali-kali buat nenangin mual.

Di sekitaran pintu tol Pedati, di depan mobil ada sebuah truk molen. Jalanan cukup lenggang waktu itu, jadi kecepatan kendaraan kencang. Supir saya sendiri memang nggak sabaran orangnya, jadi dia selalu ngebut di saat bisa ngebut. Nah, truk molen ini jalannya lambat dan si supir udah ngasih lampu sign ke kanan buat nyalib si truk molen. Eh entah kenapa tiba-tiba si truk molen ikutan geser ke kanan.

Kaget, pake acara teriak, si supir langsung ngerem mendadak.

Sedetik, jantung saya seperti berhenti rasanya. Bener-bener berhenti. 
Dan di saat itu, di kepala saya terbesit bayangan tentang keluarga saya. Ayah, Ibu, dan ketiga saudara saya.

Tidak ada kecelakaan. Mobil kami tidak menabrak truk molen itu. Supir pun mengklakson berkali-kali memarahi truk molen. Sementara saya tahu, kami berdua sama-sama terkejut setengah mati. 

Butuh waktu beberapa menit untuk saya menenangkan jantung yang berdegup kencang sambil menyesalkan kenapa saya musti sakit kepala dan tidak bisa tidur. Seandainya saja saya tertidur, kan saya tidak perlu menyaksikan peristiwa itu. Dan di saat menenangkan diri itu juga saya jadi berpikir, "Saya pikir saya akan mati pas hampir nabrak truk molen itu, dan yang ada di pikiran saya adalah keluarga saya!"

Ah, saya jadi bertanya-tanya, apa itu rasanya mau mati? Dalam dua tiga detik yang singkat, pikiran saya kosong dan saya bisa melihat keluarga saya di kepala saya. 

Rasa cinta saya kepada keluarga jelas tak usah diragukan lagi. Saya sayang pada mereka melebihi apapun yang bisa diberikan oleh dunia ini. Saat napas saya sudah tenang dan pikiran saya sudah menyatu kembali, saya mengulang lagi dan memikirkan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Apa yang saya pikirkan waktu itu adalah rasa kangen yang begitu besar pada keluarga saya. Perasaan ingin memeluk mereka berlima dalam tangan saya dan membawanya pergi kemanapun saya melangkah. Dan apa yang terjadi kalau si supir terlambat mengerem? Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga saya.

Saya pun jadi  teringat masa-masa homesick dulu waktu jaman kuliah. Saya pernah mengalami masa-masa kangen rumah segitu hebatnya sampai saya duduk di lantai, bersandar di lemari, kepala menengadah ke atas, dan menangis. 

Saat ini saya sudah lebih kuat...atau mungkin juga terbiasa hidup jauh dari rumah. Tapi peristiwa tadi malam menyadarkan saya kalau memang keluarga tetaplah ada bersama saya kemanapun saya melangkah. Saya mungkin memang tidak bisa memeluknya dengan tangan, tapi yang pasti hati saya memeluk mereka erat-erat dan terus membawa mereka...bahkan di saat saya pikir saya akan mati...saya memeluk mereka semakin erat.

Hari ini Hari Valentine. Dulu jaman masih sekolah, tanggal 13 malam, Ibu membawa kami ke Minimarket dekat rumah, dan membelikan kami beberapa coklat untuk kami berikan ke sahabat-sahabat dan guru-guru. Waktu itu saya memang sekolah di sekolah swasta Katolik dari SD sampai SMP. Waktu masuk SMA negri, saya tinggalkan tradisi itu. Saya katakan pada Ibu kalau teman-teman di sekolah tidak merayakan Valentine. Tapi saya tidak menceritakan pada Ibu kalau puding coklat buatannya yang seharusnya dibagikan pada teman-teman terpaksa saya buang ke tong sampah sekolah karena tidak ada yang mau makan. 

Yang pasti, ajaran Ibu untuk tulus menyayangi sesama nggak pernah saya lupakan sesulit apapun kondisinya sekarang. Suatu ajaran yang impossible...tapi itulah yang bikin saya bersyukur dilahirkan di dalam keluarga ini.

Jadi tadi pagi, saya ngobrol dengan Ibu saya, membicarakan Kelud yang debunya sampai ke rumah keluarga di Jogja. Di akhir obrolan, saya ucapkan Selamat Valentine kepada Ayah dan Ibu. Yang dibalas dengan Selamat Hari Valentine juga, Ayah dan Ibu sayang kamu selalu.

Ahh, meskipun pacar belum pulang kantor dan entahlah apa acara yang akan kami lakukan Valentine ini mengingat anniversary kemarin pun berlalu begitu saja terlupakan karena ini itu....sebuah ucapan sayang dari orang tua cukup. Mengetahui bahwa saya menyayangi keluarga saya dan mereka menyayangi saya juga sudah cukup. Cukup dan saya tidak minta apa-apa lagi dari Tuhan.

Dan saya memeluk mereka semakin erat di dalam hati saya.


Pict from http://t.co/eX6HN3k8LD



Jumat, 07 Februari 2014

Belajar Korea

Dulu, mantan kantor saya masuk kerja sampai hari Sabtu. Setengah hari doang sih, tapi kan tetep aja mengurangi  jatah weekend. Jatah jalan-jalan berkurang, jatah tidur molor seharian berkurang, jatah nyuci dan beres2 berkurang. Nggak sempet juga gabung di komunitas apa-apa. Pengennya dihabisin buat 'me time' aja, pulang kantor jatahnya nongkrong di coffe shop, minum kopi, ngemil, sambil baca buku atau nonton film di bioskop.

Lalu mantan kantor saya punya kebijakan untuk mengurangi jam kerja, hari Sabtu libur! Maka saya pun
langsung menyusun rencana bersama seorang teman untuk belajar bahasa asing. Dan saya pun mendaftarkan diri untuk belajar bahasa Korea.

Kenapa Korea?

Karena takdir.

Hahaha.
Serius deh, awalnya saya bener-bener nggak punya alasan kenapa saya mau belajar bahasa Korea. Beneran seperti takdir menuntun saya untuk memilih bahasa Korea untuk dipelajari.

Jadi ceritanya begini.

Cerita ini terjadi di suatu hari di bulan Maret. Saya ingat betul ini bulan Maret karena saya sedang berpuasa
Pra-Paskah (menjelang Paskah bagi umat Katolik). Hari itu adalah hari yang sangat berat di kantor.
Saya lupa detailnya kenapa saya bisa sestress itu, tapi yang pasti nggak jauh-jauh dari urusan shipment produk saya yang dokumennya macet, customer yang cerewet, supplier yang ngejar tagihan pembayaran, boss yang demanding, dan.... lapar karena puasa.
Hahaha.

Enggak deng.
Saya itu kalau puasa kuat kok nahan lapar, 40 hari biasanya sukses puasanya, tetapi kebalikannya kalau pas
diet, gagal terus nahan lapar. Hahaha.

Jadi kan karena stress saya butuh pelampiasan dong. Dan karena saya sedang puasa, saya tidak bisa melampiaskannya ke makanan. Jadi di jam istirahat siang, saya pergi ke Mall Ambassador, masuk ke Gramedia, dan bilang sama diri saya sendiri, "buy 3 books randomly."

Dan inilah tiga buku yang saya beli saat itu :
1. Antalogi Rasa (Ika Natassa)
2. Little Women (Louisa May Alcott- terjemahannya penerbit Bukune jelek banget :( )

dan jeng jeng...

3. Cara Cepat Belajar Bahasa Korea oleh Mustiana Lestari

Picture from http://www.merdeka.com/ireporters/gaya/cara-asyik-belajar-bahasa-korea.html



Hahaha, saya langsung tergelak dan mengadu pada teman sekantor saya. Menyadari keimpulsifan saya yang
berakibat pada membeli buku semacam itu. Waktu sampai di kosan, saya membuka buku itu dan masih
bertanya2 kenapa saya memilih buku itu? Hmm, mungkin karena salah satu hal yg ada di pikiran
saya saat itu adalah supplier saya yang dari Korea. Memang waktu itu saya lagi negosiasi harga sama mereka.

Dan buku itu terselip di rak buku saya di antara buku2 lain.
Nyaris terlupakan. Nyaris, karena akhirnya saya membuka buku itu.

Berhubung saya orangnya konsekuen, saya pun mulai membacanya. (Tentu saja setelah 2 buku lainnya tamat, dan jujur saja saya baru membuka buku bahasa Korea ini  di bulan Desember, which is about 8 months later, hahahha).

Eh ternyata, dasar-dasar bahasa Korea nggak sesulit bahasa Mandarin dan Jepang yang pernah saya pelajari waktu SMA (eksul pilihan waktu SMA dan saya tinggalkan di pertemuan ketiga dan keempat). Dan buku yang nggak sengaja saya beli itu benar-benar membantu saya memahami  dasar2 bahasa Korea. Bagus banget deh. Saya pun mulai  menghapal abjad Korea. Bikin kartu2 pakai kertas warna untuk membantu menghapal. Belajar vocabulary. Beneran deh, saya yang otaknya cetek begini seneng banget memahami dasar-dasar bahasa Korea. Emang sih karena tidak ada pendamping, saya jadi belum tahu cara baca
(pronunciation) yang benernya gimana. Romanisasinya doang saya baca plek sama. Hahaha.

Semangat pun tercetus dalam diri saya.

Belajar bahasa korea ah!
Dan maksud saya adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Secara profesional.Kursus. Bukan sambil lalu otodidak begini. Saya pun langsung mendapat ide untuk mengisi waktu hari Sabtu yang akan libur mulai tahun depan. Kursus Bahasa Korea!

Jadi begitulah....memang benar kata orang, dari benci bisa jadi cinta.

Saya dari jaman kuliah blas nggak suka sama sekali sama film-film Korea, artis-artis Korea, lagu-lagu
Korea,gaya-gaya cewek-cewek Korea yang kemayu (sempet cemburu sama MyMas yang ngefans sama SNSD), dan cowok-cowoknya yang cantiknya ngalahin cewek. Sebel deh pokoknya kalau liat temen2 yang Korea freak. Sampe dulu pernah maksa temen yang tergila-gila sama artis-artis Korea buat nonton di 21 film holiwut. "Biar lo tuh bisa liat cowok yang jantan itu seharusnya gimana! Bukan kayak artis korea kesayangan lo itu klemer-klemer kemayu gitu!" *nyolot*

Makanya pas udah kursus, sayalah satu2nya orang di kelas yang blank sama sekali soal dunia hiburan Korea. Istilahnya kalau beli bensin, 'dimulai dari nol ya, Bu'. Kosong banget pengetahuan saya soal Korea selain tulisan Korea yang sudah mulai saya hapal. Hahahaha.

Sekarang, mata saya sudah mulai terbuka.
Memang nggak semuanya bisa saya nikmati. Malah, saya baru sadar kalau untuk lagu2 Korea, saya justru suka artis2 ceweknya, masih nggak suka artis2 cowoknya karna ya itu gayanya nggak suka.Untuk film, Korea pun sudah lebih maju daripada Indonesia. Filmnya lebih beragam, dan terutama yang kelas festival internasional, saya suka. Kalau serialnya, sejauh ini baru Reply 1997 (belum coba nonton yg lain sih). Dan Reality Show macam Running Man, Barefoot. Yang pasti saya seneng kalau nonton film atau denger lagu atau baca kemasan makanan impor Korea saya mengenali beberapa kata yang ada di dalamnya. Saya jadi tambah semangat!

Kalau soal makanan, dulu awal2 juga agak nggak doyan.
Saya memang punya seorang sahabat yang bapaknya asli  Korea dan dia kuliah di Korea. Tapi dari dia, saya baru  coba makan Kimbap doang, mungkin karna dia faham kalau makanan yang lain mungkin nggak cocok di lidah kita. Saya udah pernah makan kimchi, tapi nggak suka. Eh lama-lama, karna tiap abis ujian kita punya ritual makan di resto korea bareng temen2 les, saya jadinya mulai familiar deh. Malah sekarang lagi ngidam kimchi.

Hahahaha.

Seru sih, belajar bahasa. dan menurut saya, belajar bahasa asing itu penting. (kalau bahasa inggris wajib
lah ya, hehe) Yang pasti belajar bahasa itu benar2 buka pikiran kita.

Saya dulu yang anggap Korea itu 'alay' sekarang nggak  gitu lagi tuh. emang ada yg tetep saya nggak suka, tapi saya jadi jauh lebih respect dan nggak ngata2in lagi.
Bener2 pelajaran deh buat saya.

Makanyaaa...beneran deh saya nggak nyesel belajar bahasa korea. Dan tetep 'takdir' itu jawaban yang
tepat untuk jawaban 'kenapa sih elo belajar bahasa korea?'. Hehehehe

Rabu, 05 Februari 2014

The Hardest Day of My Life

The Hardest Day by The Corrs feat Alejandro Sanz adalah salah satu lagu yang selalu berhasil membuat hati ini terkoyak-koyak. Dengerin aja musiknya, resapi liriknya, hayati nadanya. Menyayat hati!
Lagu ini ada dalam playlist saya waktu jamannya lagi patah hati dulu.
Selain itu, lagu galau favorite saya adalah satu albumnya Rectoverso punya Dewi Lestari.
Cicak di Dinding.
Firasat.
Peluk.
Curhat buat Sahabat.

Coba aja dinyanyiin pake hati ngikutin Dee nyanyi, dijamin air mata pasti keluar. At least, mata pasti becek. Kalau nggak becek, pasti dada dan tenggorokannya sakit nahan sesak.

Satu lagi, lagu d'cinnamons yang Loving you is hurt (sometimes).
Lagu ini paling menggambarkan kisah percintaan saya saat itu. Lirik lagunya seperti dicolong dari buku harian saya jaman SMA dulu. Hahahhaa.

Ciee, sekarang aja bisa ketawa-ketawa ngomongin patah hati, padahal dulu..mewek-mewek.

Kenapa jadi mikirin soal patah hati?

Karena setelah pulang dari liburan di Batam kemarin, saya nginep di kosan Adik. Saya memang balik duluan ke Jakarta tanggal 1 Januari pagi karena ada urusan kerjaan, si Adik sendiri baru balik tanggal 5.
Kalimat pertama yang diucapkannya pada saya begitu dia masuk ke kamar adalah : "Tuh ambil aja bantal Beer-nya, udah nggak butuh lagi."

Tentu saja saya tanya, "loh, kenapa?" karena bantal itu dari pacarnya dan dia sangat posesif terhadap bantal itu.

"Karena dia udah punya pacar baru," jawab adik saya..

Patah hati.

Saya langsung terdiam dan selanjutnya, sampai hari ini, saya masih berhati-hati dalam bercanda supaya tidak menyinggungnya. Saya berusaha sebaik mungkin untuk menjaga mood-nya. Dia terlihat tegar, santai, dan cenderung membenci cowok itu, tapi siapa sih yang bisa menyangkal badai di dalam hati.
Saya pun tinggal lebih lama di kosan supaya bisa bermalam dan ngobrol ngalur ngidul dengan Adek sampai tengah malam, nonton film Insidious 2 di laptop (pengorbanan saya yang terbesar), dan memaklumi tindakan impulsifnya yang mendadak beli HP baru (padahal dia mau dikasih HP baru lagi dari kantor -_-).

Tapi yasudah lah, orang patah hati punya pembenaran untuk segala yang ingin dilakukannya.

Ah, saya jadi teringat peristiwa patah hati terbesar yang pernah saya alami.
Terbesar? Ada yang terkecil dong? Hehe. Maksudnya, dari jaman ABG dulu kan pasti pernah naksir-naksiran dong ya, nah di situ juga saya beberapa kali patah hati kecil-kecilan. Tapi namanya juga cinta monyet, jadi ya sambil lalu aja. Hehehe.

Tapi patah hati terbesar yang pernah saya alami itu di tahun 2009.
Di akhir tahun 2008, saya resmi berpisah dengan seseorang yang selama bertahun-tahun saya sayangi dari masa kecil saya. Yes, you can call it 'first love'. And people say 'first love never dies'.
Saya pun memasuki gerbang tahun 2009 dengan air mata dan kesedihan.

He was so special for me.
Kita temenan dari kecil. Saya nggak inget awal mula temenan sama dia, tahu-tahu kami sudah berteman. Kita beda sekolah waktu SD dan SMP, tapi kita udah mulai naksir-naksiran waktu itu. Malah, saya jadi punya banyak teman dari sekolahnya dia karena rupanya dia banyak cerita juga tentang saya ke teman-temannya, dan lalu teman-temannya itu pada main ke sekolah saya buat kenalan sama saya. Pas upacara hari pendidikan di alun-alun, teman-teman sekolahnya pada nunjuk-nunjuk saya, berasa beken banget deh saya waktu itu.

Waktu SMA, kita akhirnya satu sekolah. Kelas X, kita beda kelas. Belum jalan satu semester, cowok itu sudah pacaran sama teman sekelasnya sendiri. (Playboy alert!) Tapi ya, dari sekian banyak mantannya si cowok, pacarnya yang itu milih saya sebagai objek insecure-nya. (Saya sih udah kebal, hehe) Kebetulan beberapa teman saya ada di kelas itu, dan mereka sering bercerita betapa maraknya gosip-gosip tentang saya di kelas itu. Bahkan, ada gosip kalau kami berdua ini sebenarnya sudah ditunangkan dari kecil.

Wait. What?

Yep, dari situlah, mulai berkembang menjadi gosip publik. Saya dan dia adalah pasangan sejati. Siapapun pacar kami saat itu, suatu hari nanti pasti kami akan menikah. Kami sudah dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Duh, keren deh gosipnya. Sampe sekarang saya nggak pernah nemuin siapa yang pertama kali mencetuskan ide ini pertama kali. Yang pasti sih, saya dan dia hanya ketawa-ketawa aja kalo lagi dicomblangin temen-temen di sekolah. Apalagi waktu naik kelas XI dan XII, kami sama-sama sekelas IPA, jadilah kami makin dekat. Kita cuek-cuek aja dan bersahabat baik. Well, sebenarnya nggak yang sahabatan kemana-mana selalu bersama sampai level friendzone gitu ya. Kami berjarak, tapi dekat. Gimana ya jelasinnya.

Kalau soal sahabat cowok, saya punya, cowok berandalan gitu. Keren kan, saya yang selalu ranking di sekolah 'sahabatan' sama berandalan sekolah. So sweet banget deh kita berdua itu. Saya sayang banget sama cowok yang satu ini, tapi sebagai sahabat. (friendzone alert!) Saya punya pacar sendiri waktu SMA, anak sekolah lain. Sementara dia sendiri pun juga pacaran berkali-kali sama teman, adik kelas, dan kakak kelas juga (Iyaaa, dia tuh sampe dijulukin dewa cinta sama kita karna hobi pacaran!)

Lalu begitulah, kehidupan cinta kami jalan sendiri-sendiri. Dia dan perempuan-perempuan lain. Saya dan laki-laki lain. Pelan-pelan, sampai akhirnya masa kelulusan SMA.
Saya menangis saat perpisahan sekolah. Saya memeluk banyak teman dan menangis bersama mereka.Saya berpelukan dengan hampir semua teman. Kecuali dia.

Entah kenapa tiap kali berpapasan, kami hanya tersenyum dan melewatkan diri. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan perpisahan.
Esok harinya, bersama teman-teman sekelas, kami mengadakan acara menginap di sebuah resort pinggir pantai. Dalam sesi truth or dare waktu malam hari, saya ditanyakan 'siapa cowok yang paling penting di kelas?'. And I mentioned his name. Itu adalah pertanyaan yang mudah. Dia adalah sahabat saya, jelas dia penting buat saya. Teman-teman yang lain men-'cie-cie'-kan kami berdua. Tapi kami hanya ketawa-ketawa saja. Seperti biasa.

Sepanjang malam, para cowok bermain gitar, nyanyi-nyanyi nggak jelas. Para cewek curhat-curhatan. Begitu banyak perasaan terungkap malam itu. Banyak air mata. Karena perpisahan dengan sahabat. Dengan orang yang ditaksir. Perasaan yang sebelah tangan. Saya sendiri terkejut ketika seorang teman sekelas tiba-tiba memberikan hadiah perpisahan berupa kompilasi lagu-lagu klasik yang dia buat khusus untuk saya. Dua tahun kami sekelas bareng, dan saya nggak tahu kalau dia naksir sama saya. Selama ini saya nggak nyangka ada yang naksir saya diem-diem. :( 

 Tapi saya masih belum mengucapkan salam perpisahan kepada 'dia', sampai akhirnya saya tertidur di teras, dan dia lah yang membangunkan saya dan memindahkan saya ke kasur.

Esok paginya, menjelang jam-jam terakhir sebelum pulang dan benar-benar berpisah, saya menyalakan handycam yang saya bawa dan meminta semua teman tanpa terkecuali untuk menyebutkan tiga hal tentang saya yang paling berkesan buat mereka. Kebanyakan jawabannya bernada mengejek (ohya, saya memang badut kelas) seperti : pendek, gemuk, jerawatan, tukang tidur, gampang diejek.

Entah kenapa saya menunggu menjelang urutan terakhir sebelum saya menghampiri dia yang sedang duduk di balkon villa. Saya tanyakan 'hey, sebutin tiga hal yang paling berkesan tentang aku.'

Dan dia menjawab. "I love you" Pandangannya lurus ke kamera.

Saya tersenyum. Dan saya menjawab, "I love you, too." Lalu saya pergi meninggalkannya dan kembali bergabung dengan teman-teman lain dan melanjutkan niat saya mengumpulkan rekaman kesan teman-teman sekelas tentang saya.

Saya bingung saat itu apa yang harus saya lakukan. Apakah saya harus balik bertanya apa maksudnya? Mengajaknya berbicara? Dan mengakui, kalau sepertinya....ya sepertinya, saya menyayanginya lebih dari 'sekedar sahabat'?

Tapi lalu saya berpikir, bukankah kami memang saling menyayangi? Kami punya komitmen tak terucap untuk saling menjaga? Orang tua kami akan saling menelepon bila salah satu dari kami belum pulang sampai larut malam. Ayah saya akan merasa aman bila tahu saya pergi keluar bersama dia, beliau tidak masalah bila saya pun keluar hingga lewat batas malam asalkan ada dia dalam rombongan kami pergi. Dia adalah pribadi yang keras dan sulit diubah pendapatnya. Tapi dia selalu mendengarkan kata-kata saya, pendapat dan nasehat saya. Makanya, teman-teman sekelas atau di OSIS dan kepanitiaan kalau ada masalah apa-apa, mereka selalu minta bantuan saya untuk berbicara denganya. Dan memang benar, dia pasti melunak setelah saya berbicara. Saya pun begitu, di saat saya membutuhkan semangat, dia selalu hadir untuk saya. Benar-benar hadir secara fisik dan hati. Menunggui saya latihan Paskibra, latihan teater, dan berdiri di pinggir panggung saat saya tampil di pensi sekolah.

Tapi semua itu hanya saya anggap sebagai persahabatan. Tidak lebih. Atau tidak berani berharap lebih.

Saya akan ke Jakarta besok harinya. Sementara dia, tak lama lagi akan ke Jogja. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami berdua, kami akan berpisah. Secara fisik tidak akan saling melihat untuk waktu yang lama.

Dan hanya senyum serta lambaian tangan. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata perpisahan.
Saya tidak tahu kenapa dia waktu itu tidak mengucapkan perpisahan sama sekali. Tapi saya tahu kenapa saya tidak mau mengatakannya. Karena jauh di dalam lubuk hati, saya tidak ingin berpisah dengannya. Saya berharap dengan tidak mengucapkan perpisahan, saya dapat memungkiri kenyataan itu. Dan entah kenapa saya yakin, kami tidak akan benar-benar berpisah.

Ah, itulah pertama kalinya dalam hidup saya merasakan 'How can I live without you?' pada seseorang.
Saya ngeri membayangkannya.
Tapi hidup terus berjalan, dan saya berangkat kuliah. Memulai hidup yang baru. Bertemu teman-teman baru. Sahabat-sahabat baru. Gebetan-gebetan baru. Ah, saya masih belum berubah. Tapi ada yang berbeda dari saya sejak kuliah. Saya sadar, saya sayang sama dia. Dan setelah saya merunut, saya menyadari saya sudah menyayanginya sejak kami masih sama-sama anak-anak.

Nelangsa sekali rasanya.
Saya rindu padanya setiap hari.
Kami intens SMS-an. Saya bahkan berganti operator demi SMS-an murah dengannya. Ah, pengorbanan pertama saya demi cinta. Hehe.
Kami kerap berjanji untuk bertemu, tapi masih belum bertemu dengan kesempatan itu. Saya sedih sekali, karena saya sangat rindu padanya.
Kami saling menelepon dan terutama saat ulang tahun masing-masing.
Tapi sekali lagi, saya tidak berani berharap. Jadi saya pun berusaha mengubur dia dalam hati dan 'membuka hati' buat yang lain. Tapi tidak pernah bisa. Sedekat-dekatnya saya dengan cowok, saya pasti akan kembali pada kenyataan bahwa saya hanya ingin dia.
Ahh, kenapa nggak dari dulu sih pas jaman SMA. Jadi kan perasaan ini nggak akan sesulit ini.

Pertemuan pertama pasca kuliah adalah di Batam. Kami janjian di salah satu mall yang ngehits di kota Batam waktu itu. Nggak ngapa-ngapain. Hanya ngobrol di Timezone. Rencananya kami mau bermain di Timezone. Tapi rupanya cerita kami yang sudah lama tidak bertemu justru lebih menarik ketimbang permainan di Timezone. Sampai akhirnya hari sudah sore dan kami pulang. Naik bis berdua. Duduk di belakang. Tapi lalu ada seorang gadis kecil berpakaian seragam SD masuk ke dalam bis. Dia berdiri dan mempersilakan gadis kecil itu duduk di sebelahku. Ah, aku rindu dengan sikapnya yang perhatian seperti itu. Perasaan itu membara lagi.

Saya kembali ke Jakarta membawa curhat tentang dia kepada sahabat-sahabat saya di kampus.

Sejak saat itu, tekad saya bulat. Saya akan mengungkapkan perasaan saya padanya.
Pada suatu liburan semester selanjutnya, saya pulang ke Jogja. Sebelum berangkat, saya beli sebuah kaos terbaik yang bisa saya beli dengan dompet mahasiswa saya. Saya bungkus kado itu sebaik mungkin. Dan saya pastikan ia tidak kucek selama perjalanan naik kereta Gambir-Jogja. Sukses. Saya bangga sekali dengan diri saya sendiri. Di Jogja, kami bertemu dan jalan-jalan bersama teman-teman SMA. Saya senang sekali bersamanya. Dan di akhir perpisahan kami, saya berikan kado itu.

Dia tahu maksudnya.

Selanjutnya, adalah masa-masa yang indah.

Sampai akhirnya setahun kemudian, dia bilang pengen cerita tentang sesuatu. "There is a girl on campus..." Begitulah dia memulai ceritanya. Dan yang terjadi kemudian adalah saya patah hati.

Dan ternyata saya tahu cewek yang diceritakannya waktu itu, karna dulu waktu masih jaman Friendster, saya pernah melihatnya ada di daftar 'who viewed my profile'.

Saya pernah bilang padanya waktu awal kami jadian dulu, "Kalau suatu hari nanti kamu bosan atau sudah tidak cinta lagi sama aku, tolong kasih tahu aku, ya."

Dan dia benar-benar melakukannya.

Saya selalu mengklaim diri sendiri wanita yang kuat, tidak manja, tidak cengeng, bahkan saya sudah mempersiapkan diri untuk patah hati waktu saya sadar saya cinta sama dia. Tapi tetep aja, periiiiihhh banget rasanya pas kejadian.

Lalu kami berpisah. Tanpa drama yang berarti. Saya pun tidak menangis di depan dia. Dia bilang "Aku yakin kamu bisa melewati ini semua." Saya menangis di kamar bermalam-malam sesudahnya. Entah selama berapa lama, yang pasti saya sering tertidur karena lelah menangis.

Saya benci padanya waktu karena dia mengatakan demikian. Ok, saya pasti somehow bisa melewati ini semua. Tapi mana mungkin saya bisa melewatinya DENGAN MUDAH.

Tak lama kemudian, saya lihat di Facebook kalau dia sudah in relationship dengan cewek yang diceritakannya itu.

Siapa yang harus disalahkan?
Apa saya harus menyalahkannya karena dia tidak lagi mencintai saya seperti saya mencintainya?
Tapi saya kan tidak bisa memaksakan cinta.
Dia pun memenuhi permintaan saya dengan berbicara jujur tentang perasaannya, bahwa dia jatuh cinta dengan cewek lain.
Saya pun tidak bisa menuduhnya berselingkuh, karena dia tidak melakukannya di belakang saya atau membohongi saya. 
Tapi dia bahkan tidak menunggu sampai saya berulang tahun untuk mengatakan hal tersebut.
Tapi ya apalah artinya dia merayakan ulang tahun saya dengan perasaan yang tidak lagi sama, dia jadi harus berbohong, dan dia memilih untuk tidak berbohong dan jujur meskipun itu sakit.

Jadi saya patah hati waktu itu.
Sakit rasanya.
Saya pernah patah hati sebelumnya dulu waktu saya lagi ngegebet seorang teman. Tapi rasanya biasa saja, esok harinya saya sudah move on, haha-hihi lagi.
Tapi sama dia, sakitnya dalem banget.

Dia adalah cowok pertama yang membuat saya sadar bahwa mencintai orang yang sama selama bertahun-tahun itu adalah mungkin. Saya sudah terbiasa ada dia dalam lingkaran hidup saya. Dengan dialah saya mempunyai visi, mimpi, tentang pernikahan, punya anak-anak yang lucu. Dialah orang pertama yang mampu membuat saya bilang, 'ah yes, this is love' bukan sekedar gebet-gebetan dan naksir-naksiran.
Jadi ketika dia pergi.....visi saya hilang.

Saya bangun di pagi hari dan bertanya-tanya bagaimana caranya mengisi kekosongan ini?
Saya terbiasa mencintainya. Dan segera setelah saya berhenti meratapi cinta saya yang tak sampai, saya bisa menerima kenyataan itu dan kembali menyayanginya 'sebagai seorang sahabat'. (yayaya, omong kosong memang ini, hahaha)
Saya terbiasa mencintai seseorang dengan begitu dalam, dan ketika cinta itu tidak ada lagi, rasanya hampa. Bingung. Saya sedih, karena ada ruang kosong di hati saya. Dan justru kekosongan itu bikin hati saya berat banget.

Butuh waktu lama untuk saya bisa kembali menemukan cinta baru dan mengisi kekosongan itu. Bukannya saya tidak membuka diri dan hati saya. Tidak, saya tidak pernah berpikiran sempit seperti itu. Saya selalu berusaha menjaga nilai positif dalam hidup saya. Saya dekat dan didekati beberapa cowok. Dua di antaranya malah nembak saya. You know, ada pepatah yang saya pernah baca di twitter entah siapa yg nulis saya lupa, 'Cewek baru putus itu banyak yang ngejar, sama kayak layangan.'
Jadi yeah, mungkin saya kayak layangan putus waktu itu. Pesonanya besar banget. Hahahahha.
Tapi nggak, nggak ada yg sreg di hati. Meskipun iya dong, saya pasti kesepian, butuh sesuatu untuk mengisi ruang hampa, tapi tidak ada yang pas. Dan saya bukan tipe kalap yang nerima cowok hanya supaya tidak jomblo. Tidak. Saya orang yang benar-benar menghargai cinta dan komitmen.

Dan the heartbreaker, yes, dia kembali menjadi sahabat saya.
Sering dia bertanya kabar dan menanyakan apakah saya sudah menemukan kebahagiaan.

Setahun kemudian, saya akhirnya menemukan cinta yang tepat untuk hati saya. My-Mas. Perasaan cinta yang familiar itu datang lagi. Saya jatuh cinta dan saya putuskan untuk berani menanggung lagi resiko patah hati. Saya lalu jadian sama My-Mas.

Dan saat cowok itu mengucapkan selamat, saya dengan senyum lebar bilang padanya, 'Akhirnya kebahagiaan itu punya bentuk yang nyata.'

Dari pengalaman ini, saya belajar, bahwa seseorang harus bersikap dewasa dalam hal menyikapi perasaannya. Jatuh cinta itu tidak salah, tapi kalau cara menanggapinya salah, semua bisa runyam.

Kita tidak bisa mengontrol pada siapa kita bisa jatuh cinta, karena itu saya pasrah ketika cowok itu bilang dia jatuh cinta pada cewek lain. Saya tidak bisa memaksanya untuk mencintai saya dan menyuruhnya tinggal disaat dia sudah tidak lagi ingin menempati hati saya.
Tapi dengan dewasa dia jujur pada saya, tidak membuat alasan yang aneh-aneh, atau tidak mengambil salah langkah dengan 'selingkuh' di belakang saya dan berlagak semuanya baik2 saja.

Apa yang terjadi pada adik saya adalah sebaliknya. Cowoknya tidak mengatakan bila hatinya sudah berpaling. Di tengah liburan yang seharusnya indah, Adik malah mengetahui kalau cowok itu sudah pacaran dengan cewek lain. Adik saya membenci cowok itu kini. Patah hati. Hatinya hancur. Ia merasa dikhianati, dibohongi, ia berkali-kali memasang gambar 'HAHAHA. FUCK YOU' sebagai DP BBM dan Whatsapp-nya.

Saya pun kecewa dengan sikap cowok itu.
Bukankah dulu saat kamu jatuh cinta pada adikku, kamu mengatakannya dengan baik-baik. Lalu kenapa saat kamu sudah tidak mencintainya lagi, kamu tidak mengatakannya dengan baik-baik pula??? Kamu memberitahu adikku saat mencintainya, jadi dia punya hak untuk tahu saat kamu sudah tidak mencintainya lagi!!!

I know..i know...orang-orang akan berpikir saya naif sekali. Dipikir semuanya mudah dilakukan? Ya, salah satu kelemahan saya memang karena selalu ingin semuanya berjalan dengan ideal, yang mana seringkali tidak dan berujung pada kekecewaan. Tapi saya pernah mengalaminya. jadi saya tahu bagaimana prosesnya, dan bahwa hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan.

Saya tidak menyalahkan perempuan itu yang kini pacaran sama cowok adik saya. Dia tidak salah. Dia bahkan tidak mengenal adik saya. Saya pun tidak mengutuk cinta mereka yang mengorbankan cinta adik saya. Well, that's reality. Ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati. Saya mengerti patah hati itu berat sekali, tidak ada yang menjadi kebal karenanya, tapi saya tidak serta merta membela adik saya dan menyalahkan cowok itu. Adik saya sudah dewasa, dia akan belajar sesuatu dari patah hatinya saat ini, cepat atau lambat. Yang pasti dia akan belajar, dan dia akan mencintai lagi. Tapi tetap saja, saya menyayangkan sikap cowok itu. Nggak gentleman banget! Nggak dewasa! Dia menodai apa yang seharusnya bisa menjadi baik.

Tidak mudah memang. Tapi seharusnya bisa dilakukan. Seharusnya tidak perlu ada drama dan caci maki. Tidak perlu ada 'kegap selingkuh'. Tidak perlu ada air mata kebencian. Seharusnya perpisahan  itu terjadi dengan anggun. Dua manusia yang pernah saling mencintai, apa sih yang ada di pikiran mereka waktu ingin menyakiti pasangannya?

Bitter truth is better than a sweet lie.
Saya tidak pernah berbohong saat memutuskan seorang cowok. Seperti saat saya jujur dengan semua perasaan sayang saya sebelumnya, saya pun jujur padanya tentang hal-hal yang membuat saya tidak ingin meneruskan hubungan kami, bahkan alasan sekejam 'aku kan udah bilang dulu mau coba jalanin hubungan ini sama kamu buat liat apa aku bisa sayang sama kamu seperti kamu sayang sama aku. aku udah coba, tapi aku nggak bisa.'

Ah, karma kali ya? Hahaha.

Sekali lagi, saya mengerti there is no such thing as 'putus baik-baik'. Karena kalau emang baik-baik aja kan nggak mungkin putus. Tapi hey, hargain dong perasaan cinta. Kamu yang pernah masuk kehatiku, tolong jangan buat kerusakan yang terlalu besar saat kamu pergi. Jadi kalau memang perpisahan harus terjadi, lakukan dengan selembut mungkin, beri pelukan hangat dan ucapkan terima kasih. Waktu datang minta ijin baik-baik, waktu pergi pamitan dong baik-baik. Meskipun alasan kepergian itu menyakitkan.

Lima tahun sesudah peristiwa patah hati itu, saya berkali-kali liburan ke Jogja, menyusuri jalan kenangan yg pernah saya lalui bersama that heartbreaker, meskipun tidak intens tapi sesekali kami BBM-an dan tidak pernah lewat mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan liburan Natal terakhir ke Batam kemarin, kami sudah janjian untuk bertemu. Dan saat bertemu dengannya setelah 5 tahun kemudian, saya tahu saya sudah sembuh, dengan tangan My-Mas di dalam genggaman saya. Tapi semua nostalgia patah hati itu keluar lagi ketika mendengar cerita adik saya yang sedang patah hati. Saya benar-benar bisa merasakan hangat yang merambat keluar dari dalam kepala saya. Literally. Yah, mungkin karena adik saya adalah sahabat saya terdekat saat ini, jadi rasa simpatik dan empati saya begitu besarnya sampai memori tersebut bisa keluar. Tapi saya lega bisa mengingat itu semua. Karena sekali lagi saya diingatkan tentang makna cinta.

Dan ya, tentu saja saya berharap adik saya bisa segera sembuh dari patah hatinya.

*lanjut karokean nyanyi lagu-lagu patah hati*





pict taken by My-Mas pas malem taun baru. si Adik udah tau kebrengsekkan cowoknya waktu itu, tapi dia belum cerita  biar gak ngerusak suasana seneng New Year eve.