Kamis, 27 November 2014

Selamat Hari Guru

Tanggal 25 November lalu adalah peringatan Hari Guru Nasional. Hari Guru Nasional diperingati bersama hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Guru di Indonesia dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. (Sumber : Wikipedia)

Timeline dan newsfeed Facebook saya penuh dengan ucapan-ucapan selamat kepada guru atau cerita-cerita berkesan tentang guru mereka sejaman sekolah dulu. Ironisnya, di saat hari guru ini, saya justru teringat tentang pengalaman yang kurang menyenangkan dari seorang guru. 

Sewaktu mengenal pelajaran Kimia di bangku SMA, saya merasa seperti menemukan cinta sejati saya. Saya cinta Kimia. Prinsip-prinsip dalam ilmu kimia banyak membantu saya menjelaskan banyak hal tentang bumi dan isinya yang sebelumnya tidak terlalu saya mengerti. Saya jadi lebih mudah memahami artikel-artikel di National Geographic. Saya seolah mengetahui banyak rahasia di balik peristiwa alam. Saya tidak pernah tertidur di kelas Kimia, saya selalu bersemangat di setiap kelasnya. Sering mendapat nilai tertinggi di kelas saat ulangan Kimia adalah kesenangan tersendiri buat saya. Saya pun tentu saja mendaftar di tim olimpiade Kimia, meskipun akhirnya saya malah diminta membantu tim olimpiade Biologi.

Saya merasa tidak lagi menjadi ABG galau. Saat itu saya sudah mempunyai visi dan cita-cita yang jelas; saya ingin jadi ahli kimia. Saya ingin jadi ilmuwan. Saya ingin bisa menulis jurnal-jurnal ilmiah yang keren, dan berkontribusi di National Geographic. Saya sangat idealis untuk cita-cita yang satu ini. Saya pun tidak malu mengakui cita-cita saya di depan teman-teman. Mereka sudah tahu, kalau kecintaan saya kepada pelajaran Kimia tidak bisa ditawar lagi.

Jadi saat akan menentukan jurusan untuk kuliah tiba, saya tidak banyak berpikir. Tentu saja Kimia!

Tapi saya lahir di keluarga yang agak konservatif. Ayah dan Ibu saya bilang untuk apa saya ambil Kimia? Mau jadi apa? Dan Ayah saya meminta saya mendaftar Akuntansi untuk jaga-jaga.

Pada akhirnya, saya diterima di dua jurusan. Kimia dan Akuntansi sekaligus. Jurusan kimia di UI, dan jurusan Akuntansi di UGM. Dan disinilah masalah dimulai. Ayah saya tidak mau saya masuk jurusan Kimia. Beliau bersikeras tidak akan membayarkan uang kuliah saya di jurusan Kimia dan hanya akan membayarkan di jurusan Akuntansi.

Saya bertengkar dengan orang tua saya, terutama dengan Ayah. Baru saat itulah rumah terasa tidak nyaman untuk saya. Saya tidak bicara dengan Ayah dan Ibu selama berhari-hari. Bahkan saat Ayah berangkat dinas ke Jakarta saya tidak menyalaminya. Orang tua saya pun keras pada saya saat itu. Tidak berusaha untuk berdamai dan berkompromi dengan saya saat itu.

Suatu hari saya pergi ke sekolah untuk urusan ijazah dan mengurusi buku tahunan bersama teman-teman. Saya bertemu dengan seorang guru saya. Guru Kimia. Guru yang saya cintai dan saya idolakan saat itu karena beliau sangat berjasa membuat saya jatuh cinta dengan Kimia. Saya bercerita masalah saya dengan beliau, bertanya bagaimana pendapatnya tentang masalah ini. Jawaban beliau saat itu membuat saya patah hati.

"Ngapain kamu masuk jurusan Kimia? Paling mentok jadi guru doang. Mending ngambil Akuntansi seperti yang ayahmu bilang. Masa depannya lebih jelas."

Saat itu saya terkejut mendengar jawabannya. Saya tidak percaya akan mendengar jawaban seperti itu dari beliau. Apakah beliau tidak melihat bahwa saya benar-benar memiliki passion kepada Kimia? Beliau lah yang mementori saya selama saya belajar untuk lomba-lomba dan Olimpiade Kimia. Dan beliau adalah guru kimia? Kenapa beliau tidak mendukung cita-cita saya masuk ke jurusan Kimia? Dan ada apa dengan 'paling mentok jadi guru doang'? Lah, toh bila akhirnya saya jadi guru....lalu kenapa? Apakah buruk menjadi guru sampai harus dikatakan 'mentok'?

Diskusi dengan teman-temanpun tidak terlalu menguatkan karena mereka memiliki pemikiran yang tidak jauh beda dengan Ayah saya. Masuk ke jurusan yang kira-kira gampang mencari pekerjaannya. Dan yang membuat saya sedih adalah banyak dari mereka yang berkata, "Seenggaknya masih bisa jadi guru-lah nanti kalau lulus."

Saat itu saya ada dua hal yang sangat menganggu pikiran saya :

"Paling mentok jadi guru" dan "Setidaknya masih bisa jadi guru"
Bukankah jadi guru itu pekerjaan yang mulia? Lalu kenapa seorang guru justru menganjurkan muridnya supaya tidak menjadi guru? Dan kenapa persepsi teman-teman bahwa semua orang bisa menjadi guru? Guru dianggap sebagai pekerjaan yang aman dan siapa saja bisa melakukannya saat mereka tidak punya pilihan karir lain?
Miris banget rasanya melihat masih banyak orang menganggap bahwa guru adalah pilihan karir terakhir, sekaligus pilihan teraman, karena 'dipandang rendah' dan semua orang bisa saja menjadi guru. Teacher should be a career statement. Teaching is a profession, not a last option for those who can't gain entry into any other career path. Sejak kecil di sekolah dan di rumah saya diajarkan bahwa guru adalah profesi yang mulia, tapi kenyataan yg saya temui adalah masih banyak orang yang menganggap guru adalah pekerjaan yang....'yah, seenggaknya lo masih bisa jadi guru lah ntar.' Dan pemikiran yang sama bahkan datang dari para guru itu sendiri. :(

"Mending ngambil Akuntansi seperti yang ayahmu bilang. Masa depannya lebih jelas."
Saya bertanya pendapat guru saya, dan memang benar ini adalah pendapat pribadinya. Tidak ada yang salah dengan mempunyai opini. Tapi yang mengecewakan saya adalah saat seorang guru tidak percaya dengan mimpi, passion, dan cita-cita muridnya sendiri, bagaimana muridnya bisa mempercayai mimpi-mimpinya sendiri? Bukankah seorang guru seharusnya mendorong muridnya bermimpi setinggi dan seluas mungkin, mengejar apa yang mereka cita-citakan, mengerjakan yang mereka cintai, tidak takut dengan rintangan apapun. Jadi kenapa saya malah ditakut-takutin dengan hal-hal soal 'masa depan', pekerjaan, gaji yang lebih layak, dan sebagainya? Iya, saya sangat idealis, buat saya penting mengerjakan apa yang menjadi passion saya. Karena itu saya sangat kecewa. Jawaban guru saya saat itu seolah menggambarkan 'kualitas' guru kebanyakan. Dan akibatnya apa? Murid-muridnya jadi takut bermimpi, karena mimpi mereka justru terbebani dengan pikiran soal karir, gaji, prestige di masyarakat. 

Tidak, saya tidak mau seperti itu.

Beberapa hari kemudian, Ayah saya menelepon dari Jakarta. Beliau bilang dia lagi di Depok, di calon kampus saya. Beliau bilang calon kampus saya ini indah sekali. Beliau bilang saya pasti senang dan nyaman sekali kalau belajar di sini. Diam-diam rupanya beliau berkunjung ke kampus yang saya taksir. Rupanya beliau bukannya mengacuhkan mimpi saya sama sekali. Beliau mempertimbangkannya. Dan akhirnya beliau merestui keinginan saya. 

Saya bersyukur karena berani mempertahankan keinginan saya. Waktu masuk kuliah dan menjadi mahasiswa, mata dan pikiran saya benar-benar terbuka. Rupanya banyak sekali jurusan yang baru saya ketahui ada. Ada Kesehatan Masyarakat, ada Kriminologi, ada Ilmu Budaya, dan banyak sekali jurusan Sastra dari Arab sampai Prancis! Saya sedih waktu itu, apakah karena memang saya bersekolah di daerah, yang akses informasinya tidak sebanyak mereka yang bersekolah di Jakarta. Saya kecewa kenapa saat bersekolah dulu saya tidak dikenalkan dengan jurusan bermacam-macam. Kenapa tidak diajarkan bahwa ada banyak sekali pilihan karir yang bisa dijalani, bukan hanya sekedar kerja jadi accounting atau admin di kantor. Atau yang bergengsi semacam dokter atau insinyur. Bukan saya merendahkan pilihan karir itu, tapi saya menyayangkan betapa ceteknya wawasan pendidikan dan karir saya saat itu.

Jadi di Hari Guru kemarin, saya merefleksikan pengalaman saya bersama guru dan tentang guru. Sampai hari ini, saya masih terus mendorong saudara, teman, adik kelas, dan siapa saja untuk berani mengejar cita-cita mereka, tidak peduli seeksotis apa cita-cita mereka, jangan biarkan mereka gentar dan takut dengan mimpi mereka.

Sekarang saya bukan ilmuwan. Saat akhir kuliah saya menemukan passion saya di bidang bisnis. Dan dengan kecintaan saya kepada Kimia, saya berusaha di bidang Kimia. Kombinasi yang membuat hidup saya menyenangkan saat ini. Cita-cita mungkin bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tidak ada kata terlambat atau terlalu tua untuk cita-cita baru datang. Tidak apa-apa. Tapi saat cita-cita itu datang, akan sangat disayangkan kalau kita melewatkan waktu untuk mengejarnya.

Dan saya berharap guru-guru saat ini sudah cukup berani untuk mengajarkan hal ini kepada para muridnya.

Selamat Hari Guru buat para guru di Indonesia, terutama untuk para guru, dosen, dan pengajar dalam hidup saya. Dengan cara apapun kalian telah berjasa memberi ilmu dan pelajaran berharga tentang hidup kepada saya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar