Selasa, 10 Juni 2014

Persahabatan Bagai Kepompong

Minggu lalu, saya dan teman-teman SMA yang ada di Jakarta mengadakan kumpul-kumpul setelah jam kerja. Makan malam bareng sambil ngobrol-ngobrol di Sushi Tei. Obrolan yang menyenangkan setelah lama tidak bertemu. Banyak topik-topik nostalgia tentang kelakuan kita jaman SMA dulu. Nggak terasa kita jadi pengunjung terakhir yang bertahan di Sushi Tei sampai tutup.

Saya pulang diantar oleh seorang teman cowok. Dalam perjalanan ke parkiran, saya memperhatikan ada benang kusut yang keluar dari jahitan di kerah bajunya. Gemas rasanya saya ingin menarik benang itu supaya putus, tetapi tidak saya lakukan. Karena ada istrinya bersama dengan kami.

Hal ini menyadarkan saya kalau akhirnya mulai ada jarak dalam pertemanan saya dengan lawan jenis. 

Padahal dulu waktu masih SMA, saya dan teman cowok itu dekat sekali. Kita sekelas selama dua tahun. Dia suka tiba-tiba nongol di rumah dengan mobilnya untuk menjemput saya jalan-jalan. Semacam spontaneous trip gitu. Dia adalah partner saya kalap makan kalau jajan di kantin sekolah. Pertemanan kita sudah sampai tahap nyaman dengan kontak fisik. We shared stories about our first kiss and other kisses. Kalau lagi jalan bareng, dia suka merangkul pundak. Saya pun suka menarik-narik dan menggandeng tangannya. Atau mengacak-acak rambutnya yang selalu di-gel rapi, hanya untuk sekedar membuatnya uring-uringan kesal. Sampai waktu kami kuliah di Jakarta pun, dia suka main ke asrama saya di Depok. Dia yang menemani saya membeli komputer di Mangga Dua, dia menerobos banjir waktu Jakarta banjir besar tahun 2007 hanya untuk bertemu saya. 

Dia tidak hanya teman yang asyik untuk hura-hura. Satu memory yang saya ingat jelas tentang dia adalah sewaktu acara PenSi SMA dulu dan saya sedang stress menjalankan tugas sebagai seorang Stage Manager, dia membawakan sebotol Pocari Sweat dan menenangkan saya. Dia lah yang mengajarkan saya naik kendaraan umum di Jakarta. Untuk tidak takut dan melawan trauma saya. Waktu itu, dia yang sedang bersama saya saat mengalami pelecehan di kereta yang penuh penumpang. Saya menangis begitu tiba di stasiun UI. Dan dialah yang menguatkan saya.Sewaktu ibu seorang sahabat saya meninggal, saya menangis habis-habisan. Karena saya sudah menyayangi ibu sahabat saya itu seperti ibu saya sendiri. Pertama kalinya dalam hidup saya menangis histeris seperti biasa yg saya lihat di liputan berita tentang keluarga korban kriminal atau kecelakaan. Saya terduduk dan tidak sanggup berdiri. Ibu-lah orang pertama yang saya telepon. Dan setelah itu, dia. Besoknya dia menjemput saya jauh-jauh ke Depok untuk mengantarkan saya melayat. Dia adalah teman seperjuangan masuk universitas. Berdiskusi tentang mimpi dan cita-cita.

Sewaktu sudah bekerja, pacarnya (yg sekarang istrinya) masuk ke kosan yang sama dengan saya. Sayalah yang merekomendasikan kosan ini karena jaraknya yang dekat dengan kantor dan lingkungan yang nyaman. Teman saya ini kerja di bidang perminyakan. Jadi kalau dia lagi off dari tugas lapangannya, dia bisa 'nganggur' sampai 3 minggu. Jadilah dia kerjaannya anter jemput dan ngapelin ceweknya di kosan selama off. Karena itu saya dan dia jadi sering bertemu.

Biasanya, habis anterin ceweknya, dia lalu anterin saya ke kantor naik motornya. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol tentang apa saja. 

Tapi meskipun sudah satu kosan, saya tidak BFF-an dengan pacarnya itu. Karena jam kerja yang berbeda dan kalaupun ngobrol ya obrolan itu-itu aja nggak pernah naik level curhat.

Sewaktu dia menikah di Bogor, saya dan MyMas datang untuk mendoakan dan memberi selamat.

Setelah bertahun-tahun pertemanan yang seru seperti itu, yang rasanya seperti tidak ada jarak di antara kami berdua, saya awalnya tidak percaya bisa merasa begitu risih untuk mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Padahal saya tidak mau ngapa-ngapain, hanya memutuskan benang yang menjuntai di bajunya. Tetapi tidak saya lakukan, karena saya tidak mau memberi kesan yang aneh kepada istrinya. Saya ingin menjaga perasaannya. Jadi lebih jaim. 

Apakah ini berlebihan?

Saya jadi memikirkan hal ini dalam-dalam. Saya tidak pernah membeda-bedakan dalam berteman, jadi selain teman-teman cewek, saya juga memiliki beberapa teman cowok yang dekat dan bisa dikatakan sebagai sahabat. 

Sekarang di usia seperempat abad ini, kalaupun belum punya istri, teman-teman cowok saya itu pasti sudah punya pacar yang serius. Sama seperti saya yang juga sudah serius dengan MyMas. Dan tanpa saya sadari, saya jadi mulai memberi batasan dalam interaksi saya dengan teman-teman cowok. Kadang kalau lagi Whatsapp-an, saya sering mikir 'Ini dia lagi bareng sama ceweknya nggak, ya?' jadinya saya seperti berhati-hati dalam berbicara. Terlebih lagi dengan kontak fisik. Nggak ada lagi main acak-acak rambut. Udah jarang banget toyor-toyoran (dan terutama kalau lagi nggak ada pasangan masing-masing). Nggak ada lagi semena-mena minta dijemput atau jalan-jalan spontan. Kalaupun lagi ketemuan, pasti kita bawa pasangannya masing-masing. Jadinya obrolannya ya itu-itu aja, jarang curhat-curhatan lagi. :( Dan sepertinya bukan hanya saya, karena teman-teman lain pun sepertinya melakukan hal yang sama seperti saya. Jadi lebih jaim. Lebih hati-hati. Jaga sikap.

Saya ingat dulu pernah mau ketemu salah satu teman cowok yang dekat. Kebetulan setelah lulus kuliah, kita jadi jarang bertemu. Waktu saya bilang ke MyMas mau ketemu dia, si MyMas bilang 'Aku ikut, ya?' yang lalu saya jawab, 'Jangan ah, dia kan suka curhat ke aku. Ini mau ketemuan juga karena mau curhat-curhatan. Dia lagi butuh saran. Nanti kalau ada kamu, dianya pasti nggak mau cerita.' Dan demi supaya MyMas nggak ngambek, saya lalu bilang 'Nanti kalau udah selesai sesi curhatnya, aku kasih tahu supaya kamu bisa nyusul, ya.' 

Iya, mungkin MyMas cemburu. Waktu saya tanya, dia hanya senyum-senyum aja. 

Saya sadar, di usia seperempat abad ini, kita udah dewasa. Pasti ada yang berubah dalam pertemanan kami. Jangankan sama yang cowok, sama teman-teman cewek pun kalau mereka lagi sama suami dan anaknya, nggak mungkin kita haha-hihi kayak jaman masih ABG dulu. 

Saya tidak menganggap perubahan ini sebagai sesuatu yang buruk. Perubahan ini nggak terelakkan. Dan meskipun saya tersenyum waktu memikirkan ini (karena saya menganggap ini sebagai suatu perubahan yang manis), jujur saya kuatir, dengan mulai adanya 'jarak' dengan teman-teman, saya berpikir akan sampai suatu saat di mana hubungan pertemanan kita ini jadi hambar dan seperti formalitas doang. Tidak ada koneksi dan intimasi yang sekuat dulu seperti waktu jaman sekolah. Tapi ya mungkin ini juga kali ya salah satu penyebab munculnya teori yang bilang kalau dengan bertambahnya umur, jumlah teman dan sahabat itu semakin sedikit. 

Tapi kalau seperti yang dikutip dari sebuah lagu 'persahabatan bagai kepompong', berarti memang benar kan persahabatn itu dinamis, bermetamorfosis, berubah. Semoga saja akan jadi sesuatu yang lebih indah dan manis. :) Semoga saya dan sahabat-sahabat saya bisa melewati ini semua dengan baik. (Karena jujur saya masih agak bingung dengan masa transisi ini. Takut salah bersikap.)

Ohya, ngomong-ngomong, tepat sehari sebelum reunian sama temen-temen SMA waktu itu, saya pas lagi meriksa kontak di phonebook HP saya. Eh masih nemu dong nama-nama kontak temen cowok yang alay gitu semacam 'cowoLucuku' atan '(insertname)-qu'. Duh, itu tuh mantan gebetan, cem-ceman, atau TTM-an jaman dulu. Geli rasanya mengingat beberapa dari cowok-cowok itu ada yg sudah menikah dan punya anak. *buru-buru edit contact*


Bersama dua cowok segeng jaman kuliah dulu. Liat dong mereka nggak ada bantuin bawain belanjaan. Emansipasi katanya. Coba kalau sama gebetan ato ceweknya, baiknya bukan main. Hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar