Jumat, 14 Februari 2014

Dear My Family : You Are Here

Tadi malem, saya pulang dari kerja naik mobil seperti biasa sama supir. 

Biasanya saya tidur di dalam mobil, tapi tadi malam tidak. Kepala saya sedang sakit banget. Sakit kepala ini emang akhir-akhir ini makin rajin dateng, saya curiga ini migrain. Kalau lagi sakit kepala gitu, saya susah tidur, karena untuk memejamkan mata pun rasanya butuh usaha yang berat. Dan berada di dalam mobil yang bergerak nggak stabil (macet booo, majunya pelan-pelan banget dan dikit-dikit direm) saya pun jadi tambah mual. Jadinya, sepanjang perjalanan yang macet, mata saya melotot ke depan, kepala cenat-cenut, narik napas dalem-dalem, neguk air botolan berkali-kali buat nenangin mual.

Di sekitaran pintu tol Pedati, di depan mobil ada sebuah truk molen. Jalanan cukup lenggang waktu itu, jadi kecepatan kendaraan kencang. Supir saya sendiri memang nggak sabaran orangnya, jadi dia selalu ngebut di saat bisa ngebut. Nah, truk molen ini jalannya lambat dan si supir udah ngasih lampu sign ke kanan buat nyalib si truk molen. Eh entah kenapa tiba-tiba si truk molen ikutan geser ke kanan.

Kaget, pake acara teriak, si supir langsung ngerem mendadak.

Sedetik, jantung saya seperti berhenti rasanya. Bener-bener berhenti. 
Dan di saat itu, di kepala saya terbesit bayangan tentang keluarga saya. Ayah, Ibu, dan ketiga saudara saya.

Tidak ada kecelakaan. Mobil kami tidak menabrak truk molen itu. Supir pun mengklakson berkali-kali memarahi truk molen. Sementara saya tahu, kami berdua sama-sama terkejut setengah mati. 

Butuh waktu beberapa menit untuk saya menenangkan jantung yang berdegup kencang sambil menyesalkan kenapa saya musti sakit kepala dan tidak bisa tidur. Seandainya saja saya tertidur, kan saya tidak perlu menyaksikan peristiwa itu. Dan di saat menenangkan diri itu juga saya jadi berpikir, "Saya pikir saya akan mati pas hampir nabrak truk molen itu, dan yang ada di pikiran saya adalah keluarga saya!"

Ah, saya jadi bertanya-tanya, apa itu rasanya mau mati? Dalam dua tiga detik yang singkat, pikiran saya kosong dan saya bisa melihat keluarga saya di kepala saya. 

Rasa cinta saya kepada keluarga jelas tak usah diragukan lagi. Saya sayang pada mereka melebihi apapun yang bisa diberikan oleh dunia ini. Saat napas saya sudah tenang dan pikiran saya sudah menyatu kembali, saya mengulang lagi dan memikirkan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Apa yang saya pikirkan waktu itu adalah rasa kangen yang begitu besar pada keluarga saya. Perasaan ingin memeluk mereka berlima dalam tangan saya dan membawanya pergi kemanapun saya melangkah. Dan apa yang terjadi kalau si supir terlambat mengerem? Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga saya.

Saya pun jadi  teringat masa-masa homesick dulu waktu jaman kuliah. Saya pernah mengalami masa-masa kangen rumah segitu hebatnya sampai saya duduk di lantai, bersandar di lemari, kepala menengadah ke atas, dan menangis. 

Saat ini saya sudah lebih kuat...atau mungkin juga terbiasa hidup jauh dari rumah. Tapi peristiwa tadi malam menyadarkan saya kalau memang keluarga tetaplah ada bersama saya kemanapun saya melangkah. Saya mungkin memang tidak bisa memeluknya dengan tangan, tapi yang pasti hati saya memeluk mereka erat-erat dan terus membawa mereka...bahkan di saat saya pikir saya akan mati...saya memeluk mereka semakin erat.

Hari ini Hari Valentine. Dulu jaman masih sekolah, tanggal 13 malam, Ibu membawa kami ke Minimarket dekat rumah, dan membelikan kami beberapa coklat untuk kami berikan ke sahabat-sahabat dan guru-guru. Waktu itu saya memang sekolah di sekolah swasta Katolik dari SD sampai SMP. Waktu masuk SMA negri, saya tinggalkan tradisi itu. Saya katakan pada Ibu kalau teman-teman di sekolah tidak merayakan Valentine. Tapi saya tidak menceritakan pada Ibu kalau puding coklat buatannya yang seharusnya dibagikan pada teman-teman terpaksa saya buang ke tong sampah sekolah karena tidak ada yang mau makan. 

Yang pasti, ajaran Ibu untuk tulus menyayangi sesama nggak pernah saya lupakan sesulit apapun kondisinya sekarang. Suatu ajaran yang impossible...tapi itulah yang bikin saya bersyukur dilahirkan di dalam keluarga ini.

Jadi tadi pagi, saya ngobrol dengan Ibu saya, membicarakan Kelud yang debunya sampai ke rumah keluarga di Jogja. Di akhir obrolan, saya ucapkan Selamat Valentine kepada Ayah dan Ibu. Yang dibalas dengan Selamat Hari Valentine juga, Ayah dan Ibu sayang kamu selalu.

Ahh, meskipun pacar belum pulang kantor dan entahlah apa acara yang akan kami lakukan Valentine ini mengingat anniversary kemarin pun berlalu begitu saja terlupakan karena ini itu....sebuah ucapan sayang dari orang tua cukup. Mengetahui bahwa saya menyayangi keluarga saya dan mereka menyayangi saya juga sudah cukup. Cukup dan saya tidak minta apa-apa lagi dari Tuhan.

Dan saya memeluk mereka semakin erat di dalam hati saya.


Pict from http://t.co/eX6HN3k8LD



Jumat, 07 Februari 2014

Belajar Korea

Dulu, mantan kantor saya masuk kerja sampai hari Sabtu. Setengah hari doang sih, tapi kan tetep aja mengurangi  jatah weekend. Jatah jalan-jalan berkurang, jatah tidur molor seharian berkurang, jatah nyuci dan beres2 berkurang. Nggak sempet juga gabung di komunitas apa-apa. Pengennya dihabisin buat 'me time' aja, pulang kantor jatahnya nongkrong di coffe shop, minum kopi, ngemil, sambil baca buku atau nonton film di bioskop.

Lalu mantan kantor saya punya kebijakan untuk mengurangi jam kerja, hari Sabtu libur! Maka saya pun
langsung menyusun rencana bersama seorang teman untuk belajar bahasa asing. Dan saya pun mendaftarkan diri untuk belajar bahasa Korea.

Kenapa Korea?

Karena takdir.

Hahaha.
Serius deh, awalnya saya bener-bener nggak punya alasan kenapa saya mau belajar bahasa Korea. Beneran seperti takdir menuntun saya untuk memilih bahasa Korea untuk dipelajari.

Jadi ceritanya begini.

Cerita ini terjadi di suatu hari di bulan Maret. Saya ingat betul ini bulan Maret karena saya sedang berpuasa
Pra-Paskah (menjelang Paskah bagi umat Katolik). Hari itu adalah hari yang sangat berat di kantor.
Saya lupa detailnya kenapa saya bisa sestress itu, tapi yang pasti nggak jauh-jauh dari urusan shipment produk saya yang dokumennya macet, customer yang cerewet, supplier yang ngejar tagihan pembayaran, boss yang demanding, dan.... lapar karena puasa.
Hahaha.

Enggak deng.
Saya itu kalau puasa kuat kok nahan lapar, 40 hari biasanya sukses puasanya, tetapi kebalikannya kalau pas
diet, gagal terus nahan lapar. Hahaha.

Jadi kan karena stress saya butuh pelampiasan dong. Dan karena saya sedang puasa, saya tidak bisa melampiaskannya ke makanan. Jadi di jam istirahat siang, saya pergi ke Mall Ambassador, masuk ke Gramedia, dan bilang sama diri saya sendiri, "buy 3 books randomly."

Dan inilah tiga buku yang saya beli saat itu :
1. Antalogi Rasa (Ika Natassa)
2. Little Women (Louisa May Alcott- terjemahannya penerbit Bukune jelek banget :( )

dan jeng jeng...

3. Cara Cepat Belajar Bahasa Korea oleh Mustiana Lestari

Picture from http://www.merdeka.com/ireporters/gaya/cara-asyik-belajar-bahasa-korea.html



Hahaha, saya langsung tergelak dan mengadu pada teman sekantor saya. Menyadari keimpulsifan saya yang
berakibat pada membeli buku semacam itu. Waktu sampai di kosan, saya membuka buku itu dan masih
bertanya2 kenapa saya memilih buku itu? Hmm, mungkin karena salah satu hal yg ada di pikiran
saya saat itu adalah supplier saya yang dari Korea. Memang waktu itu saya lagi negosiasi harga sama mereka.

Dan buku itu terselip di rak buku saya di antara buku2 lain.
Nyaris terlupakan. Nyaris, karena akhirnya saya membuka buku itu.

Berhubung saya orangnya konsekuen, saya pun mulai membacanya. (Tentu saja setelah 2 buku lainnya tamat, dan jujur saja saya baru membuka buku bahasa Korea ini  di bulan Desember, which is about 8 months later, hahahha).

Eh ternyata, dasar-dasar bahasa Korea nggak sesulit bahasa Mandarin dan Jepang yang pernah saya pelajari waktu SMA (eksul pilihan waktu SMA dan saya tinggalkan di pertemuan ketiga dan keempat). Dan buku yang nggak sengaja saya beli itu benar-benar membantu saya memahami  dasar2 bahasa Korea. Bagus banget deh. Saya pun mulai  menghapal abjad Korea. Bikin kartu2 pakai kertas warna untuk membantu menghapal. Belajar vocabulary. Beneran deh, saya yang otaknya cetek begini seneng banget memahami dasar-dasar bahasa Korea. Emang sih karena tidak ada pendamping, saya jadi belum tahu cara baca
(pronunciation) yang benernya gimana. Romanisasinya doang saya baca plek sama. Hahaha.

Semangat pun tercetus dalam diri saya.

Belajar bahasa korea ah!
Dan maksud saya adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Secara profesional.Kursus. Bukan sambil lalu otodidak begini. Saya pun langsung mendapat ide untuk mengisi waktu hari Sabtu yang akan libur mulai tahun depan. Kursus Bahasa Korea!

Jadi begitulah....memang benar kata orang, dari benci bisa jadi cinta.

Saya dari jaman kuliah blas nggak suka sama sekali sama film-film Korea, artis-artis Korea, lagu-lagu
Korea,gaya-gaya cewek-cewek Korea yang kemayu (sempet cemburu sama MyMas yang ngefans sama SNSD), dan cowok-cowoknya yang cantiknya ngalahin cewek. Sebel deh pokoknya kalau liat temen2 yang Korea freak. Sampe dulu pernah maksa temen yang tergila-gila sama artis-artis Korea buat nonton di 21 film holiwut. "Biar lo tuh bisa liat cowok yang jantan itu seharusnya gimana! Bukan kayak artis korea kesayangan lo itu klemer-klemer kemayu gitu!" *nyolot*

Makanya pas udah kursus, sayalah satu2nya orang di kelas yang blank sama sekali soal dunia hiburan Korea. Istilahnya kalau beli bensin, 'dimulai dari nol ya, Bu'. Kosong banget pengetahuan saya soal Korea selain tulisan Korea yang sudah mulai saya hapal. Hahahaha.

Sekarang, mata saya sudah mulai terbuka.
Memang nggak semuanya bisa saya nikmati. Malah, saya baru sadar kalau untuk lagu2 Korea, saya justru suka artis2 ceweknya, masih nggak suka artis2 cowoknya karna ya itu gayanya nggak suka.Untuk film, Korea pun sudah lebih maju daripada Indonesia. Filmnya lebih beragam, dan terutama yang kelas festival internasional, saya suka. Kalau serialnya, sejauh ini baru Reply 1997 (belum coba nonton yg lain sih). Dan Reality Show macam Running Man, Barefoot. Yang pasti saya seneng kalau nonton film atau denger lagu atau baca kemasan makanan impor Korea saya mengenali beberapa kata yang ada di dalamnya. Saya jadi tambah semangat!

Kalau soal makanan, dulu awal2 juga agak nggak doyan.
Saya memang punya seorang sahabat yang bapaknya asli  Korea dan dia kuliah di Korea. Tapi dari dia, saya baru  coba makan Kimbap doang, mungkin karna dia faham kalau makanan yang lain mungkin nggak cocok di lidah kita. Saya udah pernah makan kimchi, tapi nggak suka. Eh lama-lama, karna tiap abis ujian kita punya ritual makan di resto korea bareng temen2 les, saya jadinya mulai familiar deh. Malah sekarang lagi ngidam kimchi.

Hahahaha.

Seru sih, belajar bahasa. dan menurut saya, belajar bahasa asing itu penting. (kalau bahasa inggris wajib
lah ya, hehe) Yang pasti belajar bahasa itu benar2 buka pikiran kita.

Saya dulu yang anggap Korea itu 'alay' sekarang nggak  gitu lagi tuh. emang ada yg tetep saya nggak suka, tapi saya jadi jauh lebih respect dan nggak ngata2in lagi.
Bener2 pelajaran deh buat saya.

Makanyaaa...beneran deh saya nggak nyesel belajar bahasa korea. Dan tetep 'takdir' itu jawaban yang
tepat untuk jawaban 'kenapa sih elo belajar bahasa korea?'. Hehehehe

Rabu, 05 Februari 2014

The Hardest Day of My Life

The Hardest Day by The Corrs feat Alejandro Sanz adalah salah satu lagu yang selalu berhasil membuat hati ini terkoyak-koyak. Dengerin aja musiknya, resapi liriknya, hayati nadanya. Menyayat hati!
Lagu ini ada dalam playlist saya waktu jamannya lagi patah hati dulu.
Selain itu, lagu galau favorite saya adalah satu albumnya Rectoverso punya Dewi Lestari.
Cicak di Dinding.
Firasat.
Peluk.
Curhat buat Sahabat.

Coba aja dinyanyiin pake hati ngikutin Dee nyanyi, dijamin air mata pasti keluar. At least, mata pasti becek. Kalau nggak becek, pasti dada dan tenggorokannya sakit nahan sesak.

Satu lagi, lagu d'cinnamons yang Loving you is hurt (sometimes).
Lagu ini paling menggambarkan kisah percintaan saya saat itu. Lirik lagunya seperti dicolong dari buku harian saya jaman SMA dulu. Hahahhaa.

Ciee, sekarang aja bisa ketawa-ketawa ngomongin patah hati, padahal dulu..mewek-mewek.

Kenapa jadi mikirin soal patah hati?

Karena setelah pulang dari liburan di Batam kemarin, saya nginep di kosan Adik. Saya memang balik duluan ke Jakarta tanggal 1 Januari pagi karena ada urusan kerjaan, si Adik sendiri baru balik tanggal 5.
Kalimat pertama yang diucapkannya pada saya begitu dia masuk ke kamar adalah : "Tuh ambil aja bantal Beer-nya, udah nggak butuh lagi."

Tentu saja saya tanya, "loh, kenapa?" karena bantal itu dari pacarnya dan dia sangat posesif terhadap bantal itu.

"Karena dia udah punya pacar baru," jawab adik saya..

Patah hati.

Saya langsung terdiam dan selanjutnya, sampai hari ini, saya masih berhati-hati dalam bercanda supaya tidak menyinggungnya. Saya berusaha sebaik mungkin untuk menjaga mood-nya. Dia terlihat tegar, santai, dan cenderung membenci cowok itu, tapi siapa sih yang bisa menyangkal badai di dalam hati.
Saya pun tinggal lebih lama di kosan supaya bisa bermalam dan ngobrol ngalur ngidul dengan Adek sampai tengah malam, nonton film Insidious 2 di laptop (pengorbanan saya yang terbesar), dan memaklumi tindakan impulsifnya yang mendadak beli HP baru (padahal dia mau dikasih HP baru lagi dari kantor -_-).

Tapi yasudah lah, orang patah hati punya pembenaran untuk segala yang ingin dilakukannya.

Ah, saya jadi teringat peristiwa patah hati terbesar yang pernah saya alami.
Terbesar? Ada yang terkecil dong? Hehe. Maksudnya, dari jaman ABG dulu kan pasti pernah naksir-naksiran dong ya, nah di situ juga saya beberapa kali patah hati kecil-kecilan. Tapi namanya juga cinta monyet, jadi ya sambil lalu aja. Hehehe.

Tapi patah hati terbesar yang pernah saya alami itu di tahun 2009.
Di akhir tahun 2008, saya resmi berpisah dengan seseorang yang selama bertahun-tahun saya sayangi dari masa kecil saya. Yes, you can call it 'first love'. And people say 'first love never dies'.
Saya pun memasuki gerbang tahun 2009 dengan air mata dan kesedihan.

He was so special for me.
Kita temenan dari kecil. Saya nggak inget awal mula temenan sama dia, tahu-tahu kami sudah berteman. Kita beda sekolah waktu SD dan SMP, tapi kita udah mulai naksir-naksiran waktu itu. Malah, saya jadi punya banyak teman dari sekolahnya dia karena rupanya dia banyak cerita juga tentang saya ke teman-temannya, dan lalu teman-temannya itu pada main ke sekolah saya buat kenalan sama saya. Pas upacara hari pendidikan di alun-alun, teman-teman sekolahnya pada nunjuk-nunjuk saya, berasa beken banget deh saya waktu itu.

Waktu SMA, kita akhirnya satu sekolah. Kelas X, kita beda kelas. Belum jalan satu semester, cowok itu sudah pacaran sama teman sekelasnya sendiri. (Playboy alert!) Tapi ya, dari sekian banyak mantannya si cowok, pacarnya yang itu milih saya sebagai objek insecure-nya. (Saya sih udah kebal, hehe) Kebetulan beberapa teman saya ada di kelas itu, dan mereka sering bercerita betapa maraknya gosip-gosip tentang saya di kelas itu. Bahkan, ada gosip kalau kami berdua ini sebenarnya sudah ditunangkan dari kecil.

Wait. What?

Yep, dari situlah, mulai berkembang menjadi gosip publik. Saya dan dia adalah pasangan sejati. Siapapun pacar kami saat itu, suatu hari nanti pasti kami akan menikah. Kami sudah dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Duh, keren deh gosipnya. Sampe sekarang saya nggak pernah nemuin siapa yang pertama kali mencetuskan ide ini pertama kali. Yang pasti sih, saya dan dia hanya ketawa-ketawa aja kalo lagi dicomblangin temen-temen di sekolah. Apalagi waktu naik kelas XI dan XII, kami sama-sama sekelas IPA, jadilah kami makin dekat. Kita cuek-cuek aja dan bersahabat baik. Well, sebenarnya nggak yang sahabatan kemana-mana selalu bersama sampai level friendzone gitu ya. Kami berjarak, tapi dekat. Gimana ya jelasinnya.

Kalau soal sahabat cowok, saya punya, cowok berandalan gitu. Keren kan, saya yang selalu ranking di sekolah 'sahabatan' sama berandalan sekolah. So sweet banget deh kita berdua itu. Saya sayang banget sama cowok yang satu ini, tapi sebagai sahabat. (friendzone alert!) Saya punya pacar sendiri waktu SMA, anak sekolah lain. Sementara dia sendiri pun juga pacaran berkali-kali sama teman, adik kelas, dan kakak kelas juga (Iyaaa, dia tuh sampe dijulukin dewa cinta sama kita karna hobi pacaran!)

Lalu begitulah, kehidupan cinta kami jalan sendiri-sendiri. Dia dan perempuan-perempuan lain. Saya dan laki-laki lain. Pelan-pelan, sampai akhirnya masa kelulusan SMA.
Saya menangis saat perpisahan sekolah. Saya memeluk banyak teman dan menangis bersama mereka.Saya berpelukan dengan hampir semua teman. Kecuali dia.

Entah kenapa tiap kali berpapasan, kami hanya tersenyum dan melewatkan diri. Tidak ada pelukan. Tidak ada ucapan perpisahan.
Esok harinya, bersama teman-teman sekelas, kami mengadakan acara menginap di sebuah resort pinggir pantai. Dalam sesi truth or dare waktu malam hari, saya ditanyakan 'siapa cowok yang paling penting di kelas?'. And I mentioned his name. Itu adalah pertanyaan yang mudah. Dia adalah sahabat saya, jelas dia penting buat saya. Teman-teman yang lain men-'cie-cie'-kan kami berdua. Tapi kami hanya ketawa-ketawa saja. Seperti biasa.

Sepanjang malam, para cowok bermain gitar, nyanyi-nyanyi nggak jelas. Para cewek curhat-curhatan. Begitu banyak perasaan terungkap malam itu. Banyak air mata. Karena perpisahan dengan sahabat. Dengan orang yang ditaksir. Perasaan yang sebelah tangan. Saya sendiri terkejut ketika seorang teman sekelas tiba-tiba memberikan hadiah perpisahan berupa kompilasi lagu-lagu klasik yang dia buat khusus untuk saya. Dua tahun kami sekelas bareng, dan saya nggak tahu kalau dia naksir sama saya. Selama ini saya nggak nyangka ada yang naksir saya diem-diem. :( 

 Tapi saya masih belum mengucapkan salam perpisahan kepada 'dia', sampai akhirnya saya tertidur di teras, dan dia lah yang membangunkan saya dan memindahkan saya ke kasur.

Esok paginya, menjelang jam-jam terakhir sebelum pulang dan benar-benar berpisah, saya menyalakan handycam yang saya bawa dan meminta semua teman tanpa terkecuali untuk menyebutkan tiga hal tentang saya yang paling berkesan buat mereka. Kebanyakan jawabannya bernada mengejek (ohya, saya memang badut kelas) seperti : pendek, gemuk, jerawatan, tukang tidur, gampang diejek.

Entah kenapa saya menunggu menjelang urutan terakhir sebelum saya menghampiri dia yang sedang duduk di balkon villa. Saya tanyakan 'hey, sebutin tiga hal yang paling berkesan tentang aku.'

Dan dia menjawab. "I love you" Pandangannya lurus ke kamera.

Saya tersenyum. Dan saya menjawab, "I love you, too." Lalu saya pergi meninggalkannya dan kembali bergabung dengan teman-teman lain dan melanjutkan niat saya mengumpulkan rekaman kesan teman-teman sekelas tentang saya.

Saya bingung saat itu apa yang harus saya lakukan. Apakah saya harus balik bertanya apa maksudnya? Mengajaknya berbicara? Dan mengakui, kalau sepertinya....ya sepertinya, saya menyayanginya lebih dari 'sekedar sahabat'?

Tapi lalu saya berpikir, bukankah kami memang saling menyayangi? Kami punya komitmen tak terucap untuk saling menjaga? Orang tua kami akan saling menelepon bila salah satu dari kami belum pulang sampai larut malam. Ayah saya akan merasa aman bila tahu saya pergi keluar bersama dia, beliau tidak masalah bila saya pun keluar hingga lewat batas malam asalkan ada dia dalam rombongan kami pergi. Dia adalah pribadi yang keras dan sulit diubah pendapatnya. Tapi dia selalu mendengarkan kata-kata saya, pendapat dan nasehat saya. Makanya, teman-teman sekelas atau di OSIS dan kepanitiaan kalau ada masalah apa-apa, mereka selalu minta bantuan saya untuk berbicara denganya. Dan memang benar, dia pasti melunak setelah saya berbicara. Saya pun begitu, di saat saya membutuhkan semangat, dia selalu hadir untuk saya. Benar-benar hadir secara fisik dan hati. Menunggui saya latihan Paskibra, latihan teater, dan berdiri di pinggir panggung saat saya tampil di pensi sekolah.

Tapi semua itu hanya saya anggap sebagai persahabatan. Tidak lebih. Atau tidak berani berharap lebih.

Saya akan ke Jakarta besok harinya. Sementara dia, tak lama lagi akan ke Jogja. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami berdua, kami akan berpisah. Secara fisik tidak akan saling melihat untuk waktu yang lama.

Dan hanya senyum serta lambaian tangan. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata perpisahan.
Saya tidak tahu kenapa dia waktu itu tidak mengucapkan perpisahan sama sekali. Tapi saya tahu kenapa saya tidak mau mengatakannya. Karena jauh di dalam lubuk hati, saya tidak ingin berpisah dengannya. Saya berharap dengan tidak mengucapkan perpisahan, saya dapat memungkiri kenyataan itu. Dan entah kenapa saya yakin, kami tidak akan benar-benar berpisah.

Ah, itulah pertama kalinya dalam hidup saya merasakan 'How can I live without you?' pada seseorang.
Saya ngeri membayangkannya.
Tapi hidup terus berjalan, dan saya berangkat kuliah. Memulai hidup yang baru. Bertemu teman-teman baru. Sahabat-sahabat baru. Gebetan-gebetan baru. Ah, saya masih belum berubah. Tapi ada yang berbeda dari saya sejak kuliah. Saya sadar, saya sayang sama dia. Dan setelah saya merunut, saya menyadari saya sudah menyayanginya sejak kami masih sama-sama anak-anak.

Nelangsa sekali rasanya.
Saya rindu padanya setiap hari.
Kami intens SMS-an. Saya bahkan berganti operator demi SMS-an murah dengannya. Ah, pengorbanan pertama saya demi cinta. Hehe.
Kami kerap berjanji untuk bertemu, tapi masih belum bertemu dengan kesempatan itu. Saya sedih sekali, karena saya sangat rindu padanya.
Kami saling menelepon dan terutama saat ulang tahun masing-masing.
Tapi sekali lagi, saya tidak berani berharap. Jadi saya pun berusaha mengubur dia dalam hati dan 'membuka hati' buat yang lain. Tapi tidak pernah bisa. Sedekat-dekatnya saya dengan cowok, saya pasti akan kembali pada kenyataan bahwa saya hanya ingin dia.
Ahh, kenapa nggak dari dulu sih pas jaman SMA. Jadi kan perasaan ini nggak akan sesulit ini.

Pertemuan pertama pasca kuliah adalah di Batam. Kami janjian di salah satu mall yang ngehits di kota Batam waktu itu. Nggak ngapa-ngapain. Hanya ngobrol di Timezone. Rencananya kami mau bermain di Timezone. Tapi rupanya cerita kami yang sudah lama tidak bertemu justru lebih menarik ketimbang permainan di Timezone. Sampai akhirnya hari sudah sore dan kami pulang. Naik bis berdua. Duduk di belakang. Tapi lalu ada seorang gadis kecil berpakaian seragam SD masuk ke dalam bis. Dia berdiri dan mempersilakan gadis kecil itu duduk di sebelahku. Ah, aku rindu dengan sikapnya yang perhatian seperti itu. Perasaan itu membara lagi.

Saya kembali ke Jakarta membawa curhat tentang dia kepada sahabat-sahabat saya di kampus.

Sejak saat itu, tekad saya bulat. Saya akan mengungkapkan perasaan saya padanya.
Pada suatu liburan semester selanjutnya, saya pulang ke Jogja. Sebelum berangkat, saya beli sebuah kaos terbaik yang bisa saya beli dengan dompet mahasiswa saya. Saya bungkus kado itu sebaik mungkin. Dan saya pastikan ia tidak kucek selama perjalanan naik kereta Gambir-Jogja. Sukses. Saya bangga sekali dengan diri saya sendiri. Di Jogja, kami bertemu dan jalan-jalan bersama teman-teman SMA. Saya senang sekali bersamanya. Dan di akhir perpisahan kami, saya berikan kado itu.

Dia tahu maksudnya.

Selanjutnya, adalah masa-masa yang indah.

Sampai akhirnya setahun kemudian, dia bilang pengen cerita tentang sesuatu. "There is a girl on campus..." Begitulah dia memulai ceritanya. Dan yang terjadi kemudian adalah saya patah hati.

Dan ternyata saya tahu cewek yang diceritakannya waktu itu, karna dulu waktu masih jaman Friendster, saya pernah melihatnya ada di daftar 'who viewed my profile'.

Saya pernah bilang padanya waktu awal kami jadian dulu, "Kalau suatu hari nanti kamu bosan atau sudah tidak cinta lagi sama aku, tolong kasih tahu aku, ya."

Dan dia benar-benar melakukannya.

Saya selalu mengklaim diri sendiri wanita yang kuat, tidak manja, tidak cengeng, bahkan saya sudah mempersiapkan diri untuk patah hati waktu saya sadar saya cinta sama dia. Tapi tetep aja, periiiiihhh banget rasanya pas kejadian.

Lalu kami berpisah. Tanpa drama yang berarti. Saya pun tidak menangis di depan dia. Dia bilang "Aku yakin kamu bisa melewati ini semua." Saya menangis di kamar bermalam-malam sesudahnya. Entah selama berapa lama, yang pasti saya sering tertidur karena lelah menangis.

Saya benci padanya waktu karena dia mengatakan demikian. Ok, saya pasti somehow bisa melewati ini semua. Tapi mana mungkin saya bisa melewatinya DENGAN MUDAH.

Tak lama kemudian, saya lihat di Facebook kalau dia sudah in relationship dengan cewek yang diceritakannya itu.

Siapa yang harus disalahkan?
Apa saya harus menyalahkannya karena dia tidak lagi mencintai saya seperti saya mencintainya?
Tapi saya kan tidak bisa memaksakan cinta.
Dia pun memenuhi permintaan saya dengan berbicara jujur tentang perasaannya, bahwa dia jatuh cinta dengan cewek lain.
Saya pun tidak bisa menuduhnya berselingkuh, karena dia tidak melakukannya di belakang saya atau membohongi saya. 
Tapi dia bahkan tidak menunggu sampai saya berulang tahun untuk mengatakan hal tersebut.
Tapi ya apalah artinya dia merayakan ulang tahun saya dengan perasaan yang tidak lagi sama, dia jadi harus berbohong, dan dia memilih untuk tidak berbohong dan jujur meskipun itu sakit.

Jadi saya patah hati waktu itu.
Sakit rasanya.
Saya pernah patah hati sebelumnya dulu waktu saya lagi ngegebet seorang teman. Tapi rasanya biasa saja, esok harinya saya sudah move on, haha-hihi lagi.
Tapi sama dia, sakitnya dalem banget.

Dia adalah cowok pertama yang membuat saya sadar bahwa mencintai orang yang sama selama bertahun-tahun itu adalah mungkin. Saya sudah terbiasa ada dia dalam lingkaran hidup saya. Dengan dialah saya mempunyai visi, mimpi, tentang pernikahan, punya anak-anak yang lucu. Dialah orang pertama yang mampu membuat saya bilang, 'ah yes, this is love' bukan sekedar gebet-gebetan dan naksir-naksiran.
Jadi ketika dia pergi.....visi saya hilang.

Saya bangun di pagi hari dan bertanya-tanya bagaimana caranya mengisi kekosongan ini?
Saya terbiasa mencintainya. Dan segera setelah saya berhenti meratapi cinta saya yang tak sampai, saya bisa menerima kenyataan itu dan kembali menyayanginya 'sebagai seorang sahabat'. (yayaya, omong kosong memang ini, hahaha)
Saya terbiasa mencintai seseorang dengan begitu dalam, dan ketika cinta itu tidak ada lagi, rasanya hampa. Bingung. Saya sedih, karena ada ruang kosong di hati saya. Dan justru kekosongan itu bikin hati saya berat banget.

Butuh waktu lama untuk saya bisa kembali menemukan cinta baru dan mengisi kekosongan itu. Bukannya saya tidak membuka diri dan hati saya. Tidak, saya tidak pernah berpikiran sempit seperti itu. Saya selalu berusaha menjaga nilai positif dalam hidup saya. Saya dekat dan didekati beberapa cowok. Dua di antaranya malah nembak saya. You know, ada pepatah yang saya pernah baca di twitter entah siapa yg nulis saya lupa, 'Cewek baru putus itu banyak yang ngejar, sama kayak layangan.'
Jadi yeah, mungkin saya kayak layangan putus waktu itu. Pesonanya besar banget. Hahahahha.
Tapi nggak, nggak ada yg sreg di hati. Meskipun iya dong, saya pasti kesepian, butuh sesuatu untuk mengisi ruang hampa, tapi tidak ada yang pas. Dan saya bukan tipe kalap yang nerima cowok hanya supaya tidak jomblo. Tidak. Saya orang yang benar-benar menghargai cinta dan komitmen.

Dan the heartbreaker, yes, dia kembali menjadi sahabat saya.
Sering dia bertanya kabar dan menanyakan apakah saya sudah menemukan kebahagiaan.

Setahun kemudian, saya akhirnya menemukan cinta yang tepat untuk hati saya. My-Mas. Perasaan cinta yang familiar itu datang lagi. Saya jatuh cinta dan saya putuskan untuk berani menanggung lagi resiko patah hati. Saya lalu jadian sama My-Mas.

Dan saat cowok itu mengucapkan selamat, saya dengan senyum lebar bilang padanya, 'Akhirnya kebahagiaan itu punya bentuk yang nyata.'

Dari pengalaman ini, saya belajar, bahwa seseorang harus bersikap dewasa dalam hal menyikapi perasaannya. Jatuh cinta itu tidak salah, tapi kalau cara menanggapinya salah, semua bisa runyam.

Kita tidak bisa mengontrol pada siapa kita bisa jatuh cinta, karena itu saya pasrah ketika cowok itu bilang dia jatuh cinta pada cewek lain. Saya tidak bisa memaksanya untuk mencintai saya dan menyuruhnya tinggal disaat dia sudah tidak lagi ingin menempati hati saya.
Tapi dengan dewasa dia jujur pada saya, tidak membuat alasan yang aneh-aneh, atau tidak mengambil salah langkah dengan 'selingkuh' di belakang saya dan berlagak semuanya baik2 saja.

Apa yang terjadi pada adik saya adalah sebaliknya. Cowoknya tidak mengatakan bila hatinya sudah berpaling. Di tengah liburan yang seharusnya indah, Adik malah mengetahui kalau cowok itu sudah pacaran dengan cewek lain. Adik saya membenci cowok itu kini. Patah hati. Hatinya hancur. Ia merasa dikhianati, dibohongi, ia berkali-kali memasang gambar 'HAHAHA. FUCK YOU' sebagai DP BBM dan Whatsapp-nya.

Saya pun kecewa dengan sikap cowok itu.
Bukankah dulu saat kamu jatuh cinta pada adikku, kamu mengatakannya dengan baik-baik. Lalu kenapa saat kamu sudah tidak mencintainya lagi, kamu tidak mengatakannya dengan baik-baik pula??? Kamu memberitahu adikku saat mencintainya, jadi dia punya hak untuk tahu saat kamu sudah tidak mencintainya lagi!!!

I know..i know...orang-orang akan berpikir saya naif sekali. Dipikir semuanya mudah dilakukan? Ya, salah satu kelemahan saya memang karena selalu ingin semuanya berjalan dengan ideal, yang mana seringkali tidak dan berujung pada kekecewaan. Tapi saya pernah mengalaminya. jadi saya tahu bagaimana prosesnya, dan bahwa hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan.

Saya tidak menyalahkan perempuan itu yang kini pacaran sama cowok adik saya. Dia tidak salah. Dia bahkan tidak mengenal adik saya. Saya pun tidak mengutuk cinta mereka yang mengorbankan cinta adik saya. Well, that's reality. Ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati. Saya mengerti patah hati itu berat sekali, tidak ada yang menjadi kebal karenanya, tapi saya tidak serta merta membela adik saya dan menyalahkan cowok itu. Adik saya sudah dewasa, dia akan belajar sesuatu dari patah hatinya saat ini, cepat atau lambat. Yang pasti dia akan belajar, dan dia akan mencintai lagi. Tapi tetap saja, saya menyayangkan sikap cowok itu. Nggak gentleman banget! Nggak dewasa! Dia menodai apa yang seharusnya bisa menjadi baik.

Tidak mudah memang. Tapi seharusnya bisa dilakukan. Seharusnya tidak perlu ada drama dan caci maki. Tidak perlu ada 'kegap selingkuh'. Tidak perlu ada air mata kebencian. Seharusnya perpisahan  itu terjadi dengan anggun. Dua manusia yang pernah saling mencintai, apa sih yang ada di pikiran mereka waktu ingin menyakiti pasangannya?

Bitter truth is better than a sweet lie.
Saya tidak pernah berbohong saat memutuskan seorang cowok. Seperti saat saya jujur dengan semua perasaan sayang saya sebelumnya, saya pun jujur padanya tentang hal-hal yang membuat saya tidak ingin meneruskan hubungan kami, bahkan alasan sekejam 'aku kan udah bilang dulu mau coba jalanin hubungan ini sama kamu buat liat apa aku bisa sayang sama kamu seperti kamu sayang sama aku. aku udah coba, tapi aku nggak bisa.'

Ah, karma kali ya? Hahaha.

Sekali lagi, saya mengerti there is no such thing as 'putus baik-baik'. Karena kalau emang baik-baik aja kan nggak mungkin putus. Tapi hey, hargain dong perasaan cinta. Kamu yang pernah masuk kehatiku, tolong jangan buat kerusakan yang terlalu besar saat kamu pergi. Jadi kalau memang perpisahan harus terjadi, lakukan dengan selembut mungkin, beri pelukan hangat dan ucapkan terima kasih. Waktu datang minta ijin baik-baik, waktu pergi pamitan dong baik-baik. Meskipun alasan kepergian itu menyakitkan.

Lima tahun sesudah peristiwa patah hati itu, saya berkali-kali liburan ke Jogja, menyusuri jalan kenangan yg pernah saya lalui bersama that heartbreaker, meskipun tidak intens tapi sesekali kami BBM-an dan tidak pernah lewat mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan liburan Natal terakhir ke Batam kemarin, kami sudah janjian untuk bertemu. Dan saat bertemu dengannya setelah 5 tahun kemudian, saya tahu saya sudah sembuh, dengan tangan My-Mas di dalam genggaman saya. Tapi semua nostalgia patah hati itu keluar lagi ketika mendengar cerita adik saya yang sedang patah hati. Saya benar-benar bisa merasakan hangat yang merambat keluar dari dalam kepala saya. Literally. Yah, mungkin karena adik saya adalah sahabat saya terdekat saat ini, jadi rasa simpatik dan empati saya begitu besarnya sampai memori tersebut bisa keluar. Tapi saya lega bisa mengingat itu semua. Karena sekali lagi saya diingatkan tentang makna cinta.

Dan ya, tentu saja saya berharap adik saya bisa segera sembuh dari patah hatinya.

*lanjut karokean nyanyi lagu-lagu patah hati*





pict taken by My-Mas pas malem taun baru. si Adik udah tau kebrengsekkan cowoknya waktu itu, tapi dia belum cerita  biar gak ngerusak suasana seneng New Year eve.